[14] YANG SESUNGGUHNYA

4.2K 300 15
                                    

Kejadian yang sesungguhnya

[Nathan's POV]

"Gue gak tau bisa ikut atau enggak." Itulah jawaban Jean ketika gue nanya dia ikut dalam retreat menuju ke Jogja atau engga.

"Kenapa? Masalah keuangan?" Gue bertanya lagi, kali ini dengan wajah yang lebih serius.

"Lo gak usah ikut campur." Dia hanya menjawab dengan jutek, lalu berjalan pergi.

Kini di pikiran gue cuma ada satu-bagaimana caranya agar Jean bisa ikut dalam retreat tersebut? Baiklah, otak gue kini udah buntu. Karena itu, abis pulang sekolah, gue langsung ke rumah David yang jaraknya gak gitu jauh dari Vreden.

"Jadi lo minta saran ke gue?" David menjawab dengan sama juteknya.

"Katanya kan lo 'Spesialis Cinta', makanya gue nanya sama lo." Gue duduk di sofa putih ruang tamunya yang mewah.

"Kalo saran gue sih..." David memegang dagunya, menunjukkan aksen berpikir. "Lo bayarin dia."

"Serius lo?" Gue jawab dengan satu alis naik. "Tapi masalahnya-" emang si David gak ada sopan santunnya, sebelum gue selesai ngomong, dia udah motong duluan. "Gengsi? Jangan biarkan gangsi jadi tuan atas lo, Nath." Walaupun sebenarnya perkataanya memang benar.

"Atau, gini aja deh." Tiba- tiba, ide gila muncul di otak gue, gak tau dari mana asalnya.

"Gue bayarin dia, tapi lo harus bilang ke dia kalo lo yang bayarin dia." Gue bahkan gak tau apa yang gue omongin saat ini.

"Kenapa harus gue? Kenapa gak lo ngomong langsung aja ke dia? Lo jadi cowok berani dikit, kek." David mulai ceramah.

"Karena-gue tau yang dia suka itu bukan gue, tapi elo, Vid." Kini gue mengaku dengan pasrah. Mengaku bahwa kenyataannya Jean gak bakal suka sama tipe cowok macem gue. Apalagi-karena satu masalah yang belum dia ketahui.

"Jadi? Gue pura- pura gitu?"

"Ya iyalah, Vid. Masalah ini mah, gampang. Nanti gue tinggal telepon ke bokap buat bayarin." Gue menjawab dengan sangat entengnya, ya ini karena gue tau bokap gue pasti akan bayarin Jean.

"Yaudah." Akhirnya, David pasrah sama gue. Beginilah kita dari kecil. Pasti selalu David yang ngalah, makanya persahabatan gue sama dia akur.

Pada tanggal 30 November, gue dateng ke ruang guru. Padahal, biasanya gue anti banget sama yang namanya melangkahkan kaki di ruang guru. Biasalah, murid alim. Tapi boong. Jahhhh. Gue menghampiri meja Ms. Jenni, wali kelas kami.

"Kenapa Nathan? Kamu habis kesambet apa mau dateng ke meja saya?" Ms. Jen berkata dengan juteknya. Kenapa semua orang jutek banget sih ke gue? Salah gue apaan coba? Ntar lama- lama gue nyanyi Raisa - Serba Salah juga, nih.

"Ih, pagi- pagi gak boleh ngomel- ngomel, Miss, entar cantiknya ilang loh." Jurus andalan gue untuk menaklukkan para guru-gue gombalin. Klepek- klepek dah langsung. Kalo Jean ada di sini, gue jabanin, dia pasti bilang 'pede gila lo.'

"Iya deh. Kenapa?" tuh kan, udah gue bilang, pasti berhasil.

Iya aja deh ya, Nath.

"Miss, saya, mau bayarin uang retreatnya Jean." Gue sudah menebak apa respons dari Ms. Jen. "Hah? Saya gak salah denger? Kamu mau bayarin uang retreatnya Jean?" Ms. Jen mengulangi perkataan gue sekali lagi. Itu kuping apa jamur? Jamur kuping mungkin. Bisa- bisa gue digebukkin Ms. Jen kali kalo ketahuan ngomong gini mah.

"Iya, Miss." Gue terpaksa menjawab pertanyaan Ms. Jen tadi, biar dikira murid yang sopan santun. Padahal aslinya mah...beh....tau sendiri lah yak.

"Kamu yakin? Orang tua kamu sudah setuju?" Ms. Jen bertanya sekali lagi.

StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang