Bab 20. The Real Julian

11K 851 38
                                    

"Za, gue jadi laper liatin lo tadi." Keluh Jonathan sembari memegangi perutnya. Mengeluh kelaparan karena tadi ia tidak ikut makan bersama Kenza di warung soto.

"Makan tuh bubur rumah sakit, hambar, encer, wueekk...." Kenza menirukan gaya muntah. "Rasain!"

Kenza tertawa puas melihat wajah penuh derita Jonathan, ditambah ia terus memeletkan lidahnya. Mengejek.

Di tengah tawa-tawa dan derita Jonathan, seseorang dari arah ruangan Jena menepuk pundak salah satu diantara Jonathan dan Kenza. Jonathan yang berbalik.

"Bang Ian?" ujarnya heran. "Ngapain?"

Sosok jangkung Julian memenuhi pandangan mereka berdua, dan sebaliknya mata elang milik Julian menatap mereka bergantian. Posturnya selalu sama seperti dulu, dan beberapa hari kebelakang. Tegap. Wangi lemon tercium jelas dari badannya yang sepertinya sudah mandi. Segar. Beda

"Nganterin makanan," jawabnya dengan dagu menunjuk Kenza. "takutnya dia belum makan."

Tapi sayang, orang yang ditunjuk dagu Julian malah tersenyum kecil seraya mengusap-usap perutnya yang sudah terisi. Full. "Buat Jonathan aja, dia belum makan makanan enak dua hari ini."

Langsung saja, sekantung yang berisi lunch box dan camilan berupa snack bungkus dan minuman disambar Jonathan. Membuka salah satu bungkus makanan favoritnya; wafer keju dan melahapnya rakus. Kenza dan Julian—yang jadi saksi kerakusannya—menggeleng dan senyum sendiri. Sudah biasa bila dihadapkan dengan pemandangan semacam ini.

"Apa liat-liat?" sungut Jonathan.

Julian menggeleng dan mengibaskan lengannya, dan Kenza pun sama.

"Gue makannya di ruangan Jena ya...." Pesan Jonathan yang sambil berjalan perlahan, mengharapkan anggukan dari kedua orang di sekitarnya.

"Emang gue minat nyariin lo?" ledek Julian memeletkan lidahnya.

Mata Jonathan mendelik, tak menjawab apapun. Karena dengan cara menatapnya yang seperti itu saja sudah memperlihatkan responnya seperti apa.

Jonathan pergi dengan makanan dan segenap rasa kecewanya. Beralih pada dua orang yang sedang menertawai seseorang tanpa sadar keduanya pernah selek satu sama lain. Tawa itu berjalan beberapa belas sekon sampai Julian berhenti tertawa dan sadar dengan siapa ia tertawa.

"Kenza?" panggilnya tiba-tiba. Membuat tawa cewek itu sejenak terhenti.

"Ya?" responnya. Dua kata saja.

"Apa kita pernah ketawa bareng?" Julian menggaruk tengkuknya, diselingi tawa getir. Tawa yang sebenarnya tak pernah ingin ia perdengarkan pada Kenza.

Kenza menggigit bibirnya pilu. Entah kapan mereka bisa tertawa lepas seperti ini. Berdua. Berusaha memutar sebagian memori yang tersimpan di kepalanya. Itupun sedikit menjadikan bulu kuduknya sedikit-demi sedikit berdiri. Mungkin sewaktu mereka berada di SMA dan forum diskusi yang sama.

"Apa lo ngerasa benci gue setelah itu? Apa lo gak pernah tau sebab gue nolak lo di depan komite OSIS dulu?"

Refleks, Kenza menyandarkan punggungnya di dinding putih yang dingin itu. Menggeleng anggun. Seperti bersiap mendengar sebuah rahasia yang selama ini dipertanyakan dirinya.

"Lo tau," Julian ikut menyandarkan punggung di dinding. "semakin gue deket sama lo, gue rasa lo udah bisa menerima semuanya. Lebih dewasa lah, gitu mungkin."

"Dewasa?" Kenza alis Kenza bertaut.

"Ya. Lo sama sekali nggak keliahatan benci gue meski gue udah ngeliatin sikap nggak suka di depan lo." Tanpa sadar, Julian menghela napasnya. "Waktu makan malam di rumah gue, contohnya. Lo dengan baik hati berpenampilan prima demi makan malam kecil-kecilan itu."

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang