"Jonathan? Lo... ngapain?" Tanya Kenza saat melihat ada Jonathan di balik pintu. Terpampang keterkejutan di binaran wajahnya. "Sejak kapan lo di sini?"
Dunia serasa berhenti begitu saja ketika Jonathan menampakkan wajah sendunya pada Kenza. Ia terkejut. Tentu saja. Siapa yang tak kaget ketika menemukan orang yang menguping pembicaraan kita dan pembicaraannya pun berkaitan dengannya?
Suasana semakin hening ketika Jonathan hanya diam dan menatap Kenza, meminta penjelasan. Ia bahkan tak tahu, penjelasan apa yang akan ia tanyakan pada Kenza.
"Gue harus... nyusul Jena." Kata Kenza sambil menepuk-nepuk bahu Jonathan.
Jonathan yang masih mengenakan kostum pangerannya menghalagi langkah Kenza. Dengan berdiri di depan tubuh cewek itu.
"Lo bisa nggak diem dulu di sini dan jelasin maksud semua omongan lo tadi sama gue?" Pinta Jonathan tanpa intonasi.
"Maaf, tapi ntar Jena-nya keburu jauh."
"Jena nggak bakal pergi kemana-mana, Kenza." Jonathan terus membujuk Kenza agar bisa diam di sini untuk beberapa menit. "Percaya sama gue."
"Tapi gue takut dia keburu... yah kok gue malah ngobrol sama lo sih?" Cewek itu kini menggaruk rambutnya, kesal. Ia pun mengibaskan lengannya. "Lo ngehalangin sih. Udah deh, jangan dibahas dulu."
Dia harus segera berlari mengejar Jena. Masih banyak rahasia tersembunyi dan akan membuatnya tak 100% salah di sudut pandang manapun.
"Hargai gue dikit dong. Gue ini pacar lo." Dicengkeramnya lengan Kenza sehingga Kenza berhenti untuk kedua kalinya.
"Lo... emang pacar gue. Tapi ada hal yang jauh lebih penting dibanding nurutin semua kata lo."
"Jadi apa pentingnya Jena sampe lo nggak mau ngedengerin gue?" Ketus Jonathan. Dingin.
Kenza tak pernah melihatnya seperti ini. Entah ini adalah sebuah kobaran emosi, kekecewaan mendalam, atau bahkan rasa perih menggerogoti hatinya. Dia tak pernah sedingin dan berkata setajam ini pada Kenza.
"Please, gue nggak mau kita debat sekarang." Kenza melepas segala bentuk kontak fisiknya dengan Jonathan.
"Gue nggak mau ngajak debat, Kenza. Gue butuh kejelasan lo doang."
Kepala cewek bersweater itu menggeleng, mendecak pelan. Dirinya yang semula stabil berubah emosi. "Lo nggak pernah dewasa, Jo. Buat kali ini, lo pikir alasan kenapa gue harus ngejar Jena. Lo pasti tau, karena lo dengerin semua omongan kita, kan?"
"Lo nggak pernah mikirin perasaan gue, Za." Desah Jonathan. "Lo nggak pernah ngertiin gue. Lo juga nggak pernah mau tau keinginan gue apa. Gue cuma mau lo...."
Tunggu? Tak pernah mengerti Jonathan? Tak pernah ingin tahu semua keinginannya? Apakah Jonathan benar-benar tak bercermin pada dirinya sendiri? Bercermin dengan apa yang dilakukannya pada semua orang terdekatnya?
Kenza tertawa getir, seiring pertanyaan itu membanjiri benaknya. Ia ingin tertawa lebih dari tawa getir. Itupun kalau Jonathan bisa menolerirnya.
"Sebelum lo tanya itu, harusnya lo mikir dulu deh." Kenza tersenyum miring. "Apa selama ini lo pernah ngerti betapa nggak maunya gue jadian sama lo? Apa lo masih nggak bisa menyimpulkan setelah berulang kali gue nolak lo itu artinya gue nggak bisa bareng sama lo? Sampe kapanpun. Sampe anak ayam lima ribuan punah pun, gue nggak akan cocok sama lo. Itu artinya lo nggak bisa ngertiin gue selama ini.
"Dan lo ngundang gue ke sini juga, apa sih maksudnya? Hah? Lo mau kasih liat ke gue kalo lo bisa mainin hatinya Jena? Gitu? Itupun artinya lo nggak bisa ngejaga perasaan gue."
KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Novela JuvenilJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...