Bab 38. The Show

6.4K 663 68
                                    

Hari ini adalah salah satu hari dari hari yang tak pernah Jena harapkan seumur hidupnya.

Padahal hari ini adalah hari ketika gaun biru Cinderellanya bisa melekat pas di tubuhnya. Padahal hari ini dia akan mendapat predikat baru sebagai pemain drama terbaik karena aktingnya yang benar-benar di luar dugaan untuk seorang pemula. Padahal, hari ini pun impiannya dulu untuk bisa berdansa dengan Jonathan bisa terkabul.

Tapi justru alasan terakhirlah yang membuat dia enggan memulai hari.

Gaun biru indah itu sudah seharusnya dia pakai karena sebentar lagi gilirannya tampil sebagai putri yang cantik akan segera tiba. Tapi ada sesuatu yang besar, yang tak terlihat, namun terasa menyakitkan. Sesak sekali rasanya.

Dia menyibak tirai besar yang menghalangi pandangannya pada penonton. Ada banyak mata yang melihat. Menanti sebuah persembahan yang sebelumnya telah dipersiapkan sebegitu matangnya. Maka ia tak mungkin menghancurkan kerja keras orang lain karena rasa egoisnya terhadap luka.

"Gue harus profesional demi temen-temen gue." Ucapnya pada diri sendiri.

Pun ia mengambil baju yang tergantung itu dan bergegas memakainya di ruang ganti belakang backstage. Apapun yang terjadi, rasa sakit yang ia terima bukan untuk dilawan, tapi untuk dinikmati dan bisa dengan mudah kita terima.

***

Sama seperti gladiresik mereka beberapa waktu yang lalu, ada musik klasik Hungarian Dance karya Brahms sebagai latar suaranya. Namun Doni selaku sang sutradara sedikit mengubah sedikit adegannya menjadi lebih pas. Jena berakting seperti sedang kebingungan di sebuah pesta dansa yang besar. Kemudian ada Jonathan muncul dari belakang panggung didampingi beberapa figuran yang berperan sebagai pengawal.

Saat melihatnya, ia bukannya merasa benci. Namun malah terselip rasa rindu yang berguncang. Rasa benci memang pernah ada, namun seolah lenyap ketika objek kebencian itu hadir.

Dia menghampiri Jena dan langsung mengecup punggung tangannya.

"Maukah kau berdansa denganku?" Kata Jonathan sambil mengangkat pandangannya menghadap Jena.

Jena membungkuk sembari mengangkat rok. "Tentu."

Dia menyambut uluran tangan Jonathan yang terasa hangat. Otomatis, matanya harus menatap wajahnya yang membuat sesak Jena. Dan rasa rindu dan sakit itu tergores lagi.

"Aku menginginkanmu. Jadilah milikku." Jonathan meletakkan lengannya di pinggang Jena. Memulai gerakan dansanya.

Saat Jena menatap Jonathan. Sama sekali tak ada sorot luka di dalamnya. Biasa saja seperti tak terjadi apapun dalam hububgan mereka sebelumnya. Jena merasa rapuh saat mengetahuinya.

Hingga sampai di adegan terakhir, ada adegan dimana Jonathan membuka penutup wajah Jena dan langsung memeluk cewek itu di depan altar. Wajah Jena terlihat sendu, penuh rasa sakit yang menusuk-nusuk ulu hatinya. Gaun pengantin putih yang dipakainya pun sudah tak mempan untuk menyembunyikan lagi rasa sedihnya. Namun ia tetap menahan rasa sakit itu agar tak terpampang di wajahnya. Walaupun sia-sia.

Betapa terkutuklah drama ini bagi Jena.

"Aku ingin kita bahagia bersama." Bisiknya saat badannya merapat dengan Jena.

Praktis, seisi aula penuh dengan tepuk tangan dan sorak-sorai heboh yang menjadi pelengkap akhir kisah cinta yang indah ini. Bahkan ada yang berdiri sambul bersiul keras. Di belakang pun, para kru saling berpelukan karena telah berhasil menampilkan drama ini dengan baik.

Andai saja kalimat itu bukan sekadar dialog drama. Jena ingin lebih.

Jena tanpa sadar menitikkan air mata. Ia sedikit terkejut karena bingung sendiri. Kenapa ia harus menangis begini? Apa yang harus ia tangisi?

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang