[Jean's POV]
"Jean! Jean! Bangunn!!" seseorang seperti sedang menepuk pipi kiriku.
"Ha??" Aku membuka sedikit mataku, dan membiarkan sedikit cahaya masuk sehingga aku dapat melihat dengan jelas.
"Jean bangun! Udah mau jam setengah enam!!!" Ternyata dia adalah Vero. Teriakannya di telinga kiriku membuat aku loncat dari tempat tidur seketika.
"Hah?! Jam setengah enam?!" Aku langsung melotot ketika mendengarnya. Bu Betha—ketua panitia dari acara kali ini, menyuruh kami bangun jam lima pagi karena akan dilakukan senam dan lari pagi bersama- sama.
"Mampus!" Aku beranjak dari tempat tidur, mengambil baju dan celana training lalu masuk ke dalam kamar mandi. Aku segera menggosok gigi, mencuci muka, mengganti piyamaku menjadi baju sport, serta menyisir rambutku dan menguncirnya ekor kuda. Setelah semuanya siap, aku keluar dari kamar mandi. Pemandangan aneh nan luar binasa aku jumpai sehabis aku keluar. Mereka tertawa terbahak- bahak. Entah apa yang mereka tertawakan, sampai terguling- guling di atas tempat tidur.
"Lo pada sawan ya?" Aku mengernyitkan dahiku.
"Satu monyet kena ketipu. Bahahahaha" Vero jungkir balik di atas tempat tidur dan membuat Anne terbangun. "Sekarang baru jam tiga, woi!" Claire nyambung.
"Dasar lo teman durhakaaa!!!!" Aku menoyor kepala mereka satu per satu.
"Ampun, Ibu Negara." Vero cengengesan. Ibu negara? Oh, aku mengingatnya sekarang. Itu adalah julukan yang diberikan oleh Nathan kepadaku ketika aku mencubit pinggangnya di dalam bus kemarin siang. Tunggu, kenapa aku jadi mengingat dia? Ah, lupakan!
***
Kini waktu menunjukkan pukul lima pagi. Aku dan teman- teman sekamar pun keluar menuju ke lapangan basket yang terletak di samping kolam berenang. Udara yang dingin menusuk kulit, sampai- sampai buluku merinding. Cuacanya sangat sejuk, bahkan suara burung yang bernyanyi pun terdengar. Matahari belum menampakkan wajahnya secara sempurna di ufuk timur. Jalanan disekitar hotel terlihat sepi karena hari yang masih pagi.
Aku melangkah masuk ke dalam lapangan basket dengan malas. Rasanya aku masih ingin kembali ke pulau kapuk yang empuk. Emang sialan, ini semua rencananya si Mak Lampir Vero. Begadang sih ngajak- ngajak. Vero sih udah biasa begadang demi nonton bola sampai pagi. Lah aku? Sampai jam satu siang aja masih bisa nempel sama tempat tidur kalau tidak dibangunkan. Memang udah jodohnya sama tempat tidur kali yak.
Udah kelamaan jomblo jadi gini. Jangan ditiru ya.
"Heeeehhhhh kalian semua ini kok badan kayak gak punya tulang sama sekali?! Pagi- pagi harus segar dong!" Jujur, hanya teriakan bu Betha dan mama yang mampu membuatku langsung segar seketika. Mereka punya mantra khusus kali ya?
Kami melakukan senam selama lima belas menit, kemudian dilanjutkan dengan lari pagi kelilingin hotel. Kami didampingi oleh guru kami yang tercintah, yaitu pak Ethan. Dengan gaya khasnya, ia berlari duluan di depan para murid- murid. Kami yang berada di belakangnya hanya tertawa sambil menutup mulut, takut ketahuan sama pak Ethan yang kalo udah marah melebihi Godzilla. Eh.
Setelah setengah jam kami berolahraga, akhirnya kami diperbolehkan istirahat dan kembali ke kamar masing- masing untuk mandi dan sebagainya. Jam tujuh pas, kami diwajibkan datang ke restoran hotel yang berada persis di belakang kolam renang. Kalau ada yang ngaret, jangan harap dapat makanan. Apalagi ketua panitia kali ini Bu Betha yang mempunyai prinsip iya iya, tidak tidak.
Kami berkumpul di restoran pukul tujuh pas, tanpa ada yang ngaret. Akhirnya, ini perut bisa diisi juga. Sejak lari pagi tadi, ini perut udah konser minta diisi. Untung aja gak ada yang dengar. Harus diakui, menu- menu yang terdapat di restoran dalam hotel ini benar- benar sangat teramat menggugah selera. Mulai dari pancake, omelete, bubur, nasi goreng, sereal, jus buah, teh manis, kopi, susu, waffle, spaghetti, hamburger, sandwich, salad, telur mata sapi, telur rebus dan berbagai macam sup pun tersedia. Bagi yang belum makan, jangan ngiler ya. Jahat banget sih, Jean.
Sesudah sarapan, kami digiring menuju ke aula utama. Di sini, kita akan mulai melakukan berbagai macam games secara berkelompok. Jadi ya, mulai deh kembali ke TK buat belajar berhitung, karena cara pembagiannya adalah berhitung mulai dari satu sampai dua puluh. Delapan. Aku mendapatkan nomor delapan. Sumpah, girangnya setengah hidup gak bohong. Nomor keberuntungan neh.
"Baiklah, kini kalian baris per kelompok ya." Bu Caroline, yang merupakan guru agama dan sekarang ia menjadi panitia games mulai mengatur kelompok kami. Mataku sibuk mencari- cari karton yang bertuliskan angka delapan, dan akhirnya—ketemu! Aku berjalan ke arah barisan mereka dan melihat—Oke, fix, mimpi terburukku terwujud. Nathan. Berada. Di sini. Kenapa harus dia coba?!
Kini mataku melirik ke anggota kelompok yang lain. Mati aja gue di kelompok ini selama tiga hari yang akan datang. Aku mendesah dalam hati. Mungkin angka delapan kali ini tidak membawa keberuntungan, tapi sebaliknya. Sekelompok sama buaya- buaya rawa yang terkenal dengan seribu jurus gombalan dan modusnya benar- benar suatu kesialan. Cuma ada lima anak perempuan dari dua puluh anggota kelompok. Sial.
Kami melaksanakan berbagai macam kegiatan pada pagi hari ini yang benar- benar membuatku kecapaian. Akhirnya, pada pukul sembilan malam, semua kegiatan telah selesai. Bagus, sekarang tubuhku bisa beristirahat.
Aku kembali ke kamar dengan mata yang setengah mengantuk karena khotbah dari pak Marlo, guru Konseling kami yang kalau ngomong lebih lambat dari siput. Apalagi karena tadi kami disuruh menulis kepribadian dan kelebihan dari diri kami masing- masing. Oh iya! Aku hampir lupa! Tadi kan pinjem pulpennya Nathan gara- gara lupa bawa kotak pensil! Padahal pulpennya masih dipegang dari tadi. Biasalah, efek ngantuk gini jadinya.
Aku berlari menuju ke aula. Pintunya masih terbuka, lampunya masih terang benderang, dan itu artinya masih ada orang di sana. Ketika aku ingin memasuki ruangan tersebut, aku melihat Nathan dan Chrysella di sana. Berdua.
Refleks, aku langsung mundur satu langkah dan bersandar pada pintu kayu aula. Rasa penasaran mendorongku untuk tetap diam dan mendengarkan percakapan mereka. Tetapi, hatiku berkata lain. Seakan- akan mengetahui bahwa dirinya akan terluka, hatiku menyuruhku untuk lari, pergi jauh- jauh dari tempat ini. Tetapi kini rasa penasaranku lebih besar ketimbang suara hati. Maka, aku memutuskan untuk mendengarkan percakapan mereka berdua.
"Gue suka sama lo." Ia memberikan jeda sebentar. Tubuhku mulai lemas sekarang, dan aku tau persis apa yang akan diucapkannya setelah ini. Sebuah pertanyaan yang sudah biasa diucapkan oleh seseorang sehabis ia menyatakan perasaannya. "....Lo mau gak jadi pacar gue?"
Deg.
Pertanyaan itulah yang ku maksud.
Mataku membulat sempurna, dan kini, aku dapat merasakan rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Sesak. Jantungku berdegup kencang. Bahkan saat ini, aku merasa jantungku akan keluar. Seluruh tubuhku kaku. Terdiam mematung di tempat. Untuk menelan ludah saja terasa sangat sulit bagiku. Kerongkonganku seperti berisikan serpihan- serpihan kayu. Aku tak dapat bernafas karena kini mataku mulai basah.
Oh Tuhan, apa yang terjadi padaku? Aku berusaha menahan air yang kini hampir keluar dari dalam mataku. Hatiku seperti tertusuk. Dalam. Aku berlari. Mencoba tuk berlari, pergi jauh- jauh dari sini. Bahkan untuk mengangkat kaki saja sudah sangat berat rasanya. Aku tak peduli.
Kini, aku hanya memerlukan satu hal. Aku harus keluar dari sini dan menemukan tempat untuk bernafas. Aku tak sanggup mendengar jawaban dari pertanyaan yang sudah membuatku tertusuk. Tolong, siapapun, tolong aku. Keadaan macam apa ini? Aku benar- benar tak mengerti. Aku berjalan keluar dari lorong aula dan menuju ke kolam berenang.
Akhirnya, lega. Aku dapat bernafas kembali. Aku duduk di salah satu kursi yang terletak di pinggir kolam. Gue suka sama lo. Lo mau gak jadi pacar gue? Kenapa perkataan itu tergiang lagi dan lagi di dalam kepalaku? Pulpen biru milik Nathan masih ku pegang erat. Aku mengadahkan wajahku ke langit malam yang biru gelap, dan bertaburan bintang- bintang. Akhirnya, gue temuin bintang juga.
"Jean? Lo ngapain di sini?" Sebuah suara memanggil namaku dari belakang. Aku menoleh dan melihatnya, menatap wajahnya, si cowok yang paling nyebelin seantero sekolah yang berhasil membuatku meneteskan air mata. "Nath—Nathan.." Aku memanggil namanya dengan suara yang terisak- isak.
"Lo abis nangis? Lo kenapa Jean?" Nathan menghampiriku dengan wajah yang khawatir. Siapapun, please, hilangkan gue sekarang juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Starlight
Teen Fiction[COMPLETED] Keluarga. Persahabatan. Cinta. Manakah yang akan kau pilih? Jeannie Harrington. Itulah namanya. Nama seorang gadis yang telah mengalami kepahitan hidup sejak usianya yang masih belia. Ia kini tumbuh sebagai seorang gadis yang membenci la...