[48] TERTUKAR

2K 180 5
                                    

Anne yang baru saja turun dari mobil yang dikendarai sopirnya itu langsung melesat menuju ke lantai tiga—letak kamar Nathan. Ia berjalan menyusuri lorong demi lorong sebelum ia sampai di depan pintu kamar Nathan yang kini sedang ramai, karena semua anggota keluarga Nathan dipanggil.

"An, Jean mana?" Cella yang melihat Anne sampai di depan pintu, langsung menhampirinya dan berbisik.

"Dia—dia lagi sibuk katanya, jadi gak bisa dateng," Dusta Anne. Karena sebenarnya ia tidak memberitahukan hal ini kepada Vero maupun Jean.

"Aish, parah. Ya udah, lo jadi penggantinya aja lah ya! Dokternya lagi mau kasih tau kita sesuatu," Cella merangkul Anne dan membawanya masuk ke dalam, ke dalam keramaian.

"Anak ini—dia terkena gagar otak," Dokter itu membuka percakapan. "Jadi, ia sudah didiagnosis kalau ia akan mengalami Amnesia Retrograde," Perkataan dokter tersebut membuat atmosfir di kamar pasien ini tiba- tiba menjadi riuh.

"Kalian harus mempersiapkan segala sesuatunya dengan matang. Kemungkinan besar, ketika anak ini tersadar, ia akan melupakan seluruh memorinya di masa lalu, sebelum peristiwa kecelakaan itu. Tetapi, ia masih mengingat namanya, dan keluarganya," Dokter tersebut melanjutkan, sambil sesekali menaikkan kacamatanya yang turun di batang hidungnya itu.

"Jadi, sebelum ingatannya itu kembali, jangan pernah ingatkan dia tentang memori, atau kenangannya di masa lalu. Itu akan membuat kepalanya terasa sakit, ketika ia mencoba untuk mengingatnya kembali," Jelas dokter itu.

Anne tersenyum penuh kemenangan ketika mendengar dokte menjelaskan hal tersebut. Karena itu berarti, ia mempunyai kesempatan untuk mendekati Nathan, yang sekarang telah melupakan Jean.

Beberapa lama kemudian, ketika hari semakin siang, kamar pasien itu menjadi sepi. Semua anggota keluarga telah pulang ke rumah masing- masing. Kecuali Anne. Ia masih menatap wajah cowok itu dalam. Ia sudah menyukai cowok yang berada di hadapannya ini sejak pertama kali ia berjumpa.

Ia mulai menggenggam telapak tangan cowok itu yang terasa dingin. Tiba- tiba saja, ia merasa ada pergerakan ketika ia menggenggam telapak tangannya.

Nathan mulai menggerakkan jemarinya perlahan.

Lalu kemudian, mata cokelat milik cowok itu mulai terlihat.

Akhirnya, Nathan tersadar.

Sontak, Anne langsung memencet tombol yang terdapat di dekat bangkor itu, dan beberapa saat kemudian, seorang dokter dan dua perawat datang menghampirinya.

Dokter itu memeriksa keadaan Nathan. Lalu kemudian, ia menyimpulkan kalau keadaannya sudah benar- benar baik. Walaupun belum seluruhnya. Ia membuka masker oksigen yang menutupi hidung dan mulut Nathan, dan melepaskan kabel yang menghubungkan tubuh Nathan dengan mesin elektrokardiograf.

Setelah itu, dokter dan kedua suster meninggalkan mereka. Berdua.

***

Nathan mulai mengerjap- ngerjapkan matanya. Ia mengernyitkan dahinya yang masih diselimuti perban putih. Sakit. Masih terasa perih, karena lukanya yang belum sembuh total.

Ia hanya menatap langit- langit rumah sakit dengan heran. Lalu kemudian, ia menoleh ke samping dan mendapatkan ada seorang perempuan sedang duduk di kursi, di sampingnya, sambil menatapnya, intens.

"Lo...siapa?" Tanya Nathan, dan membuat yang ditanya tertegun seketika.

"Emm...gue...nama gue...Jeannefy Priscilla, temen SMA lo," Anne menjawab.

"Je-Jean?" Nathan menautkan alisnya. "Haish, kepala gue...sakit." Lalu ia memijat- mijat pelipisnya.

"Lo gak usah terlalu banyak mikir dulu. Kata dokter, kalau lo banyak mikir, nanti luka lo makin sakit," Jelas Anne.

"Emangnya, gue ada di mana?" Tanya Nathan lagi.

"Rumah sakit,"

"Lah, emang gue kenapa?"

"Kecelakaan,"

"Kecelakaan apaan?"

"Emm...itu, gara- gara...emm....lo mau—mau nolongin anjing yang hampir aja kena tabrak mobil!" Anne menjawab sambil tersenyum kikuk.

"Emangnya gue punya hewan peliharaan anjing?"

"Enggak sih, maksud gue itu...lo tolongin anjing yang lagi mau nyebrang jalanan. Ya, gitu," Anne membalas, sambil terkekeh pelan. Ia bingung ingin menjawab apa. Karena tak mugkin kan, kalau ia menjawab Nathan terkena kecelakaan gara- gara mau selamatin Jean. Gak lucu, kali.

"Sejak kapan gue jadi suka sama hewan?"

"Sejak...bulan lalu. He-he. Iya,"

"Jadi gua di rumah sakit ini udah sebulan?"

"Emm..iya," Setelah mengatakan hal itu, Anne langsung memeluk Nathan. Ia benar- benar menyukai cowok itu. "Cepet sembuh, ya, Nath." Bisik Anne di telinga Nathan, yang membuat Nathan bergidik geli.

"Apaan sih, lo?" Nathan segera melepaskan pelukan Anne. Tapi terlambat, karena seseorang telah melihat mereka berdua berpelukan, sejak tadi, dari luar pintu kamar pasien.

***

"Jean, lo kenapa?" Tanya seseorang, dan itu suara itu, sangat Jean kenal. Ia mendongak, dan mendapatkan,

"David?" Jean buru- buru mengelap air mata yang masih mengalir di pipinya.

"Lo kenapa, Jean?" Tanya cowok itu lagi.

"Gak apa- apa. Oh iya, lo dari mana aja? Kok gue baru ngeliat lo?" Jean mengalihkan pembicaraan. Ia tak ingin orang lain melihatnya bersedih.

Iya. Gue baru aja pulang, dari Singapura. Karena kesepakatan yang gue buat sama Nathan. Tujuh bulan yang lalu.

"Lo gak perlu tau. Oh iya, mau ke cafe dekat rumah sakit ini gak? Cuacanya lagi dingin. Habis hujan," David tersenyum manis, dan mengulurkan tangannya, untuk membantu Jean berdiri.

"Thanks, Vid." Jean membalas senyuman itu, kemudian menerima uluran tangan cowok itu, dan berjalan mengikutinya, dari belakang.

Sesampainya di cafe di sebelah rumah sakit, mereka berbincang- bincang hangat. Dan Jean, akhirnya, untuk pertama kalinya dalam satu bulan ini, ia kembali tertawa. Ia kembali tersenyum. Dan ia akhirnya melupakan permasalahan yang ia hadapi. Tetapi, hanya untuk sementara.

"Jadi, gimana kondisi Nathan?" Pertanyaan David sukses membuat Jean terdiam. "S-sorry. Gue gak bermaksud,"

"Gak apa- apa. Dokter bilang—dokter bilang, kalo dia...dia terkena..." Jean menahan tangisnya. "..Amnesia.."

David tertegun. Ia diam. "Jadi...gimana hubungan lo sama dia?"

"Gue...udah gak punya hubungan apa- apa lagi sama dia," Jujur, ketika mengatakan hal itu, hati Jean tertusuk. Dalam. Ia merasa kekurangan oksigen. Sesak. "Gue udah putus sama dia...gara- gara—beberapa hal," Jean menunduk. "Well, lagipula, dia juga gak bakalan ingat sama gue lagi. So, udah gak ada masalah lagi kan?"

Bohong. Bohong besar. Tak ada masalah? Mungkin yang benar adalah kebalikannya. Jean—ia membohongi perasaannya sendiri. Menyakitkan. Sangat.

---------------------------







StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang