pergi dari rumah

21 1 0
                                    


Saat Permata dan Furqan hendak pergi, ibunya berdiri dengan langkah ragu di dekat pintu ruang tamu. Wajahnya tampak bingung dan penuh dengan kecemasan, namun ada rasa sayang yang dalam terpancar dari matanya. Melihat Permata hendak pergi, ibunya merasa seolah-olah sebuah bagian dari dirinya akan hilang. Ia tidak bisa menerima kenyataan bahwa anaknya akan pergi lagi, lebih cepat dari yang ia harapkan.

"Permata..." Suara ibunya bergetar saat memanggil namanya, dan saat itu juga, Permata merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.

Permata berhenti sejenak, menatap ibunya yang berdiri di depan mereka dengan wajah penuh kesedihan. Ibunya berjalan mendekat, menggenggam kedua tangan Permata dengan lembut. "Kenapa kamu harus pergi sekarang, Nak? Kamu baru saja pulang dari rumah sakit, kamu masih butuh waktu. Ibu sangat khawatir kalau kamu pergi dalam keadaan seperti ini."

Permata terdiam, hati terasa nyeri mendengar suara ibunya yang penuh dengan cinta. Ia tahu betapa besar kasih sayang ibunya padanya, namun perasaan kecewa dan amarah yang menggerogoti dirinya membuatnya sulit untuk bertahan lebih lama di rumah itu.

"Ibu..." Suara Permata terdengar parau, penuh dengan kesedihan. "Aku tahu Ibu khawatir, tapi aku merasa tidak bisa tinggal lebih lama di sini. Aku butuh waktu untuk diri sendiri, untuk bisa berpikir jernih. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi. Di sini... semuanya membuatku semakin terpuruk."

Ibunya menarik napas panjang, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. "Aku tahu, Nak... Ibu tahu kamu sedang terluka. Ibu juga merasa sakit melihat kamu seperti ini. Tapi tolong, jangan pergi. Ibu sangat sayang padamu. Kamu adalah segalanya bagiku. Aku tidak ingin kehilanganmu, Permata."

Mendengar kata-kata itu, hati Permata terasa semakin sakit. Ia merasa seperti terjebak dalam dilema yang tak terpecahkan. Di satu sisi, ia ingin mendengarkan kata-kata ibunya dan tinggal lebih lama, tetapi di sisi lain, ia tahu bahwa tinggal lebih lama hanya akan membuatnya semakin tertekan.

"Tidak ada yang akan berubah, Ibu," jawab Permata dengan suara yang hampir tak terdengar. "Aku akan selalu menjadi anak Ibu, tapi aku tidak bisa terus berada di tempat yang penuh kebohongan dan rasa sakit. Aku butuh waktu untuk diri sendiri. Aku ingin kembali ke pesantren, untuk bisa melupakan semua ini dan mendapatkan ketenangan."

Ibu Permata menundukkan kepala, merasa seperti dunia runtuh di sekitarnya. Ia sangat ingin memeluk Permata dan memintanya untuk tetap tinggal, tetapi ia tahu bahwa ia tidak bisa memaksakan kehendaknya pada anaknya. "Ibu sangat sayang padamu, Permata. Jangan merasa bahwa Ibu ingin menghalangimu. Tapi tolong, ingat bahwa Ibu tidak ingin kamu pergi dalam keadaan seperti ini."

Furqan yang melihat ibunya begitu terpukul, melangkah maju dan meletakkan tangannya dengan lembut di bahu ibu Permata. "Ibu, Permata sudah memutuskan. Aku akan menjaga dan merawatnya. Tolong beri kami waktu, dan biarkan dia pergi dengan hati yang lebih tenang."

Ibunya menatap Furqan dengan mata yang masih penuh dengan harapan dan kecemasan. "Furqan, jagalah dia dengan baik. Jangan biarkan dia terluka lebih lagi. Ibu... Ibu benar-benar sangat sayang pada Permata."

Furqan mengangguk, mencoba memberikan keyakinan. "Saya akan menjaga Permata sebaik mungkin, Ibu. Kami akan kembali segera setelah semuanya lebih baik."

Permata merasa hatinya semakin berat mendengar kata-kata ibunya yang penuh dengan kasih sayang. "Ibu, aku sangat sayang Ibu. Aku tidak akan pernah melupakan semuanya. Aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan diri." Suaranya terdengar terharu, hampir menangis.

Ibu Permata mengelus pipi anaknya dengan lembut, air matanya mulai mengalir. "Jangan lupakan Ibu, Nak. Ibu selalu menunggumu kembali. Kamu adalah kebahagiaan Ibu, dan Ibu hanya ingin yang terbaik untukmu."

Permata mengangguk, mencoba menahan air matanya yang hampir tumpah. "Aku tidak akan melupakan Ibu, Ibu. Aku janji."

Dengan berat hati, ibu Permata melepaskan genggamannya dan mundur sedikit, memberikan ruang bagi mereka untuk pergi. Tanpa sepatah kata lagi, Furqan memegang tangan Permata dan bersama-sama mereka berjalan keluar, meninggalkan rumah itu. Meskipun hatinya hancur, Permata tahu bahwa keputusan ini adalah yang terbaik untuknya—meskipun berat, ia harus pergi untuk menemukan ketenangan.

Furqan dan Permata melangkah keluar dari rumah itu dengan hati yang penuh kecemasan. Di luar, langit mendung, seakan mencerminkan perasaan mereka. Mereka berdua hanya diam, meresapi apa yang baru saja terjadi. Permata merasa seperti ada bagian dari dirinya yang tertinggal di rumah itu, namun di sisi lain, ia juga merasa sedikit lega, meski kesedihan masih menghantui hatinya.

Mereka berjalan menuju mobil, dan setelah beberapa detik, Furqan membuka pintu untuk Permata. "Kita akan baik-baik saja, Permata," kata Furqan dengan suara lembut, namun penuh keyakinan. "Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita akan melalui ini bersama."

Permata hanya mengangguk pelan, tidak mampu berkata banyak. Ia masih terdiam, menatap jalanan yang mulai terlihat samar di bawah hujan gerimis. Semua yang terjadi begitu cepat dan begitu mengerikan, tetapi ia tahu bahwa ia harus melalui semua ini untuk bisa kembali menemukan dirinya.

Furqan menutup pintu mobil dan masuk ke dalam, menghidupkan mesin. Keheningan masih membalut suasana, namun Furqan tahu bahwa Permata membutuhkan waktu untuk berbicara tentang perasaannya.

"Permata," suara Furqan kembali memecah keheningan, "aku tahu kamu masih terluka, dan aku ingin kamu tahu bahwa aku di sini, kapan pun kamu siap untuk berbicara."

Permata menoleh sedikit ke arahnya, mencoba memberikan senyum tipis. "Aku... aku merasa sangat bingung, Furqan. Kenapa semua ini harus terjadi? Kenapa mereka tidak memberiku kesempatan untuk merasa bahagia? Kenapa ayah dan ibu tidak memberitahuku tentang pernikahan ayah yang kedua? Aku merasa seperti aku sudah hidup dalam kebohongan selama ini."

Furqan mengangguk dengan pengertian, mengingatkan dirinya untuk lebih sabar. "Aku tahu kamu merasa seperti ini karena dikhianati, Permata. Itu memang sangat sulit, terutama karena itu datang dari orang yang kamu percayai. Tapi ingat, mereka tetap orang tuamu, dan meski mereka membuat kesalahan, bukan berarti kamu harus menghancurkan hubungan itu. Kamu bisa memberi mereka kesempatan untuk memperbaiki semuanya, meskipun itu butuh waktu."

Permata menghela napas panjang, menatap keluar jendela mobil, namun matanya kosong, seperti mencari jawaban di balik hujan yang turun perlahan. "Aku tidak tahu, Furqan. Aku merasa sangat kesepian. Ayah... Dia seharusnya tahu betapa sulitnya aku menerima kenyataan ini. Kenapa dia tidak memberi tahuku lebih awal?"

Furqan menyentuh tangan Permata yang terlipat di pangkuannya, mencoba memberikan kenyamanan. "Mungkin dia tidak tahu bagaimana cara mengatakannya, atau mungkin dia takut akan reaksi kamu. Tapi kamu harus ingat, itu bukan berarti dia tidak mencintaimu."

Permata memejamkan mata, merasa lelah. "Aku ingin melupakan semuanya, Furqan. Aku ingin merasakan ketenangan lagi. Itu sebabnya aku ingin kembali ke pesantren."

Furqan tersenyum lembut, menyalakan lampu mobil dan melajukannya perlahan menuju pesantren. "Dan kamu akan mendapatkan ketenangan itu. Di pesantren, kamu bisa berpikir lebih jernih, dan ketika waktunya tiba, kamu bisa memutuskan apa yang harus dilakukan. Tapi jangan pernah merasa sendirian, karena aku akan selalu ada untuk kamu."

Perjalanan menuju pesantren terasa panjang, namun di sisi lain, itu memberi Permata waktu untuk berpikir lebih banyak. Hujan yang semakin deras membuat suasana di dalam mobil menjadi lebih sunyi, tetapi kehadiran Furqan di sampingnya memberi sedikit ketenangan. Permata tahu, meskipun langkahnya berat, ia tidak sendirian.

Furqan HasbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang