rumah sakit

18 0 0
                                    

Keadaan Permata semakin memburuk. Tubuhnya semakin lemah, matanya sayu, dan nafasnya terengah-engah. Furqan dan Devano segera membawa Permata ke rumah sakit, meskipun Permata berusaha menahan diri dan berkata bahwa ia tidak ingin merepotkan siapa pun. Namun, keadaan fisiknya tidak memungkinkan untuk menunda lagi.

Di ruang gawat darurat rumah sakit, dokter langsung menangani Permata dengan cepat. Furqan, dengan wajah cemas yang tak bisa disembunyikan, duduk di samping tempat tidur Permata, menggenggam erat tangannya. Ia tidak bisa mengerti bagaimana perasaan istrinya, namun yang jelas, ia tahu bahwa setiap detik sekarang sangat berarti untuk pemulihan Permata.

"Permata, kamu harus bertahan sedikit lebih lama. Kamu akan baik-baik saja, aku di sini," kata Furqan, dengan suara yang bergetar, meskipun ia berusaha menunjukkan ketenangan.

Namun, di dalam hatinya, ada kegelisahan yang luar biasa. Setiap detik yang berlalu terasa seperti beban yang semakin berat. Meskipun ia berusaha tegar, melihat istrinya yang tak berdaya membuatnya merasa tak berdaya juga.

Devano berdiri di belakang mereka, diam dengan wajah yang tegang, mencoba memberi ruang bagi Permata dan Furqan, namun hatinya juga hancur melihat keadaannya yang semakin parah. Ia merasa sangat khawatir, apalagi setelah mendengar diagnosis dokter yang meminta mereka untuk segera melakukan perawatan intensif.

Tidak lama setelah itu, pintu ruang rumah sakit terbuka, dan ayah serta ibu Permata datang bergegas. Wajah mereka tampak pucat, penuh kekhawatiran. Ibu Permata, yang sudah lama tertekan dengan situasi keluarganya, tampak sangat terkejut melihat keadaan putrinya yang begitu rapuh.

"Ibu... Ayah..." suara Permata keluar dengan lemah, tetapi cukup terdengar jelas, memanggil kedua orang tuanya.

Ibu Permata segera mendekat, meraih tangan putrinya dengan hati-hati, wajahnya penuh air mata. "Permata, sayang, maafkan ibu... ibu tidak tahu kamu akan seperti ini... maafkan ibu."

Ayah Permata, yang sebelumnya tampak bingung dan terluka karena perselisihan dengan anaknya, kini terlihat teramat menyesal. "Permata... maafkan ayah, ayah tahu ini semua salah. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Aku tahu aku banyak salah, tapi aku tidak pernah berniat menyakitimu."

Permata memandang mereka dengan tatapan yang penuh kebingungan, perasaan terluka masih sangat dalam. "Kenapa kalian tidak memberitahuku lebih awal? Kenapa semuanya harus begitu... rumit? Kenapa aku harus tahu semuanya sekarang, di saat aku sudah merasa seperti ini?"

Ibu Permata menunduk, air mata tak bisa ia tahan. "Aku tidak tahu harus berkata apa, Permata. Semua yang terjadi begitu sulit. Ayahmu dan aku sudah lama memilih diam... Aku tidak ingin kamu terluka, tapi ternyata ini yang terjadi."

Furqan, yang melihat kesedihan di wajah Permata, berusaha menenangkan. "Permata, kita semua membuat kesalahan, tapi sekarang kita hanya bisa saling mendukung. Kita ada di sini untukmu."

Devano mengangguk, mendekat untuk memberi ruang bagi ayah dan ibu Permata. "Kami akan selalu ada, Permata. Tidak ada yang akan meninggalkanmu. Kita akan melalui ini bersama."

Permata menatap mereka, lalu matanya terpejam karena rasa lelah yang luar biasa. Sakitnya bukan hanya fisik, tetapi juga emosional yang begitu mendalam. Ia merasa seperti terperangkap dalam sebuah kenyataan yang sangat sulit diterima. Orang tuanya datang terlambat, ayahnya mengaku salah, namun dia merasa hatinya hancur, terperangkap antara kekecewaan dan keinginan untuk merasa dicintai.

"Ibu... Ayah..." suara Permata hampir tak terdengar lagi, begitu lemah, "Kenapa... kalian harus menyembunyikan semuanya dariku... kenapa..."

Ibu Permata terisak, dan ayah Permata pun tidak dapat menahan air mata yang mengalir. "Kami tidak tahu cara menghadapimu, Permata. Kami takut kehilanganmu... Kami takut kamu tidak akan memaafkan kami."

Furqan HasbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang