Bab 2. Something Can Changes Him

30.6K 1.8K 52
                                    

Asap tipis masih mengepul di atas secangkir teh lemon panas yang disuguhkan Julian beberapa menit lalu sebelum dia pergi meninggalkannya. Kini dia duduk di sofa putih berukuran jumbo. Menunggu kembalinya Julian dari kamar Jonathan sembari memindai isi ruang tamu ini. Tak terlalu luas memang, tapi jika kau bertamu kerumah keluarga ini,tentunya kau akan merasa nyaman dengan furniture dan semua interiornya yang bernuansa biru tosca dan putih. Ada beberapa bingkai foto keluarga Suryokusumo tertempel di dinding juga ada foto Jonathan dan Julian kecil yang tampak lucu di sana. Bunga aster segar disimpan di vas keramik Cina menambah kesan hangat di seantero ruangan.

Jena masih saja asyik memandangi teh-nya tanpa melirik beberapa toples kue kering di sampingnya. Bau teh lemon itu membuat Jena lupa akan tujuan sebenarnya. Bau menenangkannya seperti membiarkan Jena berelaksasi dan menikmati semua yang ia hadapi. Jujur saja,maksudnya berada di sini yaitu,Jena ingin mengatakan sesuatu kepada Jo. Sesuatu yang belakangan ini membuat hatinya selalu sesak dan diliputi perasaan gundah gulana.

Tak lama kemudian,Julian datang dengan raut muka yang sulit Jena baca. Dia menundukkan pandangannya lalu duduk di samping Jena. Gadis itu terkesiap saat Julian duduk, memandang wajahnya.

"Gimana? Aku bisa bicara sama Jo?" Tanya Jena dengan nada riang.

Julian mengalihkan pandangannya pada teh lemon milik Jena. "Dia pasti diajak Valdi pergi atau bisa aja Rendi. Abang cari di kamarnya nggak ada," Julian menghela nafas berat, "mungkin tadi pas Abang lagi masak,dia melarikan diri."

"Abang kira Jo apa? Tikus?" Jena terkekeh namun terdengar pelan, "Tapi Rendi kan lagi jalan sama Delia. Terus Valdi,dia ada perlombaan nyanyi sama band-nya."

Julian berhenti bernafas seketika. Niatnya untuk berbohong pada Jena nampaknya tidak semudah mengambil permen dari anak kecil. "Mungkin ikut nyemangatin Valdi di perlombaannya." Tebak Julian sekenanya.

Jena tertawa lepas, "Halah, si Abang gimana sih? Dia kan paling nggak suka band hardcore kayak Valdi."

"Um.. mana Abang tau. Jo lagi amnesia kali."

Jena menarik nafas lalu membuangnya.lalu beralih menatap Julian. Menatapnya dalam seperti ada sesuatu, "Abang jangan anggap Jena anak kecil ya? Abang juga nggak bisa bohongin Jena. Jena ngerti sama Jo. Dia pasti nggak mau Jena temuin."

Julian menatap Jena lekat kemudian menggenggam kedua lengannya, "Abang tahu Jen,maafin Abang." Ujar Julian parau, "Abang nggak bisa jaga perasaan kamu. Maafin Jo juga,dia masih belum bisa jadi cowok dewasa."

Jena hanya menganggukkan kepala seraya tersenyum kecil, "Iya, aku ngerti maksud Abang apa."

Semuanya mendadak sunyi,tak ada lanjutan obrolan hangat dari Jena dan Julian. Hanya saling melempar pandangan dan kembali meminum teh-nya masing-masing. Jena rasa,tak perlu ada yang dibicarakan lagi tentang hubungannya dengan Jo, kenangannya dengan Jo, bahkan sekedar mampir ke kamar Jo hanya untuk memberi makan ikan mas kecilnya. Itu serasa membekas di benak Jena.

Julian pula, ia merasa bersalah pada Jena karena ulah adiknya. Kalau saja Jo tak memutuskan Jena atau memutuskan Jena namun dengan alasan yang jelas. Tentu takkan ada pihak yang terluka.

Julian tahu siapa itu Jena.

Julian tahu Jena masih memendam sejuta kata untuk Jo.

Julian tahu betapa baiknya Jena.

Julian pun tahu,Jena sangat mencintai Jonathan.

***

Beberapa menit sebelumnya

Julian melangkahkan kakinya lebar-lebar agar dia bisa cepat sampai di kamar Jo. Sesampainya dia langsung membuka kenop pintu tanpa ada izin dari sang pemilik kamar. Ia tak punya waktu lagi untuk meminta persetujuan Jo supaya dia bisa masuk ke kamarnya. Ya,dirasa itu tak perlu untuk situasi seberat ini.

"Jena mau ngomong sama lo, Jo. Samperin gih!" Tegur Julian pada Jonathan yang masih sibuk dengan Clash of Clans-nya.

Jonathan mendengus dan beralih pada wajah kakaknya, "Apa lagi sih Bang?! Kan gue udah bilang, suruh aja Jena pulang!"

"Eh lupa, dia mau nganterin ini." Julian mengasongkan sebuah tas jinjing berukuran besar. Isinya berupa buku-buku novel terjemahan seperti The Hunger Games dan beberapa seri buku J.K Rowling.

Mata Jo membulat lebar, "Ini kan buku pemberian gue?" Lalu meraihnya dari tangan Julian, "Kenapa dibalikin sama Jena?"

Julian mengangkat bahu, "Meneketehe. Tanya aja sama Jena." Kemudian, "Sekalian dia mau ngomong sama lo."

"Ogah, ah! Urusin aja dia!"

Dahi Julian mengerut samar, "Dia kan mantan lo? Kenapa gue yang repot?" Julian mengembuskan nafas pelan, " Lagian kenapa putus sih?"

"Kepo lo Bang! Kalo nggak cocok mau digimanain lagi?" Ujar Jonathan kesal.

"Gue punya abang kepo banget sih,mau tau aja urusan gue." Lanjutnya menggerutu.

"Capek gue ngomong sama adek gue yang bego. Mendingan gue minggat nemuin Jena!" Tukas Julian sambil menutup pintu keras-keras.

Sebelumya, Julian memang tak tahu apa-apa tentang hubungan mereka yang ternyata sudah memanas. Julian terus memaki dirinya sendiri karena tak becus mengurusi kehidupan sosial adiknya termasuk menyangkut percintaan. Memang, semua orang tahu kalau percintaan bukanlah persoalan yang bisa dianggap enteng,dan Julian juga tahu itu.

Ia merasakan perubahan pada Jo yang juga jarang menghabiskan weekend bersama Jena ataupun temannya. Adiknya lebih memilih bersemedi ria di kamar dengan laptopnya ketimbang nongkrong di kafe favoritnya bersama kedua anak badung itu, Valdi dan Rendi seperti biasanya. Pastilah Julian tahu,ia tahu segalanya tentang Jonathan. Jo tak suka musik metal dan segala kerabatnya. Jo alergi bawang putih. Jo suka novel terjemahan terutama buah hasil Ernest Hemingway. Jo anak yang sensitif dan agak cengeng meskipun dia terlahir sebagai anak lelaki. Betul, Julian adalah kakak Jo. Dan mengerti apa yang anak itu mau dan butuhkan.

Termasuk perubahannya diminggu terakhir ini. Itu terlihat, janggal menurut Julian.

Kenapa adek gue jadi gini ya? Batin Julian.

***

Tbc

Mulmed: Camdall as Julian

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang