Bab 23. Gugup

8.1K 677 20
                                    

Beruntung sekali kelas ini. Mereka hanya diberi hukuman membersihkan toilet sekolah yang sudah bersih. Mungkin Bu Isma belum tahu, kalau cleaning service sekolah juga selalu mampir ke toilet siswa siswi pada jam sebelum istirahat pertama.

Sehabis acara bersih-bersih tadi, Jena cs merenggangkan otot mereka di kantin sekolah. Mereka duduk di sebuah bangku langganan mereka kalau ke kantin ini. Hanya Jena cs-lah yang bisa bersinggasana di sini. Seluruh siswa di sini sudah punya teritori sendiri untuk berkuasa, jadi tak ada yang saling mengganggu.

Jena menatap sekeliling kantin yang luas ini. Berniat mencari batang hidung Jonathan agar bisa memberi pelajaran karena sudah membuat Jena lelah dan mati lemas. Semua orang harus membantu, karena Bu Isma tak ingin mendengar ada murid XI MIPA 4 yang berhalangan. Namun bocah itu tak nampak wujudnya, sepertinya dia memang sedang tidak di sini. Mungkin merokok di warung milik warga sekitar yang letaknya berada di luar wilayah sekolah.

"Kenapa, Jen? Mau mesen?" Tanya Ghenia tanpa berpaling wajah dari mie ayamnya.

Jena menggeleng, masih memindai seisi kantin. "Gue nyari anak-anak cowok. Kemana ya? Kok belum ke sini."

"Palingan abis dari toilet langsung ke lapangan, main bola. Tapi Wildan pengecualian, dia sibuk-sibuknya rapat OSIS."

"Wildan rajin banget ya." Jena tersenyum, melihat ekspresi syok Wildan saat mendengar mereka sekelas akan dihukum.

"Buat apa nyariin tuh anak cicak. Udah bikin kita dihukum!" Ghenia memberengut menimpali, seperti biasa kalau ada hal yang menurutnya tabu.

Deliandri meletakkan sendok di mangkuk bubur ayamnya. "Nggak usah sok alim kayak Wildan, Ghen. Untung banget kan kita nggak jadi ulangan." Ujar Deliandri meredam luapan emosi Ghenia.

"Iya juga sih, mendingan gue main air di WC ketiban harus ulangan. Gue kan belum belajar, bisa bahaya kalo diremedial." Ghenia manggut-manggut sekarang, baru bisa mengerti bahwa maksud Jonathan itu benar-benar brilian.

"Jonathan emang encer otaknya kalo urusan begitu. Iya kan, Jen?" Tanya Deliandri pada Jena.

"Eh, iya." Jena menjawab gelagapan karena matanya masih sibuk menyapu kantin ini.

"Udahlah, Jen. Mendingan makan dulu, nanti tambah pucat wajah lo." Pesan Deliandri.

Jena lagi-lagi mengangguk setuju dan mulai menyuapkan makanan yang ada di hadapannya.

"Gue ke beli air minum dulu ya." Kata Deliandri. "Lo haus 'kan?"

"Gue ikut ya? Sekalian beli plester." Imbuh Ghenia seraya menunjukkan sikutnya yang memerah karena insiden kecil di toilet tadi.

Jena mengangguk lagi untuk membiarkan kedua temannya pergi.

Sekarang fikirannya harus bisa melupakan Jonathan secepat mungkin dan berkonsentrasi pada sepiring ketoprak yang ada di depan matanya. Dengan malas, ditelannya makanan itu. Entah kenapa, rasanya belum pas kalau belum bertatapan muka secara langsung dengan Jonathan.

Entah kenapa, Jena melihat akhir-akhir ini Jonathan lebih sering memperhatikannya. Ini adalah kesempatan emas bagi Jena untuk meraih kembali hati Jonathan. Meski ia tahu, kemungkinan besar hanya 20 persen. Kehadiran Kenza menutupi semua peluangnya.

Mendadak suasana kantin menjadi senyap. Tadi Jena mendengar banyak sekali suara yang bergema di kantin, namun kini hanya beberapa bisikan saja. Jena tahu, keadaan ini biasanya terjadi saat ada Jonathan. Sepertinya ada yang tak beres.

