Kecewa

31 2 0
                                    

Setelah beberapa hari di rumah sakit, Permata akhirnya diperbolehkan pulang. Namun, saat dia tiba di rumah, perasaannya justru semakin berat, lebih berat daripada rasa sakit fisik yang ia rasakan. Tubuhnya masih lemah, namun yang lebih menyakitkan adalah hatinya, yang kini hancur berkeping-keping.

Dia baru saja melewati pengalaman yang begitu menguras tenaga, dan seharusnya dia pulang untuk beristirahat, untuk merasa aman dan tenang. Namun, kenyataan yang dia hadapi jauh berbeda. Keputusan ayahnya yang menyembunyikan kebenaran selama ini—bahwa dia menikah lagi dan memiliki anak perempuan yang hampir seusianya—membuatnya merasa seperti seluruh dunia runtuh.

Permata tidak bisa menahan rasa marah dan kecewa yang begitu dalam. Sejak mendengar pengakuan ayahnya di ruang tamu, semuanya terasa terbalik. Seharusnya, dia bisa pulang ke rumah dengan perasaan lega setelah sakit, namun malah kembali ke dunia yang penuh dengan kebohongan dan pengkhianatan. Ayah yang dia anggap selalu menjadi pelindungnya ternyata telah menyimpan rahasia besar, yang membuatnya merasa seperti tak pernah benar-benar menjadi bagian dari hidupnya.

Setibanya di rumah, dia berjalan melewati ruang tamu, melihat ayah dan ibunya yang diam, tidak berani menatapnya. Gadis muda itu—anak dari istri kedua ayahnya—juga ada di sana, membuat suasana semakin canggung. Permata tidak bisa lagi menghadap mereka, dan tanpa berkata apa-apa, dia langsung menuju kamarnya.

Setelah pintu kamar tertutup, Permata langsung duduk di tepi ranjang. Tangan kanannya memegangi dada, mencoba menenangkan napasnya yang tersengal. Namun rasa sakit di dalam dirinya tak kunjung reda. Tubuhnya masih terasa lelah, kepalanya pusing akibat kelelahan, tetapi yang paling berat adalah perasaan hancur yang tidak bisa dia bendung.

"Dari mana aku harus mulai? Kenapa ayah bisa melakukan ini padaku?" pikirnya, air mata mulai mengalir tanpa bisa dicegah. Di balik kelemahan fisiknya, amarah dan kekecewaan itu semakin mengguncang jiwanya. "Kenapa tidak pernah ada kejujuran? Kenapa tidak ada kasih sayang yang cukup untuk memberitahuku langsung?"

Di luar kamar, terdengar suara ibu dan ayahnya berbicara dengan pelan, mencoba mencari cara untuk mendekatinya, tapi Permata tak ingin mendengarnya. Setiap kata yang mereka ucapkan hanya semakin membuat hatinya merasa hancur. Suara mereka terasa asing, seolah datang dari dunia yang berbeda, dunia yang penuh dengan rahasia yang sekarang harus dia tanggung sendiri.

"Permata, kita harus bicara," suara ibunya terdengar pelan dari luar pintu. "Aku tahu kamu marah. Tapi percayalah, kami tidak bermaksud menyakitimu."

Permata mengeratkan selimutnya di tubuh yang masih lemah. "Tidak ada yang perlu dibicarakan, Bu," jawabnya pelan, suara serak karena tangisan yang belum selesai. "Ayah sudah memilih untuk menutup-nutupi semuanya. Tidak ada lagi yang bisa dijelaskan."

Tiba-tiba, pintu kamar terbuka sedikit. Furqan, suaminya, masuk dengan langkah hati-hati, melihat wajah Permata yang pucat, dengan mata merah karena menangis. "Sayang, kamu perlu istirahat. Jangan biarkan ini menguras tenaga kamu," kata Furqan lembut, menghampiri dan duduk di sampingnya.

Permata menatap suaminya dengan tatapan kosong. "Aku baru saja pulang dari rumah sakit, Furqan. Harusnya aku pulang untuk merasa tenang, tapi kenyataannya malah seperti ini... Kenapa Ayah bisa menyembunyikan ini semua dariku? Kenapa ibu juga diam saja?"

Furqan menggenggam tangannya dengan lembut. "Permata, aku tahu kamu kecewa. Dan aku mengerti kenapa kamu merasa seperti itu. Tapi jangan biarkan mereka merusak apa yang kamu punya sekarang. Kita bisa hadapi semuanya bersama."

Permata menarik napas panjang, matanya kembali terpejam. Tubuhnya begitu lelah, namun pikirannya seperti tak bisa berhenti berputar. "Aku merasa ditinggalkan, Furqan. Ayah... Dia sudah menikah lagi dan punya anak perempuan tanpa aku tahu apa-apa. Apa aku begitu tidak penting bagi dia? Aku merasa tidak dikenal lagi."

Furqan menenangkan Permata dengan pelukan lembut. "Kamu tidak sendirian, Permata. Aku ada di sini untukmu, kita akan melalui ini bersama-sama. Jangan biarkan kebohongan itu mengendalikan perasaanmu. Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan."

Namun, meskipun suaminya menenangkan, rasa sakit itu tidak bisa hilang begitu saja. Permata ingin sekali merasa lega, tapi kenyataan pahit yang baru saja dia temui terlalu besar untuk ditanggulangi hanya dengan pelukan. Dia merasa seperti sedang mengubur dirinya di kamar ini, berusaha melindungi diri dari perasaan yang sangat terluka.

Ia menatap keluar jendela, melihat langit yang seakan tak bisa memberikan jawaban. "Apakah semuanya akan baik-baik saja?" pikirnya dalam hati. "Atau akankah aku selamanya terperangkap dalam kebohongan ini?"

Dia menutup matanya, berharap bisa tidur dan melupakan sejenak kenyataan yang baru saja menghancurkannya. Tapi di balik matanya yang tertutup, hatinya tetap merasa kosong, hancur, dan penuh dengan kebingungan.

Permata tetap terbaring di tempat tidur, meskipun tubuhnya merasa lelah sekali. Di luar kamar, suara-suara yang berasal dari orangtuanya dan Furqan semakin memudar, tetapi perasaan kecewa yang mendera hatinya malah semakin membesar. Seakan, dunia di luar sana tidak lagi penting baginya—yang penting hanya perasaan hancur yang kini menyelubungi dirinya.

Furqan, yang sedari tadi duduk di samping tempat tidur, mengamati istrinya dengan penuh perhatian. "Permata, aku tahu kamu butuh waktu," katanya perlahan, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Tapi tolong, jangan biarkan diri kamu terjebak dalam perasaan ini lebih lama. Kamu terlalu berharga untuk merusakkan dirimu sendiri dengan kebencian dan kesedihan yang terus-menerus."

Permata tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap langit-langit kamar, merasakan kepalanya yang masih pusing. Meskipun lelah, perasaan kecewa yang mendalam tetap menguasai dirinya, seolah tubuhnya tak bisa beristirahat dengan tenang. "Kenapa semua ini harus terjadi, Furqan?" suaranya serak. "Kenapa aku merasa seperti aku bukan anak mereka lagi?"

Furqan menggenggam tangan Permata dengan lebih erat, berusaha memberikan kenyamanan. "Mereka mungkin telah membuat keputusan yang salah, tapi itu tidak mengubah siapa kamu. Kamu tetap anak yang mereka cintai, meskipun kadang-kadang kita merasa terluka oleh mereka."

Permata menghela napas panjang, matanya mulai basah. "Mereka seharusnya tahu betapa besar artinya aku untuk mereka. Seharusnya mereka bisa memberitahuku sebelum aku menemukan kebenaran dengan cara seperti ini," ujar Permata pelan, mencoba mengatasi air mata yang mulai jatuh. "Aku merasa dibohongi, Furqan. Rasanya seperti mereka menutup-nutupi bagian hidup mereka yang paling penting dariku."

Furqan mengusap rambutnya yang sedikit basah karena air mata yang tak bisa ditahan. "Aku tahu ini sangat berat, Permata. Tapi ini bukan salahmu. Ini kesalahan mereka. Mereka yang memilih untuk menyembunyikan kebenaran dari kamu, dan itu bukan beban yang harus kamu pikul sendirian."

Permata menatap suaminya dengan tatapan kosong, namun ada sedikit kelembutan di dalamnya. "Aku... aku ingin melupakan semuanya, Furqan. Aku ingin tidur dan tidak memikirkan apa-apa. Tapi kenyataannya, aku tidak bisa."

Furqan mengangguk pelan. "Kamu tidak harus melupakan semuanya. Yang perlu kamu lakukan adalah memberi dirimu waktu untuk merasa, untuk memproses semuanya. Kamu tidak perlu terburu-buru untuk memaafkan mereka atau bahkan memahami semuanya. Hanya saja, jangan biarkan rasa sakit ini menguasai hidupmu."

Permata terdiam beberapa saat, memikirkan kata-kata suaminya. Setelah beberapa menit yang terasa panjang, ia berkata dengan suara yang lebih tenang, "Aku cuma butuh waktu, Furqan. Aku perlu sendiri. Aku tidak tahu bagaimana harus berhadapan dengan mereka sekarang. Aku merasa semuanya sudah berubah. Semua yang aku percayai selama ini... hancur."

Furqan mengangguk, meskipun jelas terlihat kekhawatirannya. "Aku akan tetap di sini, Permata. Kalau kamu siap untuk bicara atau kalau kamu butuh aku, aku ada di luar. Jangan ragu untuk memanggilku kapan saja."

Permata hanya mengangguk, meskipun hatinya terasa semakin berat. Setelah beberapa saat, Furqan meninggalkan kamar, memberikan ruang bagi Permata untuk menghadapinya sendiri. Di dalam keheningan kamar yang sunyi, Permata menarik napas panjang dan kembali terbaring di tempat tidur, mencoba mengumpulkan kekuatan yang sudah hampir habis.

Di luar sana, suara ibu dan ayahnya semakin terdengar. Mereka tidak tahu harus bagaimana menghadapi situasi ini. Tapi Permata tidak ingin mendengarnya lagi. Setiap kata yang keluar dari mulut mereka seakan hanya memperdalam luka di hatinya. "Bagaimana aku bisa melihat mereka lagi setelah semuanya?" pikirnya, dengan mata yang tertutup rapat.

Furqan HasbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang