"Ih, aku takutt...." Kini aku tengah berdiri di sebuah papan loncat di atas kolam berenang yang kedalamannya hampir mencapai dua meter.
"Cepetan turun sana, Bocah! Kami juga ingin terjun!" Beberapa laki- laki yang umurnya beberapa tahun lebih tua dariku mulai emosi dan mencoba mendorongku dan—BYUR!
"Tolongg!!! Tolonggg!!" Aku berteriak sekeras mungkin. Kakiku menendang- nendang di dalam air, berusaha agar tidak tenggelam. Tapi percuma, mau bagaimanapun aku berusaha, aku hanyalah seorang anak kecil berusia sepuluh tahun yang sama sekali tidak dapat berenang. Dan kemudian, di dalam air berkaporit itu, samar- samar aku dapat melihat wajah seorang laki- laki yang tengah menyelamatkanku.
Aku dapat merasakan sentuhan tangannya. Lembut. Sangat lembut sekali. Ia mengangkatku keluar dari kolam renang, dan membawaku ke tepian. "Jean! Jean!" Aku mendengar suaranya memanggil namaku. "Jean, sadar!" Ia menepuk- nepuk pipi kiriku, dan membuatku membuka mata perlahan- lahan.
"Ha?" Aku melihat wajahnya, meskipun sedikit buram. Sepertinya aku mengenalnya. Diaa.....terlihat sangat familiar di mataku. Matanya, hidungnya, mulutnya, semuanya sama—persis. Dia adalah—"JEANNIEEEEEEEE!!!!!! BANGUNNNN!!!!!"
Astaga, please deh. Gue baru aja mau menyadari siapa tuh cowok. PHO banget sih yaelah.
"Kamu tuh kebiasaan ya! Setiap bangun tidur pasti kagak ada di ranjang!" Mama membanting pintu kamarku, dan membuatku langsung segar seketika. Tunggu, gak ada di ranjang? Aku mencoba untuk duduk dan—ya, aku berada di lantai kamarku sekarang. Mungkin karena memimpikan loncat dari papan sampai- sampai aku loncat dari tempat tidur kali ya.
"Udah jam setengah tujuh tau gak?!! Kamu mau telat di hari senin ini??!!"
What the—"HAHH??!! SETENGAH TUJUH?!!"
***
Minggu ketiga di semester dua. Aku melangkahkan kakiku dengan penuh semangat menuju ke stasiun kereta. Aku sudah memutuskan, mulai semester yang baru ini, aku akan berubah menjadi seorang Jeannie yang berbeda dari sebelumnya. Aku akan mulai berinteraksi dengan teman yang lain, membuka pintu hatiku yang sudah berdebu ini untuk siap ditempati kembali.
Ya, sudah sejak tiga minggu ini, aku mulai memiliki banyak teman. Pergaulanku pun semakin meluas, bahkan sampai ke sekolah lain. Sesampainya di stasiun kereta dekat sekolah, aku turun dengan langkah kaki yang mantap dan berjalan santai menuju ke sekolah.
Ketika memasuki gerbang sekolah, banyak sekali orang yang menyapaku dengan ramah. Ada juga yang hanya tersenyum lembut, dan juga ada melambaikan tangannya. Aku pun membalas sapaan mereka dengan hangat. Ah, ini sangat indah. Aku belum pernah merasakan perasaan ini sebelumnya.
Ketika aku sudah berada di depan kelas, tiba- tiba Anne langsung saja menarikku, tak tau dan entah apa sebabnya.
"Jean! Temenin gue ke toilet yuk, kebelet gue." Anne memelas. Aduh, An. Please deh ya, muka lo itu benar- benar minta ditabok kalo lagi melas. Gue gak tahan liatnya.
"Ih, tapi gue naroh tas aja belom. Minta temenin Vero, gih." Aku melepaskan telapak tangannya yang menggenggam pergelangan tanganku dengan erat.
"Vero gak mau. Dia lagi pacaran sama Chris. Masa gue jadi nyamuk. Ayolah, ya? Ya? Tasnya biar gue suruh Vero yang taroh." Anne tersenyum dengan puppy face-nya yang bikin aku benar- benar merasa iba dan tak mampu menolaknya. Keahlian Anne—memelas. Siapapun yang melihat puppy face-nya pasti akan langsung menuruti permintaannya, termasuk bu Betha. Benar- benar amajing tuh anak. Eh, salah, amazing maksudnya.
Aku menghirup nafas dalam- dalam, lalu menjawabnya singkat, "Yaudah." Aku melepaskan tas ranselku yang berwarna cokelat muda dari belakang pundakku, lalu memberikannya kepada Anne yang sedang memanggil Vero kemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Teen Fiction[COMPLETED] Keluarga. Persahabatan. Cinta. Manakah yang akan kau pilih? Jeannie Harrington. Itulah namanya. Nama seorang gadis yang telah mengalami kepahitan hidup sejak usianya yang masih belia. Ia kini tumbuh sebagai seorang gadis yang membenci la...