Bodoh. Ya, satu kata yang mendeskripsikan diriku saat ini. Ketika aku sudah mencari bintang itu, lalu aku mendapatkannya, aku melepasnya. Melepasnya pergi. Bintangku yang membuat seluruh kehidupanku bersinar, berubah. Ia seperti bintang yang bersinar di langit malam yang gelap. Meskipun kecil, tetapi ia sangat indah. Seperti itulah ia di kehidupanku.
Hidupku yang gelap dan dingin ini mulai berubah karenamu. Tetapi, takdir berkata lain. Aku tak dapat mempungkiri kenyataan ini lagi. Kenyataan bahwa bintangku itulah yang ternyata membuat kehidupanku menjadi gelap. Dan pada akhirnya, aku harus melepaskannya.
Aku hanya tak ingin, sakit hati karena ini. Aku harus melepasnya pergi. Bukan karena aku menginginkannya untuk pergi dari kehidupanku, tetapi karena aku tak ingin dia terluka.
Aku mulai memasuki ruangan ballroom itu. Sangatlah megah. Sangatlah indah. Oke, mungkin aku harus mencari toilet sekarang juga, karena sejak tadi, aku sudah kebelet. Dan setelah kau keluar dari toilet, dan aku memasuki ballroom itu lagi, aku melihat—pemandangan yang menyakitkan.
Apa kau tau? Bagaimana perasaanku sekarang ini? Perasaan ketika melihat sahabatmu sendiri, memeluk pacarmu. Ralat. Bukan pacar, tetapi lebih tepatnya lagi, mantan pacarmu.
Anne, memeluk Nathan, di tengah- tengah ballroom yang besar ini.
Aku kini merasa—menyesal.
Menyesal karena telah melepasnya pergi.
Menyesal karena aku telah menyia- nyiakannya.
Perkataan Vero, kini aku kembali mengingatnya.
Penyesalan selalu datang terakhir.
Ballroom yang besar ini tiba- tiba terasa sangat sempit, dan membuatku sesak.
Hatiku teriris- iris melihat pemandangan ini. Aku tak kuat, tak kuat melihatnya lagi. Aku hanya ingin berlari pergi. Untuk sekali lagi, aku ingin melarikan diri dari kenyataan ini. Aku ingin pergi, menghilang dari muka bumi ini.
Di luar, hujan turun dengan deras. Sangat deras. Dengan memakai dress yang Nathan berikan dan dengan sepatu high heels, aku berlari di tengah derasnya hujan malam ini. Aku berlari, sampai- sampai aku tak menyadari kalau ada batu kerikil di tengah jalan ini, dan aku menyandungnya hingga terjatuh.
Tidak hanya sampai di situ. Dari kejauhan, samar- samar aku dapat melihat cahaya. Aku tak dapat melihat dengan jelas karena hujan yang turun dengan derasnya. Dan ketika cahaya itu mendekat, aku baru menyadarinya. Sebuah mobil, datang, menuju ke arahku.
Aku yang dari tadi masih dalam posisi terkapar di jalan, langsung bangkit berdiri. Tetapi aku tak bisa. Kakiku—terkilir. Aku berusaha untuk bangun dan kemudian—
Semuanya gelap.
Gelap, dan aku tak bisa merasakan apa- apa. Mati rasa.
Aku tak tau apa yang terjadi. Aku berfikir, mungkin saja kini aku sudah meninggal karena terlindas oleh mobil itu.
Dan ternyata tidak.
Aku berusaha untuk membuka mataku, dan lalu, aku dapat melihat—langit malam yang dipenuhi oleh bintang- bintang yang bercahaya. Tak ada hujan setitik pun.
Apakah aku bermimpi? Tidak.
Aku menoleh ke samping dan mendapatkan, ada dua—atau mungkin empat orang yang sedang mengangkatku. Oh, bukan. Mengangkat tandu yang sedang ku tiduri. Suara sirene ambulance yang sangat nyaring. Penglihatanku tak begitu jelas, sampai kepada aku dimasukkan ke dalam mobil putih itu, aku melihat seseorang di sampingku.
Ia bukan sedang duduk, memegang tanganku, ataupun sedang menatapku, tetapi, ia kini, sedang terbaring di sampingku, di sebuah bangkor yang berbeda denganku, di dalam ambulance ini juga,
Dengan berlumuran darah.
Tes.
Setetes air mata jatuh di pipiku, lalu mengalir turun ke bantal yang sedang ku tiduri. Aku memegang telapak tangannya. Dingin. Ia benar- benar dingin. Aku—tak dapat melihat ini semua lagi.
***
Aku tak tau sudah berapa lama aku tertidur, tetapi aku berharap semua kejadian tadi hanyalah sebuah mimpi buruk. Aku membuka mataku lagi, dan melihat—langit- langit berwarna putih dengan dua lampu neon menempel di sana.
Aku mengerjap- ngerjapkan mataku lagi, dan berusaha untuk duduk. Aku bahkan tak kuat untuk duduk di atas—bangkor? Aku menoleh dan melihat ibuku, sedang tertidur di sampingku. "Ma..." Aku menggoyang- goyangkan tubuhnya.
"Jean? Kamu sudah sadar? Mana yang sakit? Kamu lapar tidak? Mau makan? Atau haus? Mau minum gak? Mama ambilin," Pertanyaan beruntun langsung keluar dari mulut ibuku ketika ia terbangun dari tidurnya.
Aku menggeleng pelan. "Aku di mana?" Aku bertanya sambil memegang kepalaku. Pusing.
"Kamu di rumah sakit, sayang. Kamu baru saja mengalami kecelakaan—"
"Oh iya, Nathan mana Ma?!" Aku langsung turun dari tempat tidurku tanpa mempedulikan selang infus yang menancap di kulit tanganku. "Awh, sakit," Aku meringis, lalu mengambil tiang infus yang berada di sampingku, dan membawanya keluar.
"Jeannie! Kamu belom sembuh!" Mama meneriakkiku. Aku tak peduli. Aku hanya ingin bertemu dengannya. Aku hanya ingin memastikan kalau ia baik-baik saja. Aku tak ingin kehilangan—dia.
Aku tak tau, tetapi aku berlari langsung, menuju ICU. Dan aku melihat—Papa, Cella, Mike, serta kak Lucas—kakak laki- lakiku itu berada di sana. Di ruangan tunggu, di depan ICU.
Badanku lemas seketika. Aku berjalan, dengan tatapan mata yang kosong, dan berlinang air mata. Mimpi burukku itu—kenyataan.
Pada saat itu juga, seorang dokter, keluar dari ruangan ICU dan membuat kami semua terkesiap. "Keluarga Nathannael,"
"Ya, bagaimana anak kami, dok?" Papa—menghampiri dokter berseragam putih dengan masker penutup hidung itu dengan cemas.
"Kalian dapat masuk sekarang dan melihat kondisinya sendiri, tetapi bergantian," Dokter tersebut kemudian pergi.
***
Aku masuk ke dalam ruangan yang berbau antiseptik itu dengan perasaan hati yang benar- benar kacau. Dan kemudian, di balik tirai hijau itu, aku melihat—
Nathan.
Dengan segala selang merambat di tubuhnya, menusuk kulitnya.
Ia—kini hidup dengan alat bantu pernapasan yang masuk melalui mulutnya. Suara elektrokardiograf berdetak, menyamai detak jantungnya sekarang ini. Kepalanya—sekarang ini diperban, dengan penyangga leher yang menempel.
Aku merasa—mati. Aku tak menyangka kalau di hadapanku sekarang ini adalah seorang Nathan, orang yang menyayangiku mati- matian, orang yang aku sayangi, yang selalu ada untukku, orang yang mengubah hidupku.
Aku bersimpuh di sampingnya. Aku memegang tangannya, menggenggam telapak tangannya yang benar- benar dingin. Sedingin hatiku saat ini. Suara elektrokardiograf itu menyayat hatiku.
"Nath, gue mau lo isi hati gue. Gue sayang sama lo, Nath. Gue gak mau lo pergi. Lo—udah mengubah hidup gue. Gue gak mau bintang gue hilang, ditelan oleh kegelapan malam. Gak akan pernah Nath, gue gak mau jatuh sama orang lain lagi, selain lo. Lo yang terakhir. Gue kangen sama lo, walau baru satu jam gue gak ngeliat lo. Lo—" Aku menutup mulutku, menahan tangisanku saat ini.
"Lo yang terindah, Nath. Gue—gak mau kehilangan lo Nathannael! Bangun! Lo harus bangun sekarang juga! Gue....sayang sama lo, Nath. Sekarang, dan selamanya."
-----------------------------------------
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Teen Fiction[COMPLETED] Keluarga. Persahabatan. Cinta. Manakah yang akan kau pilih? Jeannie Harrington. Itulah namanya. Nama seorang gadis yang telah mengalami kepahitan hidup sejak usianya yang masih belia. Ia kini tumbuh sebagai seorang gadis yang membenci la...