Ini sudah lewat sehari dari tragedi kecelakaan itu. Dan hari ini, Nathan akan menjalani operasi. Jean tidak ingin datang ke rumah sakit karena ia takut kalau operasinya tidak berhasil, nanti ia akan trauma untuk datang ke rumah sakit lagi.
Ia hanya akan menunggu. Menunggu kabar baik dari Cella, yang sekarang menginap di rumah sakit untuk menjaga kembarannya itu.
Dan setelah sembilan jam operasi, kabar baik datang. Operasinya berjalan dengan lancar, dan—berhasil. Namun kabar buruk pun ada.
Nathan...ia...terkena...
Amnesia.
Jean's worst nightmare.
Walaupun Jean telah mempersiapkan mentalnya dalam menghadapi ini, tetapi ia tetap saja. Ia tetap saja takut. Ia masih belum siap secara sepenuhnya. Ia masih—ingin bersama Nathan, si cowok menyebalkan yang telah mengubah hidupnya itu. Ia masih ingin memeluk cowok itu lagi.
Bintang yang telah menerangi hidupnya itu, kini telah—pergi.
Dan Jean ingin menggapainya lagi. Ia ingin memiliki bintang itu lagi.
Walaupun cahayanya telah sirna. Ia tetap masih ingin bintangnya itu kembali.
Bintang yang dulu pernah menjadi pelita di dalam hidupnya.
Dan sekarang, mereka berdua, harus bertindak seakan- akan mereka tak pernah mengenal satu sama lain. Bertindak seakan- akan semuanya itu tak pernah terjadi. Nathan mungkin telah melupakannya. Tetapi, Jean mengingat semua yang telah Nathan lupakan itu, dengan sangat jelas.
Jean yang mendengar kabar kalau operasi Nathan telah berhasil, buru- buru pergi ke rumah sakit, dengan mobil merci—yang dikendarai oleh supir utusan Cella. Kehidupannya sudah berubah sekarang. Ia sudah menjadi tuan putri. Tetapi, tuan putri tanpa seorang pangeran, tak ada artinya.
Sesampainya Jean di rumah sakit, ia langsung naik ke lantai tiga, dan menuju ke ruangan dimana Nathan sekarang dirawat. Di sebuah ruangan khusus, VIP.
Jean membuka pintu ruangan itu dengan hati- hati. Dan bau antiseptik yang sangat kuat menyergap hidungnya. Dan di sana ia dapat melihat—Nathan.
Nathan yang sedang terbaring lemah di atas bangkor rumah sakit, dengan segala selang menancap di permukaan kulitnya. Ia kini hidup, dengan bantuan alat pernapasan. Dengan bantuan masker oksigen yang menyelimuti hidung dan mulutnya. Dan suara mesin elektrokardiograf itu masih terdengar, menandakan bahwa jantungnya masih berfungsi.
Suara elektrokardiograf itu benar- benar menyayat hati Jean. Ia masih mengingat suara detak jantung cowok itu, ketika ia memeluknya. Dan sampai sekarang pun masih terdengar.
Rasanya, ia ingin cowok itu terbangun sekarang, agar ia dapat memeluknya lagi.
Walau kini, cowok itu tak lagi mengingatnya.
"Nathan....aku ada di sini....di samping kamu," Jean menggenggam telapak tangan Nathan yang dingin itu, dengan berlinang air mata. "Kamu...udah tertidur hampir seharian penuh," Ia melanjutkan.
"Kamu bangun, ya. Udah siang. Kita jalan- jalan lagi yuk," Jean tersenyum parau. Air mata kini telah jatuh di pipi tirusnya itu.
"Maafin aku, kalau selama ini, aku masih belum bisa membahagiakan kamu. Maafin aku, kalau selama ini aku telah membuat hati kamu sakit. Maafin aku, yang selama ini gak tau seberapa besar cinta dan perjuangan kamu ke aku. Aku masih belum menyayangi kamu sepenuhnya, Aku—" Jean kini sudah tak kuat lagi. Ia menutup mulutnya itu, menahan tangisannya.
"Asal kamu tau...sampai kapanpun, aku gak bakal bisa membenci kamu. Walau kamu udah membuat hati aku hancur, berkeping- keping. Walau kamu udah membuat aku sakit hati dengan kenyataan yang ada. Karena, rasa sayang aku ke kamu lebih besar, ketimbang rasa benci aku," Jean mengelus kepala cowok itu, yang semua rambutnya telah tiada karena operasi, dan perban yang membalut kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Teen Fiction[COMPLETED] Keluarga. Persahabatan. Cinta. Manakah yang akan kau pilih? Jeannie Harrington. Itulah namanya. Nama seorang gadis yang telah mengalami kepahitan hidup sejak usianya yang masih belia. Ia kini tumbuh sebagai seorang gadis yang membenci la...