AKHIR-akhir ini aku banyak melamun. Rasanya, aku tak punya energi untuk mejalani hari. Hatiku terasa sedih dan murung. Aku memang sedang tak baik-baik saja.
Untuk pertama kalinya dalam hidup, aku merasa insecure dengan bentuk tubuku. Sebelumnya, dikomentari bagaimanapun aku bodo amat. Toh, aku tak butuh validasi dari siapapun tentang fisikku. Tapi kejadian di club malam kemarin berbeda—aku benar-benar sakit hati dengan perkataan Aksa.
Dari dulu aku memang bertubuh kecil, tak pernah gemuk, tak pernah tinggi. Semua orang bilang aku mirip Ibuku, dan menurutku, Mama adalah sosok yang cantik. Jadi aku tak pernah sekalipun menganggap diriku jelek atau kurang. Semisal orang beranggapan sebaliknya, aku tak masalah dan tak peduli.
Tapi omongan Aksa menghancurkan rasa percaya diriku. Dengan mudahnya dia mengataiku didepan umum, bahkan menawarkan aku pada temannya seolah aku tak berharga—mungkin itu benar, aku memang tak bernilai apapun di mata Aksa saat ini.
Hah... sekarang dengan perasaan sakit hati ini, rasanya aku malas sekali menghadapi cowok itu.
"Kak, udah sampai nih, yang ini kan rumahnya?"
Perkataan Pak Ojol menyadarkanku dari lamunan. Aku terkejut saat ternyata kami sudah sampai di depan rumah.
"Aduh Pak maaf saya ngelamun jadi gak ngeh udah sampai." kataku senbari turun dan menyerahkan helm.
"Iya kak, nggak apa-apa."
Saat motor sudah beranjak pergi, aku memasuki rumah. Hari ini Aksa keluar dari rumah sakit dan menginap di rumah orang tuanya. Syukurlah, aku jadi punya waktu untuk diriku sendiri. Aku ingin masak mie instan pedas sambil menonton film seru, apapun itu untuk mengembalikan moodku yang jelek.
Tapi, rencanaku gagal saat melihat sosok Aksa duduk di sofa sambil menonton TV.
"Kok pulangnya malam banget? Sibuk ya?" tanyanya.
Seharusnya, momen ini jadi hal yang kunantikan—Aksa sudah mulai mau mengobrol denganku. Tapi entah kenapa aku sama sekali tak merasa senang. Saat ini aku sungguh eneg melihat wajah cowok itu. Aku butuh waktu untuk menenangkan diri sendiri.
"Ya." jawabku sambil berlalu ke kamar. Persetan dengan mie instan, nafsu makanku hilang, aku akan langsung tidur saja.
Aksa berdiri dan mencegatku.
"Kamu nggak nanyain aku gimana?" tanyanya.
Aku melipat tangan didada. "Sekarang udah aku-kamu lagi? Nggak gue-elo?" Sindirku.
Aksa diam saja mendengarnya. Aku menghela napas, lelah. Lalu kembali berjalan menuju kamar. "Aku capek mau tidur."
Aksa menarik lenganku, membuatku sedikit terkejut dengan sentuhan tiba-tiba itu. Tapi ia bergeming, tak mengatakan apapun.
"Kenapa Mas Aksa?" Aku menatapnya. "Udah inget lagi sama aku?"
Aksa menggeleng.
Harapanku langsung lenyap. "Terus kenapa? Mau apa?"
"Kenapa kamu kayak gini? Kamu marah ya sama aku?"
Pertanyaan Aksa membuatku termangu sejenak, sebelum menghela napas. "Nggak, aku cuma capek." jawabku sambil menarik tanganku dari genggamannya.
"Capek kerjaan?"
"Iya." jawabku biar cepat.
"Capek sama aku?"
Aku mengernyit mendengarnya. "Langsung aja, to the point, kamu mau apa dariku? Aku sekarang lagi bener-bener nggak mau diganggu."
"Katanya, kalau mau, tinggal minta sama kamu."
Perkataan Aksa membuatku mengernyit. "Mau apa?"
"Having sex?"
***
Mataku melotot mendengarnya. Ada gilanya juga orang ini.
"Nggak deh." tolakku. "Aku nggak nafsu."
Giliran Aksa yang mengernyit. "Terus gimana? Aku lagi mau.""Pake tangan aja, kan bisa." kataku enteng.
Aksa menggeleng. "Ternyata, dibalik tampilan kamu yang polos, kamu ngerti juga ya yang begitu?"
Perkataannya memancing emosiku. Memang siapa sih, yang mengajariku hal-hal begitu???
"Emangnya kamu nafsu sama aku yang kayak anak-anak gini?? Apa sekarang kamu udah jadi pedofil???" cercaku.
Aksa mengernyit, dia tampak bingung mau membalas apa.
Aku melempar tas slempangku ke lantai, lalu membuka kancing blouse yang kukenakan. Tanganku gemetar karena emosi. "Coba aja kamu liat aku telanjang, kamu nafsu nggak?? Kalau iya, selamat kamu udah jadi pedofil! Kalau nggak, ya udah, kita pisah aja sesuai mau kamu!"
Tiba-tiba tanganku digenggam oleh Aksa. Aku merasa air mataku—akhirnya—meleleh di pipi. Tubuhku gemetar menahan emosi yang meluap-luap itu. Rasanya aku sudah diambang batas.
"Aria..." untuk pertama kalinya, Aksa memanggilku dengan nada yang lembut seperti dulu.
Mendengarnya, tangisku pecah. "Mas Aksa kenapa nggak ingat aku sih? Padahal katanya Mas Aksa paling cinta sama aku!" teriakku sambil sesegukan.
Aksa tak menjawab, dia hanya diam menatapku.
"Aku kangen kamu yang dulu—yang sayang sama aku!! Yang baik sama aku!!"
Aku menarik lepas tanganku, tapi Aksa bersikeras menggenggamnya.
"Aku juga nggak ingin lupa tentang kamu, Aria." katanya pelan.
Ucapannya membuat emosiku sedikit mereda. Aku menatapnya, mencari kesungguhan disana.
"Aku minta maaf ya?" katanya sambil menyampirkan rambutku kebelakang telinga. "Aku bakal coba buat ingat kamu pelan-pelan. Meskipun aku nggak tau juga gimana caranya untuk balikin memori itu."
Perkataannya seperti air yang memadamkan api ditubuhku. Aku membiarkan Aksa mengapus air mataku dengan jarinya. Lalu, aku mendekat dan berjinjit untuk mencium bibirnya.
Ada sedikit rasa tembakau yang tertinggal disana, juga rasa asin dari air mataku yang mengalir ke bibir. Awalnya Aksa seperti terkejut aku tiba-tiba menciumnya, tapi saat aku melingkarkan lenganku di lehernya, ia mulai membalas dan mengangkat tubuhku hingga posisi wajah kami sejajar.
Aksa mendudukanku di meja makan yang kosong. Ciuman itu terus berlanjut sampai rasanya napasku hampir habis. Aku sungguh merindukan Aksa dan semua hal tentangnya.
Aksa mencium leherku yang sudah setengahnya terbuka. Dengan satu gerakan cepat blus yang kukenakan ia tanggalkan, ia mengecap setiap senti dari tubuhku yang terbuka, sampai aku tak dapat menahan geli dan tertawa.
Aksa mengangkat wajahnya dan tatapan kami bertemu.
"Jangan cium diperut, geli!" kataku.
"Aku suka denger kamu ketawa." katanya sambil mengecup pipiku. "Jangan nangis lagi, ya."
Mendengarnya, hatiku menghangat. Setidaknya sekarang aku tau kalau Aksa mulai peduli padaku.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
He Was My First Kiss
RomanceJadi ART di rumah seorang laki-laki brengsek yang pernah menciumnya hanya karena kalah taruhan?? Aria rasanya ingin kabur saja saat tau siapa majikannya, tapi situasinya tak semudah itu, ia benar-benar butuh uang untuk bertahan hidup. _________ Seme...