Bab 10. Curiga? Wajarkah?

15.8K 1K 69
                                    

Sepanjang jalan, mereka tak henti-hentinya berdebat tentang siapa yang suka cari muka, kegantengan dan over percaya diri. Seolah-olah tak akan ada detik yang mereka lewatkan untuk berehat saja. Entah kenapa, semenjak hubungan mereka berakhir, mereka bukannya saling mengintrospeksi diri. Mereka malah saling menjatuhkan dan tak ingin ada yang kalah.

Sampai perdebatan itu berhenti saat sadar bahwa mereka telah menginjakkan kaki di kantor guru. Mata mereka memindai seisi ruangan yang dihuni oleh guru-guru. Terdapat tumpukkan buku dan kertas-kertas bekas ulangan yang tercecer di sembarang tempat. Tepatnya di pojok belakang, berantakan dan tak teratur.

"Ada perlu apa?" Tanya seorang guru yang belum mereka ketahui namanya menghampiri dan bertanya maksud dari kehadiran Jena dan Jo. Usianya diperkirakan sama seperti Bu Reni, namun terlihat lebih segar dan tak menyeramkan.

"Ini Bu..." Tangan Jo malah menarik-narik seragam Jena, dia terlihat gelagapan saat harus menjawab pertanyaan guru ini. "Mau ketemu Bu Reni."

Guru itu langsung menunjuk meja Bu Reni yang letaknya tak terlalu jauh dari tempat mereka berdiri. Tanpa ba-bi-bu, keduanya bergegas bergerak ke arah meja si guru killer.

Denyut nadi Jonathan seakan berbunyi lebih kencang dibanding sebelumnya, mengingat dia pernah menjadi korban dari amukan Bu Reni yang luar biasa galaknya. Bu Reni bahkan lebih buas dari kudanil Afrika dan naga di drama kolosal Indosiar, tidak menggigit namun apa yang dia lakukan sangat membuat hati menjerit. Jonathan terus merutuki dirinya berkali-kali karena melupakan tugas makalahnya yang sudah Bu Reni perintahkan sejak dua minggu lalu. Dia lupa tak menyuruh abang-abang tempat jaga warnet di dekat rumahnya. Karena biasanya setiap ada tugas majalah begini, warnet-lah yang menjadi peraduan utamanya selain bermain Ayo Dance dan Point Blank. Tapi sekarang, dia akan menggunakan trik andalannya dalam mengambil hati seorang guru killer. Trik ini pun pernah diuji coba pada Bu Isma, namun hasilnya negatif. Dan kini, Bu Reni-lah yang akan menjadi targetnya.

Dari kejauhan, meja guru itu sudah terlihat seperi lubang hitam yang sudah tak sabar ingin menyedotnya tanpa ampun. Juga Bu Reni dengan kotak makan siangnya, terlihat seperti malaikat maut dan pisau bulan sabitnya.

"Bu Reni manggil saya?" Tanya Jena.

Mulut Bu Reni masih penuh dengan tumis kangkung dan tempe goreng. Perempuan itu langsung mengangkat wajahnya dan kini mereka bertiga saling bertemu pandang.

"Iya, tapi Ibu lagi makan siang, maaf ya. Kalian tungguin Ibu."

Jonathan mencoba sabar agar tetap aman dan tentram menghadapi Bu Reni, "Iya Bu, saya bakal setia sama Ibu, nungguin sampai makannya selesai."

'Lagi-lagi jadi penjilat.' Gerutu Jena dalam hati.

Bisa-bisanya Jonathan menjadi penjilat di situasi segenting ini. Padahal waktu istirahat tinggal beberapa menit lagi. Bu Reni pula makannya seperti anak TK, lelet. Ditambah ucapan Jonathan yang membuat guru itu makin menikmati makan siangnya. Memang watak Jonathan yang sok manis di depan para wanita, termasuk dikalangan guru-guru. Bagi para guru yang belum tahu watak aslinya Jonathan yang super duper tengil dan nyebelin, pasti bakal memuja-muja dia karena kegantengannya, kesopanannya, dan keramahannya. Tapi sayangnya itu cuma kedok.

"Bu, makannya bisa dipercepat lagi nggak? Soalnya bel masuk bentar lagi ini." Ucap Jena bernada panik karena sebentar lagi jam pelajaran Biologi.

Meskipun gurunya tak begitu sangar seperti Bu Isma dan Bu Reni, tapi guru Biologi mereka akan langsung mencatat mereka dalam siswa yang tak disiplin, dan tahu apa akibatnya? Barang siapa yang telat, diremedial, tidak sopan dan melakukan pelanggaran dengan guru satu ini, dia tak akan segan-segan menyuruh menulis rangkuman pelajaran satu bab dalam 4 lembar kertas portofolio tanpa grasi jenis apapun.

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang