Suasana di sinibenar-benar sesak pada saat Jena memasuki pintu masuk bandara. Ia berjalan seorang diri saja, meninggalkan Jonathan yang memaksanya untuk masuk duluan karena akan memarkirkan mobilnya di salah satu bagian basement. Dan Jena salah karena langsung saja menuruti perintah cowok itu. Ia kebingungan karena tak tahu kemana arah tujuan Kenza saat ini.
Jena menatap layar LED besar yanglangsung bisa ia lihat begitu melabuhkan langkahnya di sini. Ada banyak destinasi yang tertera di sana, membuat Jena bingung. Tunggu, Pennsylvania? Jika ingin kesana, rute apa yang akan Kenza lalui?
Ada dua tujuan yang mengarahkannya menuju negara bagian itu. Ada Washington DC dan ada New York City, dan kedua timing perjalanan itu pun sama. Jadi, Washington? Atau New York-kah?
Ini menjengkelkan!
Tidak ada waktu lagi untuk memikirkan kemana ia harus melangkahkan kaki. Dirinya pikir, mungkin New York mungkin adalah kota di Amerika yang akan Kenza tuju.
Jenapun berderap secepat mungkin ke tempat pemberangkatan menuju New York. Ya,ia tak terlalu memikirkan resiko jika pilihannya ini salah.
"Panggilan terakhir untuk penumpang tujuan New York dengan nomor penerbangan E411SR diharap segera memasuki pesawat."Panggilan pengumuman itu membuat langkah Jena semakin cepat, sekaligus menambah kepanikan dalam dirinya.
Kenapa pula Jonathan masih saja belum ada di sampingnya ketika situasi genting ini terjadi?
Dengan langkah seribu, kecepatan berlarinya sangat cepat. Beberapa penumpang lain yang kena tubruk Jena mengumpat kecil, tapi Jena tak peduli itu. Hoodienya pun beterbangan kesana kemari, dan sial tali sepatu Adidasnya harus terurai pula.
Tanpa peduli dengan tali sepatu yang sesekali ia injak, cewek itu terus berlari. Sampai pada akhirnya, tubuhnya harus ambruk karena terjatuh. Wajahnya menghantam lantai dengan keras. Beberapa penumpang ada yang hanya mengucap simpati tanpa membantunya, ada yang melenggang tanpa melirik, bahkan penumpang yang mengumpatinya justru tadi mencemooh Jena.
Di detik yang sama, ia ingin menangis sekencang mungkin. Itupun kalau ia sudah tak punya urat malu.
Masih dengan posisi tengkurapnya, Jena terisak pelan. Menyadari kalau keadaannya saat ini benar-benar menyedihkan. Sialannya, tak ada yang membantunya berdiri ketika kedua lututnya mengalami lecet dan memar. Meskipun dengan luka ringan seperti itu, semua ini terasa berat menurutnya.
"Kenzaaa...!!!" Dalam tangisannya Jena berseru. Berharap ada yang akan menoleh dan menghampirinya saat ini, walau ia tahu itu adalah tindakan sia-sia dan membuang tenaga.
***
Sudah beberapa menit kopinya habis diminum. Biasanya, kopi akan langsung memberi dampak yang baik sekaligus menenangkan hatinya ketika pikirannya sedang ruwet. Tapi sekarang sangatlahberbeda.
Kopi di tangannya sudah habis dan pikirannya tetap saja kacau. Terutama setelah Julian mengiriminya pesan LINE beberapa puluh menit lalu. Mungkin itu salah satu faktor kenapa kopi tak bisa mencairkan otaknya.
Julian: Maaf aku gak bs ke sn. Mungkin ada bagusnya kita gak ketemu lg.
Julian: Semoga perjalanannya lancar.
Lagi-lagi ia harus mendesah frustasi melihat hal itu. Maka ia memilih memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan menenangkan hatinya sebelum benar-benar berada di dalam pesawat.
"Panggilan terakhir untuk penumpang tujuan New York dengan nomor penerbangan E411SR diharap segera memasuki pesawat." Sudah ketiga kalinya pengumuman yang sama dikumandangkan. Untuknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Teen FictionJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...