Ini sudah lima belas menit Jean duduk diam sambil menunduk di ruangan mewah ber-AC tersebut. Ia tak tau harus mengatakan hal apa, dan membicarakan tentang apa. Ia hanya menunggu salah satu di antara kedua lelaki itu membuka suara terlebih dahulu. Cepetan kek, ngomong apa kek gitu...mana gue kebelet lagi. Desah Jean di dalam hatinya.
"Jadi, namamu Jeannie Harrington?" Lelaki tua yang belum memperkenalkan dirinya itu berdeham dan memecah keheningan di ruangan ini.
"Eh, i-iya, Om." Jean terkejut ketika mendengar namanya dipanggil dan langsung mengangkat kepalanya, menatap wajah lelaki tua yang duduk berhadapan dengannya itu. Kayaknya, gue pernah liat deh ini orang...tapi.....dimana?
Nathan yang melihat kecanggungan di antara ayahnya dengan Jean itu langsung saja angkat suara, dan mencoba untuk mencairkan suasananya, "Eh—Jean, tadi gue belom perkenalin ke lo ya? Ini papa gue. Namanya.....Henry Har—eh, maksud gue Henry Fritzelus. Iya, heheh." Nathan berbicara kikuk sambil menatap ayahnya yang sedang meminum tehnya dengan santai.
"Ehm, iya. Papa pulang ke Indonesia karena mau melihat- lihat bagaimana pekerjaan- pekerjaan anak buah Papa di sini. Jadi, Papa hanya akan menginap selama tiga hari, setelah itu Papa akan langsung balik lagi ke Amerika" Ucap Henry dengan dingin.
"Ah, ya." Nathan dan Jean hanya menggangguk- anggukan kepala mereka dengan pelan. Jadi, ini papanya yang waktu itu dia ceritain.......Jean bergumam sendiri di dalam hatinya.
"Jadi, kalian akan memesan menu apa? Papa yang akan bayarin, kok. Tenang saja." Henry tiba- tiba saja langsung mengubah gaya bicaranya yang serius menjadi sangat hangat.
"Ah, gak usah, Pa. Kami kesini bukan untuk makan malam. Aku cuman mau memperkenalkan Jean ke Papa." Nathan menjawab sambil tersenyum- senyum. Jean langsung melototi Nathan, karena sebenarnya, perutnya sudah demo minta diisi makanan sejak tadi. Jean hanya manyun mendengar jawaban dari Nathan itu. "Oh iya, hari ini....Jean berulang tahun yang ke tujuh belas, Pa."
Ketika mendengar perkataan Nathan, Henry langsung mendelik dan menatap Jean lama. "Benarkah?"
"I-iya, Om." Jean menjawab sambil malu- malu.
"Wah, selamat ulang tahun ya. Sudah gadis toh kamu. Mau Om beliin apa? Ponsel baru? Baju? Mobil mewah? Atau yang lain? Kamu bisa tinggal menyebutkan saja." Henry menyalami Jean sambil tertawa- tawa kecil.
"Eh, ga-gak usah, Om. Makasih banyak atas tawarannya." Jean membalas salaman dari Henry sambil tersenyum.
Mereka akhirnya berbincang selama satu jam, dan akhirnya Nathan dan Jean pamit untuk pulang ke rumah, dan Henry ingin balik ke kamar hotelnya. Perut Jean sudah kelaparan tingkat dewa, dan kini Nathan hanya cengar- cengir ketika mendengar suara konser dari dalam perut manusia yang berjalan di sampingnya itu.
"Nath....gue laperr..." Jean meringis. Tak ada jawaban dari Nathan. Ia hanya tersenyum sambil berjalan dengan santainya menuju ke lift. Tak melirik Jean sama sekali. Sesampainya di dalam lift, ia bukan memencet tombol turun, malah tombol untuk naik ke atas, dan hal itu membuat Jean langsung curiga kepada makhuk yang satu ini.
"Nathan! kita kan turun! Kok malah naik?!" Jean langsung panik ketika pintu lift-nya tertutup, dan hanya ada mereka berdua di dalam lift itu. Sekali lagi, tak ada jawaban dari Nathan. Ia hanya tersenyum miring, tanpa menggubris satu pertanyaan pun yang Jean lontarkan.
Akhirnya, ketika sampai di lantai yang paling atas, pintu lift terbuka dengan lebar dan Nathan langsung saja berjalan keluar, diikuti dengan Jean yang masih saja bertanya kepada Nathan, apa sebenarnya rencananya itu. Nathan berjalan menuju ke arah tangga, yang akan membawanya ke suatu tempat. Jean masih heran, apa yang sebenarnya ada di otak laki- laki ini.
Mereka menaiki anak tangganya satu demi satu, sebelum akhirnya mereka sampai di depan pintu besi. Nathan menutup mata Jean menggunakan telapak tangannya sebelum ia membuka kenop pintu itu, dan membuat Jean meronta- ronta, menolak matanya ditutup.
Ia takut kalau saja Nathan digoda sama setan dan tiba- tiba melakukan hal yang aneh- aneh. Well, ia sudah menyiapkan ancang- ancang untuk menggebuknya. Tetapi, hal yang terjadi bertolak belakang dengan apa yang semula ada di pikiran Jean. Ketika Nathan mengangkat tangannya dari mata Jean itu, Jean langsung terpaku, mematung di tempat.
"Nath- Nathan, lo yang si-siapin se-semua ini?" Jean benar- benar terkejut melihat apa yang ada di hadapannya sekarang ini. Bahkan, untuk membuka mulut saja sulit karena apa yang dilihatnya benar- benar sesuatu yang—fantastic. Nathan tersenyum manis, sambil menganggukan kepalanya pelan.
Semua yang dilihat Jean, benar- benar seperti sebuah mimpi. Roof top dari hotel bintang lima, yang terdapat taman bunga serta kolam air mancur, dengan lampu- lampu kecil berwarna- warni yang menggantung di setiap tiang- tiang penyangga kanopi kaca di atasnya. Kanopinya sengaja dibuat menggunkaan bahan kaca, sehingga pada malam hari, orang- orang dapat melihat langit malam yang bertaburan bintang- bintang gemerlap.
Sebuah meja bundar bertaplak putih, telah berada di tengah- tengah taman itu, dengan dua kursi berwarna putih yang berhadapan. Lilin, vas bunga, piring, sendok, garpu, pisau, serta tissue sudah tertata rapi di atasnya. Jalan menuju ke tengah taman itu, ditaburi oleh kelopak- kelopak bunga mawar merah. Di sekeliling meja itu telah tersusun dengan indahnya lilin- lilin kecil yang sudah menyala.
Tulisan 'Happy Sweet Seventeen Jeannie' pun dirangkai dari bunga- bunga mawar berwarna merah muda, lalu digantung di antara dua tiang besi penyangga kanopi. Balon- balon berbentuk hati juga terikat di sana.
Jean benar- benar tak tau harus berbicara apa sekarang. Yang ia tau hanya, ia tak pernah merasakan perasaan ini sebelumnya. Ia hampir saja menangis karena terharu. Tuggu, bukan hampir, tetapi memang ia kini sudah menangis bahagia. Ia berlari menunju ke pinggiran roof top yang dipagari oleh tembok beton setinggi dadanya. Pemandangannya.....luar biasa indah.
Dari atas gedung pencakar langit ini, ia seperti dapat melihat seluruh kota Jakarta, dengan keindahan malam hari yang benar- benar mempesona. Lampu- lampu menerangi setiap sudut kota Metropolitan ini, dengan gedung- gedung tinggi mengelilinginya. Suara hiruk- pikuk kendaraan yang lalu lalang di jalan raya pun masih terdengar.
Ini.....mengagumkan. Rambut cokelatnya yang sedikit curly dibawahnya itu terkibas- kibas karena tertiup angin malam yang sangat sejuk itu. Jean memejamkan matanya sebentar. Ia berharap waktu berhenti sekarang. Ia benar- benar tak menyangka bahwa ia akan mengalami semua ini. Menurutnya, ini semua benar- benar kenangan yang tak dapat dilupakan.
Hatinya bergelonjak kegirangan. Ingin rasanya ia memeluk laki- laki yang berada di belakangnya saat ini, dan mengucapkan terima kasih sedalam- dalamnya, dan kalau bisa, ia juga ingin mengatakan yang sebenarnya. Ia ingin mengatakan perasaannya yang sejujur- jujurnya. Namun, ia tak dapat melakukan hal itu.
Gengsi? So pasti. Yang namanya cewek itu tak akan bisa pernah luput dari namanya 'Gengsi'. Yang bisa ia lakukan sekarang hanya membalikkan badannya, lalu tersenyum ke arah laki- laki itu dan mengucapkan, "Terima Kasih, Nath. Ini....benar- benar.....Wonderful. This is amazing."
"My pleasure, Princess." Nathan berkata seraya ia menarik kursi Jean ke belakang dan membiarkan tuan putrinya itu duduk. Jean berjalan melewati jalanan setapak menuju ke tengah taman yang sudah bertaburan kelopak bunga mawar dengan anggun, layaknya seorang putri raja.
Jean akhirnya duduk dengan nyaman di atas bangku yang sudah Nathan persiapkan. "Nath, makasih banyak. Ini.....gue gak tau mau bales lo apaan." Kata Jean sambil mengelap air mata yang sudah jatuh ke pipinya.
"Lo gak usah bales gue apa- apa. Cuma satu yang gue mau." Nathan berjalan mendekati Jean sambil menyembunyikan satu tangan dibelakang pundaknya. "Gue mau lo—" Nathan menggantungkan kalimatnya, dan membuat Jean semakin tegang.
"Jadi pacar gue."
---------------------------------
Haiii!!! Nathannya nembak lagi tuh~ Kira- kira diterima gak yak? Oke, tunggu kelanjutannya aja ya hehe....Keep Vote and Comment hehe Thankyouu :*
Salam Penulis
Alice
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Novela Juvenil[COMPLETED] Keluarga. Persahabatan. Cinta. Manakah yang akan kau pilih? Jeannie Harrington. Itulah namanya. Nama seorang gadis yang telah mengalami kepahitan hidup sejak usianya yang masih belia. Ia kini tumbuh sebagai seorang gadis yang membenci la...