Hari-hari berlalu dengan penuh ketegangan, namun keadaan Permata tidak kunjung membaik. Meskipun dokter telah berusaha semaksimal mungkin, kondisi emosionalnya yang terus terpuruk mempengaruhi kesehatannya dengan sangat parah. Ia semakin lemah, semakin terpuruk dalam perasaan yang tidak bisa diungkapkan. Tubuhnya semakin rapuh, dan meskipun ada orang-orang yang mencintainya di sekitarnya, ia merasa tidak lagi bisa bertahan.
Furqan, yang setiap hari menemani Permata di rumah sakit, merasa semakin kehilangan harapan. Ia melihat istrinya yang dulu penuh semangat kini terbaring dengan wajah pucat, nafas yang terengah-engah, dan mata yang tampak kosong. Setiap kali ia menggenggam tangan Permata, ia merasa seperti ada yang terlepas, perlahan-lahan, tanpa bisa ia cegah.
"Permata," kata Furqan suatu malam, tangannya menggenggam lembut tangan istrinya yang dingin. "Kau masih bisa bertahan, kan? Aku... aku tidak tahu bagaimana jika kau pergi. Aku tidak bisa hidup tanpamu."
Air mata Furqan mengalir tanpa bisa ia tahan. Semua harapan dan doa yang ia panjatkan untuk kesembuhan Permata terasa sia-sia. Ia ingin sekali bisa mengambil rasa sakit itu dan menggantikannya, tetapi ia tahu ia tidak bisa.
Permata membuka matanya perlahan, dan menatap Furqan dengan tatapan yang sangat lemah. Suaranya hampir tak terdengar, namun cukup jelas untuk Furqan yang sangat mendengarkan. "Aku... aku sudah lelah, Furqan. Aku ingin beristirahat."
Furqan menunduk, air matanya semakin mengalir. "Permata, jangan bilang begitu. Kamu tidak boleh pergi. Kita akan bersama selamanya, aku janji."
Namun, Permata hanya bisa tersenyum tipis, meskipun senyumnya itu sangat sakit bagi Furqan. Ia tahu bahwa senyuman itu adalah tanda bahwa Permata sudah siap untuk pergi, siap untuk meninggalkan dunia ini yang penuh dengan luka dan kekecewaan.
Ibu dan ayah Permata datang ke rumah sakit lagi malam itu. Mereka berdiri di samping tempat tidur anak mereka, dengan wajah penuh penyesalan dan rasa sakit yang mendalam. "Permata, sayang," ibu Permata terisak. "Ibu tidak tahu bagaimana harus menghadapimu... tapi tolong jangan pergi. Ibu ingin meluruskan semuanya. Maafkan ibu. Aku sangat mencintaimu."
Ayah Permata, dengan suara bergetar, berkata, "Aku... aku tahu aku telah banyak menyakiti kamu, Permata. Aku menyesal. Tolong jangan tinggalkan kami."
Namun, Permata hanya bisa tersenyum lemah, matanya mulai menutup perlahan, seakan menyadari bahwa saatnya telah tiba. Furqan menggenggam tangan Permata lebih erat, tidak siap untuk melepaskannya. "Permata, aku tidak bisa hidup tanpa kamu. Kamu adalah segala-galanya untukku," kata Furqan, suaranya penuh dengan air mata.
Permata membuka matanya sekali lagi, menatap suaminya, ayah dan ibunya. "Aku... aku tidak bisa lagi bertahan. Tapi aku tahu kalian akan baik-baik saja. Aku... aku sudah siap untuk pergi. Jangan menangis untukku, aku tidak ingin kalian menderita."
Dengan satu tarikan nafas terakhir, Permata menghembuskan nafasnya, meninggalkan dunia ini dengan kedamaian di wajahnya. Semua orang yang ada di ruangan itu merasa seakan dunia berhenti berputar sejenak. Furqan, yang menggenggam tangan Permata dengan erat, merasa hatinya hancur. Ayah dan ibu Permata hanya bisa menangis terisak-isak, menyesali waktu yang telah hilang dan kesempatan untuk memperbaiki kesalahan mereka.
Malam itu, rumah sakit yang semula dipenuhi dengan suara mesin dan percakapan menjadi sunyi. Furqan terdiam, tak mampu berkata-kata. Ia tidak tahu bagaimana harus melanjutkan hidup tanpa Permata. Ia merasa seperti kehilangan sebagian dari dirinya, seperti ada bagian dari dirinya yang telah hilang selamanya.
********
Suasana pemakaman semakin sunyi, dihiasi dengan langit mendung yang semakin gelap, mencerminkan perasaan hati setiap orang yang hadir. Semua orang yang datang tidak hanya membawa kesedihan, tetapi juga penyesalan yang tak terucapkan. Mereka hadir untuk mengantar kepergian seorang perempuan yang pernah memberikan kebahagiaan bagi mereka yang mencintainya. Kepergian Permata adalah luka yang dalam, dan mereka tahu, tak ada lagi yang bisa dilakukan untuk mengembalikannya.
Di antara mereka, Umi dan Abinya Furqan berjalan bersama, mengiringi langkah Furqan yang sudah terhuyung lemah, seakan dunia ini terlalu berat untuk ditanggung. Mereka datang bersama dengan hati yang tak bisa lagi menahan kesedihan. Meskipun mereka tahu bahwa kehilangan ini menghancurkan, mereka harus hadir di sisi anak mereka—Furqan.