Pemuda itu muncul dengan seragam yang sudah berlumur keringat. Rambutnya sama basahnya, namun tetap saja keren. Sepertinya benar apa Deliandri, dia sudah pesta sepakbola dengan cowok-cowok lain. Tapi langkah yang ia tuju berbeda, dia tak mengikuti langkah cowok-cowok lain yang duduk di pojok kantin. Memisahkan diri dan menuju tempat duduk Jena. Terlihat dia memegang sebuah lunch box berwarna merah seperti anak TK yang sedang menghadiri acara makan bersama.

Jonathan melangkah ke arah tempat duduk Jena. Dengan malu-malu ia menatap Jena, sepeti hendak meminta izin pada Jena agar bisa duduk di dekatnya, hanya memakai tatapan berisyarat. Terlihat malu untuk mengungkapkannya langsung.

"Mau?" Tawarnya. "Tadi Bang Ian masakin ini, buat lo."

Jena berhenti menguyah ketopraknya dan mengangguk. "Duduk."

"Habisin ya," Jonathan meyodorkan kotak makan itu dan sedetik kemudian suasana berubah canggung.

Hanya bermodalkan komunikasi lewat tatapan dan sedikit percakapan. Jonathan tak bisa bersikap seperti biasanya, seperti di rumah sakit. Beberapa hari lalu seperti selalu ada jalan terbuka ketika ingin bercakap-cakap dengan Jena. Tapi kenapa sekarang malah sesulit ini?

"Lo kan harusnya masih di rumah sakit." Ucapnya lagi dengan mata yang menatap jelas wajah Jena.

"Iya sih, dokter juga nyuruh gitu. Tapi gue maksa, soalnya bosen di kamar mulu." Jena menjawab, sedikit tawa kecil diantara kalimatnya. Tatapannya beralih pada kotak makan warna merah. "Itu isinya apa?"

"Roti bakar kesukaan lo." Kata Jonathan bangga seraya tersenyum. Berusaha agar tidak canggung lagi. "Ya, gosong dikit nggak apa-apa lah. Kalo buatan gue, pasti enak. Ya 'kan?"

Tangan Jena cekatan membuka kotak makan itu dan sebuah garis di bibir muncul ketika melihat isinya. "Lo tau dari mana gue suka selai cokelat kacang?"

"Lo kan pernah bilang. Dulu."

"Dulu?" Jena menyernyit tidak mengerti.

"Maksud gue, waktu kita masih lo pernah bilang suka selai kacang tapi lo alergi kacang." Jonathan gelagapan ketika harus mengatakannya kembali. Masa lalu mereka.

"Oh. Btw, thanks ya." Gumam Jena, ia mengangkat kedua ujung bibirnya membentuk senyuman simpul. Lalu menyuapkan potongan roti bakar itu ke mulutnya.

"Tumbenan lo baik." Cicit Ghenia yang tiba-tiba sudah ada di samping mereka, tak lupa memamerkan muka judesnya. "Lo kayak bangke kalo sok manis begitu."

Jonathan langsung menyembulkan kepalanya mendengar cicitan Ghenia yang membuatnya naik pitam. "Lo kenapa sih sewot mulu kalo ada gue? Gue salah apa sih? Terlalu ganteng?" Balas Jonathan tak mau kalah.

"Lo itu pasti lagi ada maunya sama Jena, ya kan?" Tanya Ghenia bernada curiga.

"Sotoy banget lo jadi cewek! Emang rese lo!"

"Adanya juga resean lo kali!"

"Heh, stop! Lagian kenapa sih malah diributin. Syukur-syukur dong, si Jonathan baik gini." Imbuh Delia menengahi perdebatan mereka bertiga.

"Perang dunia keempat." Jena ikut nimbrung, ia terlihat menahan tawa. "Lagian sirik banget lo, Ghen."

Semua tertawa, diatas penderitaan Ghenia. Sementara Ghenia memberengut, marah-marah lagi dengan bibir cemberut ala Ghenia kalau lagi PMS.

"Gue boleh ikutan?"

Sebuah suara lelaki membuat mereka geger dan memutar kepala. Suara yang khas dan tentu dikenali semua orang. Seorang yang dikenal baik dan menyenangkan.

Evan.

Untuk apa dia di sini? Untuk apa dia hadir pada saat Jonathan berada di samping Jena? Bukannya OSIS harusnya rapat? Sama seperti Wildan.

***

Wish you like it! Don't forget to vote and comment!

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang