[34] JADIAN

3.1K 238 13
                                    

[Jean's POV]

"Je-Jean? Lo—ngapain di sini?" Tanya Cella yang sekarang sudah melepaskan kedua tangannya yang tadi berada di leher Nathan, dan lebih tepatnya lagi, ia memeluk Nathan.

Air mataku kini sudah tak dapat dibendung lagi. Pemandangan itu benar- benar tak sanggup aku lihat. Perasaan itu....aku merasakannya lagi. Perasaan menyakitkan yang luar biasa itu, yang mungkin lebih tepatnya rasa 'Cemburu—Perasaan yang terjadi akibat satu perasan yang lain, yang bernama 'Cinta'.

Aku merasa hatiku kini ditusuk oleh berbagai jenis senjata tajam, dari berbagai arah. Ini melebihi perasaan yang kurasakan ketika Nathan ditembak oleh Chrysella, dan ketika Nathan menggendong Chrysella pulang ke rumah. Tidak, ini benar- benar melebihi kedua perasaan itu. Jantungku berpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya.

Atmosfer yang berada di sekitarku menjadi terasa sangat panas. Lidahku tiba- tiba membeku. Aku tak dapat mengeluarkan satu patah kata pun. Yang aku tau kini hanyalah diam. Diam di dalam kesunyian yang menyakitkan. Rasanya nyawaku sudah akan hampir keluar sekarang juga.

Apakah ini rasanya? Rasanya mencintai seseorang? Begitu menyakitkankah? Apakah aku harus merasakan ini jika ingin mencintaimu?

Sesak. Itu yang kurasakan. Aku tak dapat bernafas. Bolehkah aku mencintaimu dengan keadaan yang seperti ini?

Nathan yang sekali lagi mendengar namaku dipanggil, menoleh kebelakang dan mendapati aku yang sedang berdiri mematung di ambang pintu, dengan mata yang merah. Aku tak sanggup melihatnya menatapku. Apalagi melihat kedua mata cokelat itu lagi. Hatiku semakin sakit rasanya.

"Jean? Lo udah dateng?" Tanpa ada rasa bersalah, Nathan menghampiriku. Ingin aku menampar wajah laki- laki itu, laki- laki gak tau diri yang berani mencuri hatiku dan kini ia membuangnya begitu saja.

Dengan seluruh kemampuan yang kini aku miliki, aku menjawab cowok itu, yang sudah berada di hadapanku. Persis. Kedua mata cokelat lekatnya itu menatap kedua mataku tanpa rasa bersalah sedikitpun.

"Gue...kayaknya harus pergi deh, sekarang. Gue gak mau ganggu moment lo berdua."

Tes.

Satu tetes air mata, yang murni itu jatuh di pipiku. Aku melangkah keluar dari rumah itu. Baru saja aku melangkahkan satu kakinya, dan tiba- tiba....aku tertahan. Tidak, untuk yang kedua kalinya, ia menahanku. Ia memegang pergelangan tanganku dengan erat. "Jangan pergi,"

Tes.

Satu tetes air mata terjatuh lagi di pipiku untuk yang kedua kalinya.

"Jangan pergi. Gue gak mau lo pergi," Dia melanjutkan. Hujan masih turun dengan deras. Ya, sama seperti keadaan hatiku saat ini. Seperti air mata yang turun mengalir dengan derasnya di pipiku.

Aku mengelak dan melepaskan tengannya yang mencengkram pergelangan tanganku denga erat. Ketika tanganku sudah terlepas, aku berlari menuruni anak tangga, lalu ketika sampai di perkarangan rumahnya, aku terhenti lagi. Ya, ia menahanku lagi. Tunggu belum sampai di situ, setelah ia menahanku, ia menarikku dan—

Aku jatuh di pelukannya.

Di tengah derasnya hujan, ia memelukku. Membuatku merasa hangat, walaupun cuaca di sini sangatlah menusuk kulitku. Ia mendekapku, membuat tangisanku semakin menjadi- jadi. Aku dapat mendengar suara detak jantungnya, dan aku merasakannya sama dengan detak jantungku. Berdegup dua kali lebih kencang.

Hatiku benar- benar tersayat sekarang. Bolehkah aku menyatakan perasaanku yang sebenarnya kepadamu? Mengapa kau memperlakukanku seperti ini? Jujur, hanya dia, yang selalu ada di pikiranku, di hatiku, dan di seluruh hidupku. Hanya dia. Yang terindah. Dia telah mengubah seluruh kehidupanku, menyinari kehidupanku yang gelap ini dengan sinarnya yang begitu terang.

Aku menyadarinya sekarang. Dialah yang selama ini aku cari. Hanya dia yang dapat membuatku seperti ini. Aku mencintainya. Ya, aku benar- benar menyadari hal itu sekarang. Aku mengakuinya.

"Jean, jangan pergi dari sisi gue. Bukannya gue udah pernah bilang sama lo? Satu- satunya yang gue sayang, yang gue butuh, yang gue mau, yang gue cintai, hanya lo." Nathan mengatakan hal itu tepat di telingaku, membuatku bergidik geli.

Aku membalas pelukannya itu, lalu berjinjit hingga sejajar dnegan telinganya, lalu membisikkan, "Gue juga sayang sama lo, Nath." Aku tersenyum bahagia. Akhirnya, ya. Akhirnya aku dapat mengakui hal itu kepadanya. Akhirnya seluruh ganjalan, seluruh kepedihan di hatiku lenyap sudah. Akhirnya, segala bebanku telah tiada.

Aku tak tau mengapa, sesakit apapun perasaan yang kurasakan, aku tetap menyayanginya. Aku tetap mencintainya. Aku tetap akan memilihnya. Sehancur apa hatiku, aku akan tetap. Tetap memilihmu, Nathannael.

"Jean, gue mau nanya lo untuk yang terakhir kalinya." Nathan menatapku dalam. Kini ia telah basah kuyup karena habis diguyur hujan deras. "Would you be mine?"

Aku mengangguk. Ya, tanpa aku sadari, aku mengangguk pelan.

"Jean, lo serius?" Nathan bertanya dengan senyuman di wajahnya. Sekali lagi, aku mengangguk.

"I love you Jeannie Harringtonn!!!!" Nathan mengangkat tubuhku, dan kini ia memutarku. Dan tiba- tiba,

Cup.

Sesuatu yang basah menempel di pipi kiriku. Ya, bibirnya menempel di pipiku. Ia menciumku. Spontan, aku langsung mendorong kepalanya jauh- jauh. "Ih, Nathan! Apaan sih?!"

"Apa sih, sayang? Kamu kan pacar aku sekarang," Nathan menjawabku dengan senyuman manis di wajahnya. Jujur, aku sebenarnya sedikit geli mendengarnya, tapi, ini benar- benar sukses membuatku terbang sampai ke langit yang ketujuh!

"Iya aja deh." Aku membalas senyumannya itu.

"Emm, ada yang harus lo tau tentang Cella." Nathan menunduk sebentar. "Dia itu—"

-----------------------------------

Oke, oke, aku tau ini part sangatlah pendek, tapi it's okay lah. Udah baper belum sodara- sodara? Kalau author sih udah ya. Ampe nangis bikin ini part tauuukkk :') Oke, akhirnya Jean sama Nathan jadian juga Bwahahahahah :v 

Oke, Vomments! :*

Salam Penulis,

Alice

StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang