Suasana malam hari kali ini benar- benar canggung. Kami duduk di bawah langit malam gelap yang ditaburi oleh bintang- bintang gemerlap. Kini dia sudah duduk di sampingku, di kursi single berbahan kayu yang berbeda. Ia hanya terdiam, menatap langit. Aku memandangnya heran. Heran kenapa tiba- tiba aku merasa ia terlihat berbeda. Ia terlihat jauh lebih....tampan.
Perlahan- lahan, aku mulai hanyut di dalam kesunyian ini. Aku tak tahu mengapa, tetapi aku merasa nyaman, meskipun kami tidak berbicara, mengeluarkan kata- kata, dan sebagainya. Aku merasa nyaman, karena ia ada di dekatku. Walaupun aku tak tau siapakah pemilik hatinya sekarang ini.
"Jean?" Panggilnya membuyarkan lamunanku.
"Ya?" Aku menjawab pelan.
"Lo tadi....kenapa nangis?" Ia bertanya, masih dengan ekspresi wajah yang khawatir.
Aku menggigit bibir bawahku. Aku tak tahu harus menjawab apa. "Gue tadi....ngantuk." Akhirnya, aku menemukan kata- kata yang pas untuk ku jawab.
"Ngantuk tinggal tidur lah."
Tuh kan, gue ini emang gak pinter bohong orangnya.
"Eh, i-itu....maksud gue, em..." Otakku sudah tak dapat berpikir lagi, apalagi karena kedua matanya yang berwarna cokelat lekat itu menatapku. Duh, makin gak fokus deh.
"Apa? Lo gak usah bohong. Gue tau lo abis nangis kan?" Ia mendekat, berusaha untuk melihat kedua mataku yang memerah karena habis menangis.
Sumpah, ini orang udah kek mesin pendeteksi kebohongan.
"Au ah." Aku memalingkan wajahku yang semula menoleh ke arahnya. "Jadi.....lo udah jadian sama Chrysella?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Jadian? Hahahahaha.." Ia tertawa. Astaga, please dong jantung, jangan sekarang.
"Lah, tadi bukannya lo...." Aku menggantungkan kalimatku.
"Gue tolak." Jawabnya singkat, padat, dan jelas. Sangat jelas, dan membuat hatiku merasa lega. Ganjalan di hatiku telah tiada sekarang. Aku tersenyum tipis.
"Lo nolak Chrysella? Gak salah denger nih gue?" Aku mengubah gaya bicaraku yang tadinya serius menjadi candaan. Chrysella ditolak? Buseh, kejadian langka yang terjadi setiap satu abad sekali.
Nathan mengangguk pelan, sambil menatap langit. "Kok lo bisa nolak Chrysella? Padahal itu kan impian semua cowok buat ditembak sama seorang Chrysella. Ini kejadian langka loh." Sambungku lagi.
"Iya, semua cowok, kecuali gue. Karena impian gue berbeda dengan cowok yang lain." Ia menjawab sambil menatapku dengan senyumannya. "Karena di hati gue cuma ada satu cewek—" Ia memberikan jeda yang cukup lama, lalu tertunduk. Ia menarik nafas yang dalam sebelum melanjutkan separuh kalimatnya. "—yaitu elo." Ia menatapku dalam. Sedalam lautan samudera. Sedalam rasaku padanya, yang sekarang sedang aku pertanyakan.
Aku terdiam. Tersentak, terkejut, tertegun dibuatnya. Jantungku kini berpacu dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Kini, aku merasakan seribu kupu- kupu berterbangan di dalam perutku dan membuatku ingin tersenyum, tertawa, dan—Tunggu, gue gak boleh baper kayak gini dong. Aku menahan semua rasa itu. Aku tak ingin jatuh di lubang yang sama untuk yang kedua kalinya. Aku hanya menoleh kepadanya dan mengatakan; "Trus?" Sumpah, lo bodoh banget sih, Jean...
Nathan mengernyitkan dahinya. "Terus? Jean, reaksi lo cuma itu?" Nathan menaikkan satu alisnya. "—Pantes aja orang- orang nyebut lo 'Putri Es'. Ini karena sifat sikap lo kan?" Perkataan Nathan menusukku dalam. Ia baru saja menerbangkanku sampai ke langit, lalu kini ia menjatuhkanku di dalam samudera. Luas, dan tak berujung.
"Tapi....lo gak sedingin yang gue kira." Nathan melanjutkan perkataannya, dan membuatku menoleh ke arahnya. "Lo ramah, rajin, pintar, cantik, rendah hati, dan lo gak pecicilan kayak cewek- cewek yang lain. Lo berbeda. Dan itu yang membuat gue jatuh hati sama lo." Ia menatapku dengan tatapan yang sulit untukku artikan. Apakah mungkin ia berharap aku juga membalas perasaannya ini? Atau maksud yang lain?
"Tapi....banyak yang jauh lebih sempurna dari gue. Kenapa lo harus milih gue? Kenapa gak Chrysella? Dia cantik, kaya, pintar dan—" Ia menaruh jari telunjuknya di depan bibirku dan membuat tubuhku panas seketika. Aku terdiam, memandanginya.
"Karena yang sempurna belum tentu bikin nyaman. Gue cuman butuh elo. Lo itu adalah ketidaksempurnaan yang selalu gue dambakan. Yang selalu gue cari. Yang selalu gue butuh." Kini perkataan yang keluar dari mulutnya sukses membuatku terdiam mematung. Aku tak tau apa yang harus kuucapkan, atau aku perbuat. Yang aku tahu hanya diam, menunggunya menyelesaikan kalimatnya satu per satu.
"Gue gak mencintai orang berdasarkan fisiknya, tapi gue lihat hatinya. Kenapa? Karena cinta itu berasal dari hati, bukan dari fisik."
Siapapun, tolong panggilkan ambulance sekarang, karena gue rasa jantung gue sudah gak berada di tempatnya lagi.
"Gue gak peduli orang lain mau ngomong apa tentang lo. Yang gue tau cuma satu. Gue sayang sama lo." Nathan tersenyum manis. Sangat manis, sampai- sampai membuatku merasa bahwa di tempat ini hanya ada aku dan dia. Tiada yang lain lagi, hanya dia. Aku menatapnya. Mataku mulai basah lagi. Aku mengalihkan pandanganku dan buru- buru mengelap air yang sudah ada di ujung mataku, sebelum Nathan melihatnya.
"Lo kenapa Jean? Apa omongan gue terlalu dramatis ya?" Nathan menoleh ke arahku. Dan sekali lagi, aku merasa jantungku benar- benar sudah hilang, karena terlalu cepat berdetak.
"Gak, gapapa." Aku menjawab singkat.
"Jadi.....lo mau gak...." Ia memberikan jeda yang benar- benar membuatku tak dapat bernafas. "Jadi cewe gue?"
---------------------------------------------------
.
.
.
.
.
"Tak perlu seseorang yang sempurna, cukup temukan orang yang selalu membuatmu bahagia dan membuatmu lebih berarti dari siapapun"
—B.J Habibie; mantan presiden Republik Indonesia yang ke-3
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Teen Fiction[COMPLETED] Keluarga. Persahabatan. Cinta. Manakah yang akan kau pilih? Jeannie Harrington. Itulah namanya. Nama seorang gadis yang telah mengalami kepahitan hidup sejak usianya yang masih belia. Ia kini tumbuh sebagai seorang gadis yang membenci la...