Jonathan merasa jantungnya baru saja ditusuk sebuah katana. Sakit. Entah kenapa. Serasa bagian ujung dari katana itu telah merobek jantungnya, membuat darahnya bercucuran tak terhenti. Sungguh, sakit rasanya. Sesuatu seolah berkecamuk dalam hatinya, antara perasaannya yang terus meneriakkan nama Jena dan otaknya yang menolak mentah-mentah nama Jena tersimpan di memori otaknya.
'Gue kan nggak suka lagi sama Jena. Kenapa harus pake baper segala. Cemen lo ah!', Jonathan membatin. Dan semua omongannya tadi dirasa adalah sebuah kepalsuan.
Kedua tangannya terkepal kuat, dan detakan jantungnya makin cepat detik-demi detik. Tapi bukannya jika Evan terus berada di sisi Jena, bukankah makin mudah untuknya melupakan Jonathan. Agar perasaan bersalah karena telah memutuskan Jena tidak terus menghantuinya. Juga supaya Jonathan bisa leluasa untuk menyatakan perasaannya pada Kenza tanpa takut menyakiti perasaan siapapun. Terutama perasaan Jena.
Terdengar suara decitan pintu, membuat Jonathan mengalihkan perhatiannya. Benar, Evan baru saja keluar dari ruangan itu dan dia terlihat sangat sedih. Mungkin karena baru mendengar kabar tak menyenangkan dari kondisi Jena saat ini. Matanya sendu, tak nampak binar kebahagiaan terpancar dari sana. Begitu juga dengan bibirnya, melengkung ke bawah.
"Kok masih di sini?" Evan bertanya pada Jonathan. Bibir tebalnya tak terlihat melengkung, namun alisnnya terangkat sebelah. "Di belakang lo... siapa?" Jari telujuknya mengarah tepat ke belakang badan Jonathan. Seperti baru saja menunjuk seseorang, tapi memangnya ada seseorang yang berdiri di balik tubuhnya? Siapa?
Jonathan memutar kepalanya, hendak menoleh dan melihat siapa orang yang sedang bersembunyi di balik tubuhnya. "Kenza?"
Gadis itu tersenyum lebar dengan mata tertutup. Sesekali melambaikan satu lengannya pada kedua pemuda di hadapannya. "Hai Jo... dan hai-- tunggu," Praktis, matanya terbuka dan membulat sempurna. "Evan? Nggak nyangka kita bakalan ketemu di sini." Spontan, dijabatnya tangan kanan Evan penuh semangat. Tak lupa menaik turunkannya sebagai tanda perkenalan.
"Eh, Kenza?" Tanya Evan balik sambil berusaha tersenyum. Ia harus tetap bisa diam selama tangannya tersebut digerakkan oleh Kenza. "Jenguk Jena juga?" Tangan Evan dilepas oleh Kenza.
Kenza mengangguk beberapa kali, "Iya nih, disuruh sama Bang Ian—kakaknya Jonathan." Lalu tertawa lepas. "Sumpah loh, nggak nyangka kita bakalan ketemu lagi di sini."
"Lo kabarnya gimana? Baik?" Tanya Evan.
Kenza mengangguk kecil, "Syukur, gue masih dikasih kesehatan sama Tuhan. Dan lo, gimana ujian lo?"
"Baik juga, selama ini gue ngerasa nggak ada kendala." Sahut Evan, masih berusaha tersenyum--dan sayangnya, usahanya untuk tersenyum masih terlihat kikuk. "Eh, sekarang gue mau balik ke sekolah lagi nih. Ada gladiresik buat upacara sertijab nanti."
Kedua bahu Kenza turun. "Yah, gladiresik? Padahal gue baru ketemu lo lagi deh."
"Za, si Evan ini kan ketos. Pastinya sibuk lah." Imbuh Jonathan keki. Kedua tangannya terlipat di atas perut, sementara bibirnya cemberut. Baru kali ini dia merasa terasingkan oleh Kenza.
"Oh iya, gue lupa!" Kenza menepuk jidat. "Lo kan suka ngiri sama Evan ya? Lo pernah bilang sama gue kalo Evan ini saingan utama lo di sekolah?"
Evan terkekeh pelan, "Tau aja tuh Kenza."
"Nggaklah bego!" Bantah Jonathan tidak terima. Praktis, punggungnya langsung berbalik ke belakang dan ya... Jonathan punya acara marah-marah sendiri sekarang. "Kenza ini emang hobinya ngarang, lebih cocok jadi penulis!"
Evan tertawa kecil seraya mencolek bahu Jonathan agar pemuda itu mau memaafkan semua candaannya. "Eh, Jo, jangan marah ke gue dong. Sama Kenza aja ya? Soalnya gue mau balik nih, lama kalo harus bujukin lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Novela JuvenilJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...