"Abis jalan sama cowok ya?" Nathan menaikkan satu alisnya.
Bagaimana mungkin dia tau? Jean bertanya dalam hatinya.
"Bener kan? Gue udah nunggu lo selama setengah jam di sini. Gue pikir lo bakalan datang lebih cepat, karena emang lo suka begitu. Lo selalu datang setengah jam sebelum kegiatan tersebut dimulai, 'kan? Tapi sekarang? Lo dateng telat sepuluh menit. Kalo lo emang hari ini ada janji sama cowok lain bilang aja, selaw aja sama gue mah." Nathan melanjutkan pembicaraannya dengan paanjang lebar.
"Bukan begitu, Nath, lo salah paham-"
"Salah paham? Gue liat lo berduaan sama si David Houston itu kok, dengan mata kepala gue sendiri pas gue lagi otw ke sini. Lo jalan berdua sama dia di trotoar kan?" Nathan mulai marah.
"Lo, lo kenal dia? Gue gak ada janji sama dia, Nath. Gue aja baru ketemu dia hari ini, di dalam kereta. Dia itu yang udah gendong gue ke UKS pas kemarin gue pingsan di sekolah. Trus dia tadi ngajak gue makan di KFC dan gue-"
"Udah, cukup. Gue tau gue gak berhak buat ngurusin masalah ini. Lo suka sama dia kan?"
pertanyaan Nathan berhasil membuat Jean diam seribu bahasa. Ia hanya menunduk ke bawah melihat tas kertas yang ia pegang yang dalamnya berisi hadiah untuk laki- laki yang kini berada di depannya, yang sedang marah kepadanya. Hadiah yang ia beli dengan seluruh uang tabungan yang ia miliki, untuk seorang laki- laki yang bahkan bukan siapa- siapanya. Sekarang ia tau betapa bodohnya dirinya."Maaf." Hanya itulah yang diucapkan Jean sambil menahan air matanya, lalu berjalan keluar dari cafe.
Di luar, hujan turun dengan deras, sama seperti air mata Jean yang kini telah turun dengan deras membasahi pipinya. Ia tidak tau mengapa air mata ini dapat keluar begitu banyak dari dalam matanya. Ia meyakinkan pada dirinya sendiri bahwa ia baik- baik saja, walaupun kenyataannya adalah tidak.
Dengan tidak menaiki kendaraan ataupun memakai payung dan jas hujan, ia berjalan kembali ke stasiun dan mengambil kereta untuk pulang ke rumah. Sementara itu, di dalam cafe, Nathan masih duduk di sofa berwarna tosca sambil merenungkan apa yang baru saja ia perbuat. Nathan memejamkan matanya sebentar, lalu ponselnya mulai berdering.
"Ya, Bi?" Nathan memulai pembicaraan.
"Tuan muda, Anda memiliki seorang tamu yang sedang menunggu Anda di rumah Mohon Anda segera pulang ke rumah, sebab sekarang di luar sedang hujan deras." Bibi Amel-salah seorang pelayan setia yang sudah bekerja di rumah Nathan selama enam tahun sejak Nathan pulang kembali ke Indonesia, meneleponnya.
"Baiklah, Bi." Nathan menutup teleponnya.
"Hujan deras?" Nathan melihat keluar jendela cafe. "Kira- kira dia kehujanan gak ya? Ah, gak bakalan lah. Dia kan pinter, pasti bawa jas hujan, payung, atau semacamnya lah." Nathan beranjak dari sofa tosca tersebut dan berjalan keluar menuju tempat parkir dimana ia memakirkan mobilnya.
***
Nathan mematikan mesin mobilnya di dalam garasi rumahya, lalu ia keluar dari mobilnya dan menuju ke atas, tepatnya ke ruang tamu. Ketika ia sampai di ruang tamu, ia melihat seorang laki- laki sedang duduk dengan santai di atas sofa putihnya. Dan ia mengenal laki- laki itu. Sangat mengenalnya. "Nath, happy birthday, yo." Laki- laki tersebut menghampiri Nathan dan menepuk pundak Nathan.
"Tumben lo mau ke sini." Nathan tersenyum lalu duduk di sofa ruang tamunya.
"Ulang tahu sobat mah harus dirayakan dong. Nih, gue bawain lo hadiah." Laki- laki tersebut menyodorkan sebuah tas kertas berwarna cokelat muda di atas meja kaca ruang tamu.
"Makasih." Nathan mengambil benda tersebut. "Ngomong- ngomong, lo tadi abis jalan sama cewek ya?" Nathan bertanya sambil membuka kotak hadiahnya.
"Tau dari mana lo? Lo mata- matain gue ya? Haha. Tenang aja, dia bukan pacar gue kok." Laki- laki tersebut-alias David Houston, menjawab Nathan sambil tertawa kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Ficțiune adolescenți[COMPLETED] Keluarga. Persahabatan. Cinta. Manakah yang akan kau pilih? Jeannie Harrington. Itulah namanya. Nama seorang gadis yang telah mengalami kepahitan hidup sejak usianya yang masih belia. Ia kini tumbuh sebagai seorang gadis yang membenci la...