Bab 31. Cium?

7.8K 642 17
                                    

Senin sore seperti biasa. Jam pulang sekolah selalu datang lebih telat dibanding biasanya. Beberapa kelas sudah kosong karena muridnya sudah mulai pulang ke rumah mereka. Beberapanya ada yang mengikuti ekskul. Dan ada pula yang berniat kerja kelompok.

Ya seperti itulah sekolah. Agak monoton jika memang dipikirkan berulang kali. Selalu sama dan konstan.

Namun ada satu kelas yang semua siswa-siswinya menyiapkan berbagai macam properti dan sibuk mengatur rancangan tata panggung untuk drama. Mereka sangat sibuk mempersiapkan semuanya sampai tak ada salah satu dari mereka yang terlihat santai-santai saja.

Begitu pula dengan Jena yang sedang berusaha menghapal dialog-dialog dramanya sebagai pemeran utama. Sengaja menyendiri di koridor agar dia bisa memusatkan pikirannya.Cukup rumit memang, karena sebelumnya di tak pernah dipercaya untuk dapat peram sebagus ini. Sebenarnya peran ini juga terjadi karena seseorang, jadi... sebenarnya Jena tak pernah dapat peran penting dalam drama apapun.

"Akan ku sediakan beberapa baju yang pas untukmu, Kakak-kakak tiriku." Jena mencoba melatih nada bicaranya agar tidak terkesan dibuat-buat. Sesekali ia berdeham, karena percakapan dengan bahasa kaku seperti itu sedikit menyusahkannya.

"Aku tahu aku memang buruk dalam selera pakaian." Ujarnya lagi. Berdeham. Kemudian mengeluh frustasi karena dia belum bisa melakannya dengan baik.

Sudah beberapa kali dia mencoba membuat ucapannya sealami mungkin namun dengan suara yang lembut. Tapi tetap tidak bisa. Sampai akhirnya ia capek sendiri dan memutuskan duduk di depan air mancur, tak jauh dari koridor tempat tadi dia duduk. Berpindah tempat lagi karena rasanya, konsentrasinya sudah menguap saat di koridor tadi.

Tiba-tiba saja sebuah kertas kecil yang digulung terlihat terlempar begitu saja ke pangkuannya. Membuat cewek itu tersentak kaget.

Melihat bentuk fisiknya, ia jadi ingat beberapa gulungan kertas yang juga dilempar ke arahnya sewaktu upacara beberapa waktu lalu.Sedetik kemudian, pikirannya mengingat Jonathan.

'Semangat! Gue tau lo bisa!'

Perlahan, memori otaknya tersambung pada ingatannya akan obrolannya dengan Kenza. Ya, tidak biasanya Kenza membawa pengaruh baik bagi moodnya setelah itu. Dan, tidak ada salahnya untuk perlahan mempercayai apa yang perempuan itu ucapkan.

"Hei." Sebuah suara dibarengi tepukan ringan di bahu membuatnya kaget lagi. Jena menoleh dan melihat orang itu kedapatan tersenyum.

"Lo kayaknya kaget banget ya?" Tanya orang itu. Ikut duduk di sampingnya.

Jena tak menjawab. Berusaha menenangkan dirinya yang sempat terguncang dua kali. Pertama, saat gulungan kertas itu ada di pahanya. Dan yang kedua, Evan.

"Apaan itu?" Tanya Evan sembari melirik sebuah benda yang sedang dipegang Jena.

"Eh?" Jena terlonjak lagi. Spontan, dia buru-buru memasukkan kertas itu ke saku celananya. Takut Evan akan bertanya-tanya jika tak segera menyembunyikannya.

"Surat cinta ya?" Tanya Evan lagi. Dan kenapa di kala Evan terlihat penasaran begini, malah jadi menyebalkan di mata Jena.

"Bon hutang, Kak."Jawab Jena sekenanya. "Kak Evan rapat OSIS ya?"

Sebenarnya Evan tahu kalau Jena hanya mengalihkan arah pembicaraan mereka, kemungkinan besar untuk menutupi rasa penasaran Evan. Jadi, dia lebih memilih mengangguk.

"Kayaknya aku harus pergi." Jena akhirnya bangkit dari duduknya. Entah kenapa perasaannya serasa berbeda jika ada Evan saat ini. Seolah Evan jadi penghalang."Nggak apa-apa?"

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang