devano kembali

14 1 0
                                    

Setelah beberapa hari di pesantren, Permata mulai merasakan ketenangan meski hatinya masih dihantui oleh perasaan kecewa terhadap keluarganya. Dia mencoba fokus pada rutinitas harian, tetapi pikirannya seringkali kembali kepada rumah dan segala hal yang terjadi di sana. Suasana di pesantren sedikit banyak membantu menenangkan perasaannya, meski ia tahu perawatan yang telah dijadwalkan untuknya di luar negeri sudah dekat.

Suatu sore, saat Permata sedang duduk di halaman pesantren, suara langkah kaki yang familiar menghentikan lamunannya. Dia menoleh dan melihat Devano, sepupunya, berdiri di depan pintu gerbang pesantren dengan senyum lebar di wajahnya.

"Devano!" seru Permata, terkejut namun senang. Tanpa pikir panjang, ia berdiri dan berjalan cepat menghampiri sepupunya, memeluknya erat.

Devano membalas pelukannya dengan hangat, lalu menarik diri sedikit dan tersenyum. "Aku baru saja tiba dari luar negeri, Permata. Ibu dan ayahmu sangat khawatir dengan perawatanmu di sana, jadi aku datang untuk memastikan semuanya siap."

Permata tersenyum lemah, meskipun ada sedikit kelelahan di wajahnya. "Aku tahu, Devano. Sejak awal, aku sudah tahu tentang perawatan itu. Mereka memang tidak memberi tahu aku langsung, tapi aku bisa menebaknya. Aku hanya tidak tahu harus bagaimana menghadapinya."

Devano menatapnya dengan penuh perhatian. "Aku tahu ini pasti sulit untukmu, Permata. Tapi percayalah, aku sudah mengecek semua fasilitas rumah sakit di luar negeri itu. Mereka sudah siap untuk merawatmu dan memiliki spesialisasi dalam kasus seperti milikmu. Aku ingin memastikan semuanya berjalan lancar dan kamu mendapatkan yang terbaik."

Permata menghela napas panjang. "Aku merasa semuanya terlalu berat, Devano. Aku tidak pernah benar-benar diberi kesempatan untuk berbicara atau memutuskan apa yang terbaik untukku. Semua keputusan itu dibuat tanpa melibatkan aku, dan sekarang aku merasa... terjebak."

Devano menggenggam tangannya dengan lembut. "Aku tahu kamu merasa terluka dan bingung, Permata. Tapi yang terpenting sekarang adalah perawatanmu. Aku ingin kamu tahu, kamu tidak sendirian. Aku akan ada di sini untuk membantu memastikan kamu mendapatkan apa yang terbaik. Semua keputusan ini, meskipun sulit, juga dibuat demi kebaikanmu."

Permata menatapnya dengan mata penuh emosi, mencoba mencerna kata-kata Devano. "Aku... aku tahu mereka ingin yang terbaik untukku, tapi kenapa mereka tidak memberitahuku lebih awal? Kenapa semuanya harus jadi sebuah rahasia?"

Devano menghela napas, menyadari betapa besar kebingungan yang dirasakan Permata. "Terkadang, orang tua berpikir mereka bisa melindungi kita dengan menyembunyikan hal-hal yang sulit. Mereka tidak tahu bagaimana cara memberi tahu hal yang begitu berat, dan mungkin mereka juga khawatir akan reaksimu. Tapi yang penting sekarang adalah kamu fokus untuk sembuh, dan aku akan pastikan bahwa kamu mendapatkan perawatan terbaik."

Permata sedikit terdiam, memikirkan kata-kata Devano. "Aku merasa terabaikan, Devano. Aku merasa seperti aku bukan lagi bagian dari keluarga ini. Semua yang mereka lakukan terasa seperti keputusan sepihak. Aku hanya ingin merasa didengar."

Devano menggenggam kedua tangannya lebih erat, menatapnya dengan penuh pengertian. "Aku mengerti perasaanmu, Permata. Aku juga merasa kesal dengan apa yang terjadi, dan aku tahu ini sangat sulit. Tapi yang bisa kita lakukan sekarang adalah memastikan kamu mendapatkan yang terbaik, baik untuk fisikmu maupun untuk emosionalmu. Aku di sini untuk mendampingimu."

Permata mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan sekarang, Devano. Tapi aku tahu aku harus menjalani perawatan itu, meskipun rasanya sulit untuk menerima semuanya."

Devano tersenyum lembut. "Kamu kuat, Permata. Kita akan jalani semuanya bersama. Aku sudah memastikan semua rencana perawatan ini siap dan berjalan lancar. Jadi, kamu hanya perlu fokus pada pemulihanmu."

Permata menghela napas panjang, merasa sedikit lebih tenang mendengar kata-kata Devano. "Terima kasih, Devano. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi setidaknya aku tahu aku tidak sendirian."

Devano memeluknya lagi, memberikan kehangatan yang sangat dibutuhkan oleh Permata saat itu. "Tidak perlu berterima kasih, Permata. Kita keluarga, dan aku akan selalu ada untukmu. Apa pun yang terjadi, kita akan menghadapi ini bersama-sama."

Dengan kehadiran Devano, Permata merasa sedikit lebih tenang. Meskipun perasaan kecewa dan bingung masih ada, ia tahu bahwa sepupunya akan mendampinginya dalam setiap langkah perawatan yang akan dijalani di luar negeri. Devano telah memastikan bahwa semuanya akan siap untuknya, dan dengan dukungan sepupunya, Permata merasa lebih kuat untuk melangkah maju.

**************

Beberapa hari setelah percakapan yang menyentuh dengan Furqan dan Devano, keadaan fisik Permata mulai memburuk. Meskipun ia sudah berada di pesantren untuk mendapatkan ketenangan, tubuhnya tampak semakin lemah. Perasaan kecewa dan kebingungannya yang belum sepenuhnya teratasi seolah membuat kondisinya semakin buruk. Tidur malamnya menjadi gelisah, nafsu makannya menurun, dan bahkan saat bangun pagi, ia merasa begitu lelah dan tak bertenaga.

Furqan dan Devano, yang sangat khawatir akan keadaan Permata, mulai memperhatikan perubahan pada istrinya. Mereka saling bertukar pandang, saling menguatkan satu sama lain, merasa bahwa mereka harus segera mengambil langkah lebih serius.

Suatu malam, ketika Permata sedang duduk di sudut kamar pesantren, terdiam dalam pikirannya, Furqan masuk dengan wajah penuh kecemasan.

"Permata," katanya lembut, "kau terlihat tidak sehat. Aku merasa seperti ada yang salah. Aku tahu kamu ingin tetap kuat, tapi aku ingin kau mendengarkan tubuhmu. Aku khawatir."

Permata mengangkat wajahnya perlahan, matanya tampak lelah. "Aku tidak tahu, Furqan. Aku merasa begitu lelah... lebih dari biasanya. Seolah-olah ada sesuatu yang salah dengan diriku, tapi aku tidak tahu apa."

Furqan mendekat dan duduk di sampingnya. "Kamu harus segera diperiksa. Aku tahu kamu merasa berat, tapi tubuhmu sedang memberitahumu sesuatu. Aku tidak ingin menunggu lebih lama."

Permata menunduk, hatinya bergejolak. "Aku tidak tahu... terkadang aku merasa seperti... aku tidak bisa melawan ini. Semua yang terjadi begitu cepat. Aku tidak siap untuk semua ini, Furqan."

Furqan menggenggam tangannya, matanya penuh empati. "Permata, aku tahu ini sangat berat untukmu. Tapi kamu tidak sendiri. Aku di sini. Aku akan membantumu, apa pun yang terjadi."

Permata terdiam sejenak, mencoba mencerna kata-kata suaminya. Di saat yang sama, tubuhnya semakin terasa lemah, seolah tidak mampu mengikuti kehendak hatinya untuk bertahan.

Beberapa saat kemudian, Devano datang, wajahnya tampak cemas. "Aku sudah berbicara dengan dokter. Kita harus segera pergi ke rumah sakit, Permata. Keadaanmu tidak bisa dibiarkan seperti ini. Aku tahu kamu merasa kelelahan, tetapi ini bisa berbahaya."

Permata menunduk, air mata mulai mengalir tanpa bisa dihentikan. "Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, Devano. Aku tidak tahu bagaimana melanjutkan semuanya. Semua hal yang terjadi begitu cepat... aku hanya ingin melarikan diri dari semuanya."

Furqan segera merangkulnya, mencoba memberikan kenyamanan yang sangat dibutuhkan Permata. "Tidak ada tempat untuk melarikan diri, Permata. Tapi ada jalan untuk sembuh. Aku akan berada di sini bersama kamu, apapun yang terjadi."

Keadaan Permata semakin buruk. Kelemahan fisiknya semakin tampak jelas. Ia mulai merasa sesak nafas dan sangat lelah, bahkan untuk sekadar berbicara. Furqan dan Devano memutuskan untuk segera membawanya ke rumah sakit.

Sesampainya di rumah sakit, dokter yang memeriksa Permata langsung memberikan diagnosis yang mengejutkan: keadaan emosional yang belum terselesaikan, ditambah dengan kondisi fisik yang menurun, memperburuk kesehatan Permata. Dokter menekankan bahwa ia harus segera menjalani perawatan intensif, baik untuk tubuh maupun untuk kondisi mentalnya.

Furqan berdiri di samping tempat tidur Permata, menggenggam tangannya dengan erat. "Kita akan menghadapi ini bersama-sama, Permata. Jangan khawatir, aku akan selalu ada untukmu."

Devano yang berdiri di sebelah Furqan, menatap dengan serius. "Kami di sini untukmu, Permata. Apa pun yang terjadi, kamu tidak sendirian."

Permata hanya bisa menatap mereka dengan mata yang penuh kelelahan. Hatinya masih penuh kebingungan, namun satu hal yang bisa ia pastikan: meskipun tubuhnya mulai lemah, dukungan Furqan dan Devano memberikan sedikit kekuatan yang ia perlukan untuk terus bertahan.

Furqan HasbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang