[12] KENCAN

5.3K 337 3
                                    

Waktu menunjukkan pukul tiga sore, dan Jean kini tengah mengobrak- abrik lemari bajunya, memilih baju apa yang cocok untuk ia pakai nanti. Ia mengeluarkan baju- baju yang menurutnya bagus, untuk dijadikan kelinci percobaan.

"Hadohhhh.....mateng gue....pake baju apaaaa?" Jean ribet sendiri. Tunggu, sejak kapan Jean jadi begini? Jean adalah tipe cewe yang paling masa-bodo kalau tentang penampilan kalau mau jalan sama cowok. Tapi, kali ini berbeda. Ia merasa bahwa kali ini ia harus tampil berbeda dari sebelumnya.

Butuh setengah jam bagi Jean hanya untuk memilih pakaian. Ujung- ujungnya, ia memakai kaos berwarna hitam dengan gambar minnie mouse ditengahnya -hadiah yang dibawakan pamannya, asli dari Disney Land Hongkong.

Walaupun sebenarnya ia belum pernah pergi ke sana, tetapi itu merupakan impiannya sejak kecil. Dengan bawahan Jeans berwarna biru muda dan sepatu kets berwarna putih, Jeannie akhirnya sudah siap tepat pada pukul empat sore.

Tin- tin! "Pasti Nathan, nih." Jean langsung mengambil tas hitam kecilnya dan berlari keluar rumah. "Ayo cepetan masuk." Nathan berkata kepada Jean dari dalam mobil-dengan kacanya yang terbuka. "Iya, sabaran kek." Jean memutar ke tempat duduk penumpang, dan membuka pintunya. "Dah, ayo jalan." Kata Jean ketika ia sudah duduk nyaman diatas kursi penumpang dan mengenakan seat belt.

Mobil putih mercedez-benz milik Nathan pun melaju di tengah jalan raya dengan lampu- lampu jalanan yang sudah mulai dinyalakan, karena hari kini sudah semakin gelap. Jeannie hanya duduk diam, terpaku melihat isi dalam dari mobil Nathan. Ia menyadari satu hal sekarang-Nathan benar- benar orang yang kaya raya!

"Wow, Nath. Bokap lo kerjanya apaan sih? Ampe bisa beliin lo merci? Untuk anak enam belas tahun, loh!" Jean memuji.

"Bokap? Ohh, dia presdir utama dari sekolah-" Nathan tiba- tiba menutup mulutnya.

"Sekolah? Sekolah apaan?" Jean bertanya.

"Hah? Engga, gak jadi." Nathan terkekeh. "Bokap gue kerja di Amerika. Lo inget kan, kalo gue ini murid pindahan dari Amrik?" Nathan berkata sambil ia menyetir mobilnya.

"Trus, lo tinggal di rumah sama siapa? Sama nyokap?" Jean bertanya lagi.

"Gue tinggal sama pelayan- pelayan gue doang di rumah. Nyokap gue....." Nathan memberi jeda yang cukup lama. "...Dia udah meninggal." Nathan menjawab dengan nada yang lesu.

Mendengar hal tersebut, Jean langsung terdiam. "Ma-maaf, Nath, gue gak bermaksud-"

"Iya, gak apa- apa. Lagian gue juga udah terbiasa kok, sejak dia meninggal setahun yang lalu." Nathan tersenyum miris.

"Dia meninggal gara- gara penyakit TBC nya. Jadi, gue disaranin sama bokap buat pindah lagi ke Indonesia, kampung halaman dia dulu." Nathan berkata sambil menoleh ke arah Jean sekali- kali.

"Gue merasa....gue masih jauh lebih beruntung dari lo, ya Nath." Jean membuka pembicaraan lagi. Nathan menoleh, heran dengan perkataan Jean."Orang tua gue cerai sejak gue berusia sembilan tahun. Tunggu, mereka gak bercerai. Mereka hanya berpisah. Berpisah untuk waktu yang sangat lama." Jean mulai bercerita.

"Papa gue pergi ninggalin rumah kami secara tiba- tiba pada suatu hari. Pada hari pertama, gue kira papa gue pergi kerja kayak biasanya, dan bakal pulang larut malem lagi. Tapi, setelah dua hari, lima hari, seminggu, sebulan, gue tunggu, dia gak balik- balik lagi. Pada saat itu gue sadar, papa gue gak akan balik lagi. Walau gue tau dia masih hidup, entah dimana dia sekarang, yang jelas, kenangan tersebut menyakitkan buat gue." Mata Jean mulai basah.

"Seorang gadis kecil berusia sembilan tahun sudah kehilangan ayahnya yang sangat ia cintai. Pada saat itu gue mulai berpikir, kalo Tuhan itu gak adil banget." Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga ke pipinya. "Maaf, jadinya curhat kan tuh. Gue tau harusnya gue gak ceritain ini masalah ke elo." Jean menghapus setitik air matanya yang telah jatuh.

StarlightTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang