[23] BIMBANG

3.9K 305 3
                                    

Matahari telah menampakkan wajahnya secara sempurna di ufuk timur. Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi dan kini kami diberikan free time. Itu berarti kami dapat bebas melakukan apa saja selama dua jam ke depan. Kejadian semalam masih terputar terus menerus di benakku. Syukur- syukur sampai sekarang jantung dan hatiku masih berada di tempatnya.

"Jean!" Suara cempreng siapa lagi kalau bukan Vero? Ia kini berhasil membuyarkan lamunanku di tengah gazebo taman hotel.

"Eh, iya?" Aku menoleh spontan.

"Katanya lo mau curhat ke gue."

"Iya. Aduh, ini masalahnya........" Aku menunduk sebentar, lalu Vero menjawab, "Oh, gitu ceritanya, gilaaaaa seruuu bangettttt!" Vero asik sendiri sekarang.

"Belom woi!"

"Oh, belom." Ia terkekeh. "Makanya cepetan cerita. Lama."

Aku memutar bola mataku malas. Ketika itu juga ponsel Vero berbunyi, menandakan ada Line masuk. "Bentar yak." Vero mengambil ponsel yang berada di kantong celana Jeans-nya. Pasti Chris, nih. Aku menebak. Siapa lagi kalau bukan Chris? Kontak yang lain selalu dimatikan notifikasinya, kecuali kontakku, Anne, dan Chris.

"Weh, Chris bilang, katanya dia ada latihan basket di lapangan, mau nonton gak?" Tuh kan, bener. Pasti Chris.

Aku terdiam sebentar. Hening. "Ada Nathan gakk?" Aku menjawab.

"Ciee nyariin cieeeeeeeeeeeeee," Vero tersenyum tak meyakinkan. "Ada." Lalu ia melanjutkan dengan singkat. Jantungku mulai berdegup kencang. Padahal, aku hanya mendengar namanya saja, tapi kenapa udah kayak orang jantungan? Bisa kejang- kejang kali lama- lama.

Eh, jangan sampe.

"Udahlah, gue gak mau ikuttt." Aku menjawab manja.

"Dih, kenapa? Nonton tinggal nonton sih. Atau jangan- jangan.....lo lagi berantem sama Nathan?" Vero menatapku dengan jarak dekat.

"Siapa yang berantem? Dih, sotoy ayam lo." Aku mendorong kepalanya jauh- jauh. Lama- lama tak buang juga ke laut. Eh, kagaklah. Masih baik, tenang.

"Kalo bukan berantem.....trus apa?" Vero menyipitkan matanya. Emang udah sipit, Ver.

"Nah, itu yang mau gue ceritain."

***

Kami berjalan menuju ke lapangan basket yang letaknya sangat dekat dari taman. Lapangan basket itu dipagari oleh jaring- jaring, sehingga bolanya tak dapat memantul keluar. Di luar pagar terdapat satu kursi panjang berwarna putih bertekstur kayu. Kami berdua duduk di sana, sambil menonton anak- anak cowo--yang lebih tepatnya gerombolannya Nathan bermain basket.

"GOLLLL!!!!" Vero memelukku erat, ketika Chris memasukkan bola ke dalam ring.

"Astaga Ver, please deh ya." Aku melepaskan pelukannya.

"Jean, Jean, ituu Nathannn." Vero menunjuk dia yang sedang men-dribble bola untuk dimasukkan ke dalam ring. Aku menatapnya lama. Dengan tubuh yang berkeringat dan kostum basketnya, ia terlihat benar- benar—mempesona. Tanpa ku sadari, sebuah senyum tipis terukir di bibirku. Lo racunin gue pake apaan sih, sampai gue bisa jadi begini?

Sesaat kemudian, mereka berhenti sebentar untuk istirahat. Aku melihatnya berjalan ke arahku. Astaga, jantung gue mulai lagi, dah. Dan sekarang, ia tepat berada di depanku. Aku hanya menunduk, menunggunya mengucapkan sesuatu. Tetapi, ia tak kunjung berbicara. Aku mendongak dan melihatnya—mengambil tas ranselnya yang tepat di sampingku dan meminum sebotol air mineral dari dalam ranselnya.

Pede gila, lo, Jean. Baper sih. Belom makan. Eh, itu mah laper yak.

Ia hanya melakukan dua hal itu tanpa melirikku ataupun berbicara sepatah kata pun kepadaku. Ini aneh. Ia berjalan pergi meninggalkan aku dan Vero yang menatapnya dengan mulut yang terbuka lebar. "Mingkem, Ver. Tar lalat masuk." Aku menutup mulut Vero yang tadinya terjatuh sampai ke tanah. Gak sampai ke tanah juga sih, sebenarnya.

StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang