"Pak, kami telah menangkap gadis berambut cokelat pirang yang Anda sebutkan." Laki- laki berjas hitam tersebut menelepon seseorang.
"Bagus. Sekarang bawa dia kemari." Suara seorang laki- laki menjawabnya.
Mobil hitam tersebut menyusuri kegelapan malam di tengah jalan yang sepi, melewati beberapa lorong, bergang- gang jalan, dan akhirnya sampai di sebuah gubuk-rumah tua yang terlihat sangat angker, dan mungkin tidak pernah terurus. Di belakang rumah tua tersebut terdapat hutan belantara yang sangat lebat. Kedua orang lelaki berjas hitam keluar dari dalam mobil dan menggendong Jean yang masih tak sadarkan diri menuju ke dalam rumah kayu yang tua tersebut.
Di dalam rumah tersebut, terlihatlah beberapa orang yang memakai seragam yang sama serta satu orang laki- laki yang duduk di sofa merah di tengah- tengah ruangan tersebut. Kedua orang laki- laki yang menangkap Jean membawanya kepada atasan mereka.
"Pak, ini dia gadis yang Anda minta." Salah satu dari kedua orang laki- laki itu membuka pembicaraan.
"Bagus. Jangan apa- apakan dia, ambil ponselnya, lalu ikat tangan dan kakinya." Jawab sang atasan.
"Baik Pak." Jawab kedua anak buahnya.
Kedua anak buahnya pun memberikan ponsel putih Jean kepada tuannya. Ketika ponsel tersebut telah dipegang oleh tuan-yang-tak-dikenal ini, ia langsung memencet icon 'kontak' dan mencari- cari nama seseorang.
***
Malam yang gelap buat Nathan. Sendirian, kesepian, dan ditambah lagi, jika mengingat kejadian tadi siang-hal yang membuat Nathan muak dengan semua ini. Apakah ia akan kehilangan seorang perempuan yang ia cintai untuk kedua kalinya lagi? Tidak. Ia tidak ingin hal itu sampai terjadi. Satu saja sudah cukup membuatnya menderita. Kehilangan seorang ibu-malaikat tanpa sayap yang selalu menyayanginya, menjaganya, merawatnya, memperhatikannya, dan menghiburnya.
Mata cokelatnya memandang keluar jendela kamarnya. Ia dapat melihat sebuah pohon besar yang tertanam di halaman belakang rumahnya. Sebuah pohon kenangan. Seribu kenangan telah terkubur lama, dan ia tak berani untuk menggalinya kembali. Ia takut untuk merasakan kembali kenangan- kenangan yang pahit tersebut. Angin malam yang dingin menghembuskan nafasnya dan menerbangkan daun- daun dari pohon besar tersebut.
Kini, hanya ada satu benda peninggalan ibunya tercinta. Yakni sebuah gitar yang dibelikan oleh ibunya ketika umurnya masih berusia sepuluh tahun. Gitar string berwarna cokelat muda itu masih dipegangnya hingga detik ini. Dengan tatapan kosong, ia memetik senar- senar gitarnya sambil memandang pohon besar tersebut. Hanya musik yang kini dapat menghangatkan hatinya yang dingin.
Sebelumnya, sang ibunda selalu menjadi pusat pengaduan, curhatan, rengekan, dan tangisannya. Sudah lama ia tak merasakan belaian kasih sayang dan ciuman dari ibunya. Jika mungkin ada mesin waktu, mungkin ia akan meminta untuk kembali ke saat- saat dimana ia masih bisa merasakan kehangatan dari pelukan ibunya.
"Ma, aku lagi suka sama seseorang. Masih dengan perempuan yang sama dari enam tahun yang lalu ketika pertama kali Mama memperkenalkan aku dengannya. Dan sekarang, aku hampir saja kehilangannya. Aku takut. Takut akan merasakan rasa kehilangan seseorang yang sangat aku sayangi dan cintai untuk kedua kalinya." Sebuah senyum tipis terukir di wajah Nathan.
"Coba aja kalau Mama masih ada di sini. Mungkin Mama bisa memberiku saran, dan aku-" Mata Nathan memerah. Ia tak dapat melanjutkan pembicaraannya. Sekuatnya laki- laki, pasti akan ada saatnya dimana air matanya akan terjatuh oleh karena seorang perempuan. Perempuan yang telah ditangisi oleh lelaki tersebut pasti sangat teramat berarti baginya. Ya, ibunya merupakan perempuan yang paling ia cintai di dunia ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Teen Fiction[COMPLETED] Keluarga. Persahabatan. Cinta. Manakah yang akan kau pilih? Jeannie Harrington. Itulah namanya. Nama seorang gadis yang telah mengalami kepahitan hidup sejak usianya yang masih belia. Ia kini tumbuh sebagai seorang gadis yang membenci la...