[Author's POV]
Tes.
Setitik air mata jatuh di pipi Nathan yang tergores luka itu, lalu mengalir turun ke bawah, setelah Jean mengucapkan hal itu. Dan bertepatan dengan saat itu, elektrokardiograf berbunyi dengan nyaring, dan meninggalkan satu garis lurus di monitornya.
Jean merasa langit runtuh. Ia merasa-dunianya hancur. Petir menyambarnya, membuatnya berdiam, mematung di tempat. Jantungnya seakan berhenti berpacu. Hatinya remuk. Matanya tak dapat berkedip lagi. Lalu, air mata turun dengan deras membasahi pipinya.
Nathan. Gak. Mungkin. Pergi. Meninggalkannya.
"NATHANNAELLL!!!" Jean menjerit dengan keras, ia menjerit, histeris, sambil mengguncang- guncangkan tubuh cowok itu, yang sudah tak berdaya.
Ia tak dapat bernafas sekarang. Ia benar- benar sesak. Dokter, suster, dan keluarganya datang menghampirinya, ketika mendengar suara jeritan yang melengking dari luar ICU.
Jean-ia benar- benar sudah seperti tak bernyawa.
Dokter menyuruh seluruh keluarga keluar, karena dokter ingin memeriksa pasiennya yang satu ini. Walaupun sudah keliatan-tak ada harapan lagi.
Apa kau tau, Jean, ia ingin-ingin Nathan kembali.
Ia tak ingin Nathan pergi secepat itu.
Ia hanya ingin, Nathan kembali.
Ia ingin, Nathan kembali di pelukkannya.
Ia masih belum mencintai Nathan sepenuhnya.
Ia masih ingin menyayangi cowok itu.
Ia menyesal. Sangat. Ia ingin waktu diputar kembali.
Karena meskipun waktu diputar kembali, ia kan tetap-tetap memilih Nathan.
Ia bodoh. Mengapa sejak dulu ia tak menyadari hal ini?
Menyadari kalau rasa sayangnya ternyata sebesar ini. Mengapa ia tak menyadari kalau ia sangat menyayangi Nathan? Ia sangat menyayangi Nathan, sampai- sampai hatinya sesakit ini. Bahkan, rasa bencinya terhadap Nathan, yang dikarenakan ia tau kalau penyebab masa lalunya itu adalah Nathan, terlalu kecil, jika dibandingkan rasa cintanya.
Jean, ia sakit. Hatinya sangat sakit sekarang. Hatinya sakit, karena-Nathan.
Ia duduk di kursi ruang tunggu di depan ICU, dengan tatapan mata yang kosong, sambil berdoa.
Ia berdoa, agar Tuhan tak memanggil cowok itu secepat ini.
Karena ia masih, masih ingin bersama cowok itu.
Beberapa saat kemudian, seorang dokter bersama suster keluar dari ruangan ICU itu, dengan memakai masker penutup mulut berwarna hijau. Jean langsung berlari, menghampiri dokter itu, dengan tergesa- gesa.
Semua anggota keluarga berkumpul, mengelilingi dokter itu.
"Jantungnya sempat berhenti berdetak, tetapi suatu mukjizat jantungnya dapat berdetak kembali," Dokter itu mengatakan. Jean kini dapat menghembuskan nafas lega. Tetapi, tak hanya sampai disitu, "Kini, hanya ada dua pilihan bagi kalian," lanjut dokter itu. Perkataan dokter itu, membuat Jean tak dapat bernafas.
"Membiarkannya seperti ini sampai ia menemui ajalnya, atau-" Dokter itu menggantungkan kalimatnya. "-Di operasi, dengan resiko amnesia, yang berarti, ia akan melupakan ingatannya di masa lalu, sebelum kejadian kecelakaan itu."
Deg.
Itu berarti....Nathan akan melupakannya.
Melupakan seluruh kenangan tentang mereka berdua.
Melupakan hal- hal yang telah mereka lalui bersama.
Tolong. Jean benar- benar tak tau harus menghadapinya seperti apa.
Apakah kenyataan itu harus semenyakitkan ini?
Jean, ia hanya ingin semuanya, kembali seperti semula.
***
Hari sudah menjelang pagi, dan Jean baru sampai di rumahnya-rumah barunya itu, sehabis dari rumah sakit. Ia sudah boleh pulang kata dokter, untuk istirahat di rumah. Setelah sampai di rumah, ia naik ke lantai atas dan membuka kenop pintu kamar Nathan, yang berada persis di samping kamarnya.
Dan ketika ia menyalakan sakelar lampu kamar cowok itu, air matanya menetes.
Ia melihat, di lemari pajangan kamar cowok itu-penuh dengan fotonya, dan foto mereka berdua. Ia memperhatikan satu demi satu foto yang diberi bingkai di sana.
Foto dirinya, ketika masih berusia dua belas tahun, dengan kedua anak laki- laki yang seumuran dengannya. Fotonya, dengan Nathan dan David. Foto yang berada di dalam album fotonya itu.
Rasa sesak merambat di dalam hatinya. Ia baru menyadari, menyadari kalau selama ini, sejak ia masih kecil, cowok yang ia sukai, adalah-
Nathan.
Cinta pertama dan mungkin akan menjadi-cinta terkahirnya.
Lalu, fotonya yang sedang candid dengan Nathan yang merangkulnya, pada saat kencan pertama, juga terpajang di sana. Foto yang dipotret oleh seorang mahasiswa. Ia mengingat dengan jelas, kalau pada saat itu, ia bermain kejar- kejaran dengan Nathan, hanya demi selembar foto itu.
Dan kini, ia ingin, bermain kejar- kejaran bersama Nathan lagi.
Ia ingin berkencan dengan cowok itu lagi.
Karena semua yang dilakukan oleh cowok itu selalu membuatnya terpesona.
Ia-benar- benar ingin masa lalunya, bersama Nathan itu kembali.
Kembali utuh.
Ia ingin, cowok itu baik- baik saja.
Walaupun nyatanya tidak.
Jean, dengan seluruh rasa sakit di hatinya itu, merebahkan diri di atas kasur empuk cowok itu. Aroma musk menyeruak masuk ke dalam hidungnya. Aroma khas Nathan. Aroma yang sangat ia kenali. Hatinya tersayat- sayat beribu- ribu kali.
Hanya dengan begini, ia dapat merasa, kalau Nathan ada di sini. Di sampingnya. Memelukknya, seperti yang cowok itu sering lakukan, setelah Jean menangis.
Ia ingin cowok itu ada di sini, memeluknya lagi.
Ia rela, Nathan melupakannya, asalkan cowok itu tetap hidup.
Ia rela, semua memori tentangnya itu dihapus, asalkan ia dapat melihat senyuman cowok itu lagi.
Ia rela tak bersama dengan cowok itu lagi, karena ia masih dapat menyayangi cowok itu dari jauh.
Ia merelakan kebahagiannya, demi orang yang ia sukai, sayangi, dan cintai, yaitu,
Nathan.
------------------------------
Hai! Udah dapet feel-nya belom? Kalau aku sih nangis pas lagi ngetik ini :") Btw, di part ini udah aku tambahin lagu ya...jika belom muncul, langsung komen aja, nanti aku perbaikin. Thankyouu...
Vote and Comment gaes! :*
Love, Alice.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Teen Fiction[COMPLETED] Keluarga. Persahabatan. Cinta. Manakah yang akan kau pilih? Jeannie Harrington. Itulah namanya. Nama seorang gadis yang telah mengalami kepahitan hidup sejak usianya yang masih belia. Ia kini tumbuh sebagai seorang gadis yang membenci la...