Jonathan merapatkan jaket parasut armynya sembari menggigil. Duduk di luar kafe yang tadi alamatnya sudah dikirim Kenza lewat LINE. Kopi hitamnya sudah tinggal ampasnya sejak beberapa menit lalu.
Duduk seorang diri ditemani cahaya tipis mentari sore yang menghangatkan. Meskipun begitu, tampaknya dia salah memilih tempat karena angin berembus begitu kencang sampai beberapa kali hampir menerbangkan taplak meja. Begitu dingin. Ditambah gelayutan awan kelabu yang sedikit membuat suasana menjadi kelam, dingin dan misterius.
Beberapa kali juga pengelola kafe sudah mengingatkan cowok itu agar masuk ke dalam dan mendapatkan suasana yang lebih nyaman. Namun ia bersikeras ingin tetap di sana agar seseorang yang dinantinya bisa lebih mudah menemukannya.
Dia sejujurnya bahagia ketika orang itu mengajaknya bertemu kembali setelah ada perdebatan. Awalnya agak sebal memang, karena telah mendiamkannya tanpa sebab. Tapi sesebal apapun Jonathan padanya, namanya masih tersimpan rapi di hatinya.
"Hai Jonathan." Seseorang membuyarkan lamunannya, ia mengangkat pandangan dari gelas kosong di hadapannya.
Orang yang dinantinya sudah ada di depannya. Mengenakan blouse berwarna merah marun dan diselimuti outer berwarna senada yang terbuat dari wol. Seperti biasa, hidungnya tak pernah luput ditenggeri oleh kacamata dan entah kenapa cewek berkacamata ini malah terlihat berkharisma. Dia melempar senyum tipis yang menenangkan.
"Hai." Balas Jonathan. Dan cewek itu--Kenza--duduk di depannya.
"Udah lama nunggu?" Tanya Kenza. Diam-diam ia mengamati punggung tangan Jonathan yang mencengkeram cangkir kopi. Benar, ada beberapa luka mengering membekas di sana.
"Mau pesen apa?" Tanyanya tanpa mengangkat wajah. Bukannya menjawab, dia malah bertanya kembali. "Enaknya minum kopi kalo menurut gue."
"Ooh..." Kenza terdiam sejenak. "Ya udah deh. Apa aja asal krimernya dikit."
Setelah Jonathan memanggil waitress dan memesankan minuman untuk Kenza, cowok itu kembali terdiam. Wajahnya datar tak berekspresi, bahkan terlihat seperti melamun.
Ia, Kenza, sama sekali tak ingin terjebak di sebuah situasi dimana keadaan dan suasana yang semula ia bangun sedemikian rupa bersama Jonathan berubah menjadi buruk. Kenza tak kuasa jika harus melihat cowok itu terpuruk olehnya. Oleh karena itu ia ingin menjadi obat dari rasa sakitnya. Dengan cara 'lain'.
"Lo berantem?"
"Berantem buat apa? Sama siapa?" Tanya Jonathan, agak ketus.
Kenza menunjuk luka mengering di punggung tangan Jonathan.
"Ini gue jatuh." Jawabnya.
"Di mana?" Kenza sengaja pura-pura tak tahu kenapa Jonathan bisa mendapatkan luka-luka itu. Dia tak mungkin bilang kalau Julian yang memberi tahunya
"He-em. Jatuh di toilet" Ujarnya sambil mengangguk.
"Perasaan nggak nyampe gitu deh. Kalo jatuh di toilet itu paling lukanya berubah warna jadi biru." Sanggah Kenza tak percaya.
"Ini toiletnya istimewa. Gitu." Jonathan terus saja mengelak. Padahal Kenza sendiri sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi pada Jonathan lewat lukanya.
"Lo nggak apa-apa kan?" Kenza bertanya.
"Iya, gue baik-baik aja." Jonathan berusaha meyakinkan Kenza. Kali ini dia tak menundukkan kepalanya lagi, sudah mau melakukan kontak mata dengan Kenza.
Jonathan sepertinya memang baik-baik saja.
"Gue minta maaf buat malem kemarin. Gue kalap banget." Ucap Kenza pada akhirnya. "Gue bener-bener nggak bermaksud buat bikin lo sakit hati."

KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Teen FictionJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...