Sore ini, ketika daun kering beterbangan terhempas oleh buaian angin. Ketika di barat sana sudah terlihat warna jingga bersemu merah menyelimuti matahati yang akan kembali ke peraduannya. Dua orang gadis dan seorang pemuda terlihat sedang berdiskusi di teras rumah keluarga Suryokusumo. Ketiganya tampak kalut membicarakan sesuatu. Tidak, tidak ketiganya. Salah seorang dari mereka tampak kalem dan hanya mengamati pembicaraan kedua orang dihadapannya.
Julian terlihat sedang menggulung lengan kemejanya dan menampakkan kulit putih yang ditumbuhi sedikit bulu. Pemuda itu hanya mondar-mandir di depan mobil hitam kepunyaan orang tuanya. Otaknya masih berputar kencang seiring belum tuntasnya ide yang akan diperbuatnya. Jena fikir, Julian tengah membayangkan rekonstruksi rencananya yang sempat dibicarakan kemarin sore. Sedangkan Kenza duduk seorang diri di kursi rotan seraya mengotak-atik iPhone-nya. Hal itu dilakukannya untuk mencegah rasa bosan menghampiri karena dia sedang menunggu Jonathan.
Tepatnya, Jonathan yang nanti akan jadi pasangannya. Bukan, bukan pasangan hidup.
Nampaknya apa yang diucapkan Julian pada Jena sewaktu video call itu benar adanya. Kakak dari Jonathan memang berniat membantunya. Untuk kali ini saja dia melakukan hal yang diluar dugaan. Kata Julian sih apa saja asal Jena bisa dekat kembali dengan adiknya. Sejak kemarin lalu, Julian sempat merundingkan siasat apa yang akan mereka gunakan. Berharap kedua orang yang jadi target operasi mereka takkan mampu menyadari.
Rencananya kali ini adalah reunian angkatan tahun kemarin--angkatan Julian-- yang akan diselenggarakan di sebuah cottage mewah di Jakarta. Jika ini reunian angkatan Julian, itu artinya Kenza pun akan turut hadir di sana. Meskipun masuk kelas akselerasi, gadis itu tetap saja termasuk teman seangkatannya. Dan sekarang rencana Julian adalah...
"Katanya lo mau ngajak Jo jadi pasangan lo di sana?" Kata Julian pada Kenza namun pandangan matanya tertuju pada mobil Range Rover hitam milik orang tuanya. Tante Tia dengan baik hatinya meminjamkan mobil itu pada Julian karena dia anak satu-satunya yang bisa dipercaya. Tak seperti Jonathan.
Kenza terperangah, ia mengalihkan pandangannya dari ponsel. "Iya sih," Kerutan samar muncul di dahinya. "terus kenapa?"
Julian menghela nafas berat, menunjukkan rasa gundahnya. "Gue kagak bisa nyetir, Za. Sedangkan gue mau bawa Jena. Ogah dia kalau naik motor." Kemudian matanya tertuju pada Kenza, berkaca-kaca. "Gue nggak ikut ya, Za?"
"Nggak bisa gitu, Bang. Lo naik motor aja sendiri. Lagian, satu jam lagi acaranya mulai." Desah Kenza. "Nanti gue bilangin sama panitia kalau lo nggak bisa bawa pasangan."
Kebetulan sekali. Di acara reunian ini, setiap peserta diwajibkan membawa pasangannya lawan jenisnya. Mau itu pacar .teman, bahkan orang tua. Maka dari itu, Julian menganggap kalau kali ini adalah saat yang tepat untuk melakukan pendekatan kembali dengan Jonathan. Bagaimana? Kita lihat saja jalan mainnya.
Julian terlonjak kaget, matanya melebar. "Lho, Jena kan ada di sini, udah dandan, masa disuruh pulang?" Dilihatnya Jena malah tersenyum kecil diantara perdebatan mereka. "Ya kan, Jen?"
Jena mengangguk pelan dan jari jemarinya memainkan renda di pakaiannya. Sebuah senyuman manis dikulumnya.
"Hmm, gimana kalau gini. Berhubung si Jonathan mandinya lama banget, gimana kalau gue sama Kenza berangkat duluan?" Usul Julian dengan jari telunjuk terangkat ke udara. Memandang bergantian Kenza dan Jena. Seulas senyum timbul dari kedua ujung bibirnya, tak lupa kedipan mata sebagai simbol kalau rencananya tengah mendekati titik sempurna. Rencana pendekatan Jena dengan Jonathan.
Jena meresponnya dengan ikut tersenyum. Padahal jauh di dasar hatinya, ia bersorak kegirangan lantaran rencananya berhasil. Bahkan IQ berlebih Kenza tak bisa mencium adanya kejanggalan diantara semua ini.
Kenza terdiam sejenak seraya memainkan cincin yang tersemat di jari manisnya. "Oke deh!" Sahutnya.
"Nih kunci mobilnya, Jen." Gumam Julian sambil menyerahkan kunci mobil hitamnya pada Kenza agar melemparnya pada Jena. Kenza melemparkan kunci mobilnya pada Jena dan gadis itu meraihnya dengan baik.
"Siap." Jawab Jena singkat.
Jen mengangguk paham. Julian pun pergi beserta Kenza dengan mobil merahnya.
***
"Aduh, biar apa coba gue ikut acara reunian gak jelas gini. Mendingan gue beli bakso Mas Guntur." Keluh Jonathan setelah mobil yang ia kemudian melaju di jalanan ibukota. Baru saja ia buka bicara setelah tadi cuma memonyongkan bibir tak jelas karena acara membaca novelnya digagalkan oleh Kenza. "Males gue. Ngapain lo ngajak gue sih?"
Kali ini mereka sudah hampir setengah jalan setelah pemberangkatan beberapa menit lalu. Jaraknya tidak terlalu jauh dan mudah dijangkau. Hanya perlu 15 menit dan kau sudah bisa berada di tempatnya. Sebuah cottage yang letaknya berada di tengah perkotaan namun berlandscape perkebunan.
Jena menoleh dan seketika tergelak mendengar Jonathan yang terus mengoceh tanpa henti. "Mau gak sama gue pun lo tetep ikut reuni. Kan diajak Kenza?"
"Tadinya sih gue mau nolak, tapi... ya mesti gimana lagi." Rutuk Jonathan sambil menunjukkan wajah baby face-nya namun pandangan mata pemuda itu masih tertuju ke arah depan menatap mobil lain yang berada di depannya.
"Gak usah sok manis peak!" Jena mencubit perut Jonathan sekuat tenaga dan pemuda itu langsung meringis kesakitan. "Ngomong-ngomong, baju gue bagus nggak?"
Jena memandang sekilas Jonathan lalu tersenyum kecil. Tangannya berkeliaran kesana kemari di dashboard mobil. Berniat mencari benda unik yang mungkin saja bisa ditemukan. Tak lama, dia mengacung-acungkan sebuah CD Maroon 5 keluaran terbaru.
"Nggak." Sahut Jonathan dengan ekspresi pura-pura datar, padahal sedang menahan semburan tawanya. "Kayak orang gila yang suka nongkrong di minimarket depan kompleks." Celetuknya.
Mata Jena membulat sempurna seperti akan keluar dari tengkorak. Kepalanya diputar 90 derajat agar orang di sampingnya ini bisa tahu kalau Jena benar-benar marah. Keping CD yang ada di genggamannya diremas kuat-kuat. "Hanying! Babi lo! Mau dilempar pake CD?"
"Bercanda doang, Jen. Serius amat."
"Nggak lucu, ih! Sekali lagi lo nyamain gue sama orang gila, gue lempar pake CD." Jena mengancam dengan kilatan amarah yang terpancar di kedua manik matanya.
"Hahaha, dilempar CD-nya Jena? Mau banget."
Tangannya praktis terkepal saat kata terakhir Jonathan terdengar dan masuk ke lubang telinganya. "Lo kira gue cewek murahan apa?"
"Gue gak bilang gitu. Gue kan bilang kalau mau dilempar CD sama lo. CD-nya Jena."
"Iihh... Dasar jahat!" Jena memukul tubuh Jonathan sampai sabuk pengamannya lepas.
"Aduh, Jen, bahaya!"
"Bodo! Nyetirnya yang bener dong! Biar gue tetep bisa mukul lo."
"Jena awas trotoar!"
Mobil yang dijalankannya mendadak melaju tak beraturan dan berputar. Sekarang Jonathan tak bisa mengendalikan mobilnya. Mobil lain pun tak bisa mengelak dari tumbukan itu, mereka sama memacu mobil dengan kecepatan tinggi.
BRUKKK!
"Jena lo... aduh..." Erang Jonathan saat merasakan kepalanya membentur setir. Darah segar mengalir dari pelipis kanannya, perlahan sampai Jonathan kehilangan kesadaran.
"Jo... sakit..."
Semuanya menjadi tak terkendali. Semuanya mendadak gelap, dan tak tahu apa penyebabnya. Mereka kecelakaan.
***
Unedited, but at last, I'll edited other parts.
Hai, makasih buat kamu yang udah bersedia baca lagi Jena and Jo. Makasiihh banyak, aku nggak bisa sebutin kalian satu-satu tapi aku senengg...
Buat tukang komen, vote, atau yg masukin JJ ke reading listnya, thank you so much!
Jangan lupa tinggalkan jejak ya....
KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Teen FictionJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...