Umi dan Abinya Furqan tinggal di rumah yang sama dengan Permata dan Furqan. Mereka menyaksikan setiap hari kebahagiaan yang mereka bagikan bersama, meskipun hubungan antara Permata dan keluarganya tak selalu sempurna. Ketika Permata masuk ke keluarga mereka, Umi dan Abinya Furqan menyambutnya dengan tangan terbuka, meskipun kadang mereka menyadari ketegangan di antara keluarga besar yang sulit dijembatani. Kini, mereka harus menghadapi kenyataan bahwa putri mereka telah pergi selamanya.
Umi Furqan, yang selama ini menjadi pendengar setia bagi Permata, kini berdiri di sisi Furqan, meletakkan tangannya di bahu anak laki-lakinya. Meskipun hatinya hancur melihat anaknya begitu menderita, Umi berusaha memberikan kekuatan dengan kehadirannya yang penuh kasih.
"Furqan, anakku," suara Umi terdengar penuh kelembutan. "Kami tahu ini sangat berat. Kami di sini untukmu, untuk melewati semua ini bersama. Kami tahu kamu kehilangan sebagian dari dirimu, tetapi kamu tidak sendirian. Kami akan selalu ada."
Furqan hanya bisa menunduk, tangannya menggenggam erat tanah yang basah, tubuhnya terasa lemah dan tidak bisa bergerak. Dia merasa dunia ini menghilang begitu saja. Semua kenangan indah bersama Permata datang silih berganti, seperti bayangan yang semakin memudar. Perasaan kosong menyelimutinya.
Abinya Furqan yang berdiri di sisi lainnya mencoba untuk memberikan dukungan. "Furqan," suara Abinya terdengar penuh dengan kekuatan meski di dalam hatinya penuh kepedihan. "Kami tahu ini tidak mudah, tetapi kamu harus tetap kuat. Permata pasti ingin kamu melanjutkan hidup dengan baik, meskipun dia sudah pergi."
Furqan mengangguk perlahan, tetapi tak ada kata-kata yang bisa keluar. Semua terasa hilang, seperti ia tak lagi memiliki tujuan. Setiap langkahnya terasa semakin jauh dari kenyataan. Kenangan akan Permata selalu menghantui, dan ia merasa kehilangan yang begitu mendalam.
Sementara itu, ibu dan ayah Permata berdiri di sisi lain, merasakan kehampaan yang sama. Ibu Permata yang biasanya begitu tegar kini terlihat rapuh, air mata tak henti-hentinya mengalir. Mereka berdua menatap jenazah anak perempuan mereka yang telah diletakkan dalam peti, seakan tidak percaya bahwa anak yang mereka cintai kini telah pergi. Mereka merasa sangat kehilangan, dan penyesalan datang terlambat, menyelimuti hati mereka.
Tanah yang mulai menutupi jenazah Permata adalah simbol dari kenyataan yang tak bisa dihindari. Semua orang berdiri dengan diam, tanpa bisa berkata-kata lagi. Satu-satunya suara yang terdengar adalah isak tangis yang berbaur dengan suara tanah yang menutup peti jenazah.
Tiba-tiba, Umi Furqan mendekatkan dirinya pada ibu Permata, merangkulnya dengan penuh kasih sayang, meskipun keduanya tak mampu mengungkapkan apa yang mereka rasakan. Umi memandang ibu Permata dengan tatapan penuh simpati, memberikan kekuatan dalam keheningan.
"Permata pasti tahu betapa kami mencintainya, meskipun mungkin ada banyak kesalahan yang tak sempat kami perbaiki," kata Umi, suara lembut penuh penyesalan. "Dia selalu menjadi anak yang penuh cinta, dan kami akan terus mengenangnya. Kami akan menjaga kenangannya."
Abinya Furqan juga bergabung dalam pelukan itu, memberikan keteguhan kepada ibu dan ayah Permata. Meskipun mereka semua hancur, mereka tahu bahwa mereka harus tetap berdiri untuk anak-anak mereka yang masih harus melanjutkan hidup.
Furqan yang mendengar suara-suara itu hanya bisa terdiam. Ia merasa, meskipun keluarganya begitu peduli, ada kekosongan yang tak bisa diisi oleh siapa pun. Permata adalah bagian dari hidupnya, dan kehilangan ini begitu mendalam. Namun, ia tahu bahwa Umi dan Abinya Furqan hadir untuknya. Meskipun tidak ada yang bisa mengubah kenyataan, cinta yang diberikan keluarga ini akan menjadi kekuatan yang terus ada.
Ketika tanah benar-benar menutupi peti jenazah Permata, suasana terasa semakin sunyi. Semua orang merasa kelelahan emosional, tetapi mereka tetap berdiri di sana, mengingatkan diri mereka bahwa Permata akan selalu hidup dalam kenangan mereka. Kehilangan ini adalah ujian yang berat, tetapi mereka harus melanjutkan hidup, meskipun dengan hati yang penuh luka.
Furqan akhirnya memalingkan wajahnya, menatap ke arah Umi dan Abinya. "Terima kasih, Umi... Abah... atas segala dukungan yang kalian berikan. Aku... aku akan mencoba untuk melanjutkan hidup," ujarnya dengan suara yang serak, namun penuh tekad. "Tapi, aku tak akan pernah lupa pada Permata. Dia akan selalu ada di hatiku."
Umi dan Abinya Furqan hanya mengangguk, merasakan perasaan yang sama. Meskipun rasa kehilangan tak akan hilang, mereka tahu bahwa cinta dan kenangan yang ditinggalkan Permata akan tetap hidup dalam setiap hati yang mencintainya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Furqan Hasbi
Teen FictionMalang memang nasib Permata niat hati ingin menolak perjodohan yang dilakukan oleh orang tuanya eh ujung-ujungnya pernikahan tersebut malah tetap dilakukan dan itu disebabkan karena ulahnya sendiri. Permata Karimah ia gadis yang baru berusia 19 tahu...