Bab 14. Sia-sia

11K 910 44
                                    

Jonathan: Gue mutusin Jena karena gue sayang sama lo, Za

Jonathan: Jena cuma pelampiasan gue

Sorot matanya langsung berubah, berhenti menatap beberapa kata yang mungkin akan menambah perih hatinya yang sudah terluka. Perlahan, bulir bening mengalir dari sudut mata Jena. Tak kuasa bila harus menahannya untuk terjun pelan-pelan ke pipinya. Semua itu terlalu sakit bila hanya dipendam seorang diri.

Buru-buru dia memasukkan kembali ponsel terkutuk itu ke tas empunyanya. Berharap Kenza belum kembali dari kamar kecil dan tidak menangkap basah dia yang sedang menyabotase ponsel pemuda tercintanya.

"Jena! Gue udah dapet barangnya!" Ia mendengar Evan berteriak-teriak dari arah pantai sambil menjinjing sebuah kantong kresek hitam. Tak peduli apa itu isinya. Kemudian Jena membalikkan badannya, memandangnya sekilas lalu pergi menjauh.

"Jena! Mau kemana?!" Evan berteriak sekali lagi. Memastikan gadis itu tidak mengalami gangguan telinga dan mendengar teriakannya.

Gadis itu masih ingin bertahan dalam kebisuannya, membiarkan butiran air dari pelupuk matanya mengalir kian deras. Membiarkan pula Evan menyeru-nyerukan namanya berkali-kali.

Entah apa yang difikirkan gadis itu setelah memandang bingung kata-kata yang ada di ponsel Jonathan. Tanpa basa-basi dan berfikir lebih jauh, dia langsung berlari menjauhi kawasan pantai yang sesak dengan ratusan manusia yang turut andil di sana. Mengabaikan seruan Evan yang tak henti-hentinya meneriakkan namanya berulang. Dengan air mata yang sudah menggantung di ujung hidungnya, Jena begitu saja pergi. Tak mempedulikan angin yang menarik ulur tubuhnya agar tidak pergi terlalu jauh, tak mengindahkan rayuan burung yang menyanyikan sebait syair syahdu padanya, juga menepis uluran nyiur-nyiur yang mencoba menahan langkahnya yang makin jauh dari bibir pantai.

***

Hanya karena sebuah isi chatting Jonathan dan Kenza, membuat hatinya tak lagi memendam harapan terlalu banyak untuk bisa kembali memeluk tubuh pemuda penyuka wafer keju itu dari belakang, bahkan mengelus-elus tangan berotot dan berambutnya. Semua itu tenggelam begitu saja. Semua perasaan yang sedang disimpannya harus luluh lantak ditelan kekecewan. Ini bukan seperti peribahasa harimau mati meninggalkan lorengnya, atau perginya abu dari sisa pembakaran. Itu lebih dari yang difikirkan.

Isi pesan itu menyatakan bahwa jelas, Jonathan hanya menjadikan dirinya sebagai pelampiasan hatinya yang remuk karena kepergian Kenza ke Amerika sana. Selama ini pemuda itu sama sekali tak menaruh hati padanya. Selama itu pula Jena menjalani sebuah hubungan yang diiming-imingi kepalsuan. Selama itu pula, pernyataan cinta Jonathan yang melalu telepon itu hanya angin lalu. Sepatutnya dilupakan begitu saja.

Di balkon kamarnya, dia duduk sendiri. Merasakan betapa masalah yang sekecil ini bisa membuatnya jatuh berkeping-keping. Pandangannya kemudian beralih pada ponsel Androidnya yang sama sekali tak ingin disentuhnya. Entah masih trauma karena isi chat Jo dan Kenza, atau hanya malas saja. Tangannya kemudia meraih benda itu dan membuka daftar kontak. Kenza. Dia melihat kontak Kenza beserta nomor handphonenya yang siang tadi sempat ia simpan.

Dia menekan tombol call. Kemudian menempelkan ponsel itu ke telinga. Sebelum nada sambung berbunyi, Kenza sudah menjawab panggilannya.

"Halo." Terdengar suara Kenza yang khas dari ujung sana. Membuat Jena tersenyum getir, sedetik setelah gadis itu bersuara. Suara centil yang dibencinya, suara yang terdengar mengejeknya, Jena benci semua hal yang melekat pada Kenza.

"Kenza..." balas Jena lemah. Seolah niatnya untuk bicara sesuatu pada gadis menyebalkan ini lenyap. Hening agak lama, gadis ini nampaknya berfikir terlalu banyak.

"Siapa?" Tanya Kenza. Nada bicaranya berubah saat mendengar suara Jena yang ada di telepon. Agak mendingin.

"Gue Jena."

"Oh, Jena. Ada apa?" Sahutnya dingin. Nampaknya, saat ini Kenza tengah mengoceh tentang Jena yang meneleponnya dengan nomor telepon hasil curian dari ponsel Jonathan.

"Gue boleh tanya sesuatu sama lo?" Tanya Jena, seraya menghisap lebih dalam rokoknya, kemudian mengepulkan asapnya.

"Apa?"

"Apa hubungan lo sama Jonathan? Jawab jujur, Za."

"Oh itu, hehehe," Kenza malah tertawa getir, sebagai tanggapan awal dari pertanyaan Jena. Semua itu sangatlah membingungkan. Terdengar klise memang, dia yang jelas memiliki sebuah kesalahan tentu akan merasa gugup jika diminta mempertanggung jawabkan apa yang ia katakan. Lalu, ia menghela nafas panjang. "Udah gue bilang, kalau gue sama Jonathan itu nggak lebih kayak temen."

"Gue minta lo jawab jujur, Za." Ketus Jena, jarinya melempar puntung rokok yang tinggal beberapa senti ke sembarang arah. Kemudian mengaitkan tangannya ke besi balkon. "Gak perlu basa-basi."

"Jen, sebenarnya apa yang membuat lo membuat pernyataan yang sama sekali gak diketahui buktinya? Apa dasar dari lo menyimpulkan semua itu? Apa lo mikir kalau gue itu perusak hubungan lo sama Jo? Gitu?" Tegas Kenza panjang lebar layaknya sebuah pembelaan di sidang kasus seorang pembunuh.

Jena menggigit bibir bawahnya, menandakan dirinya sendiri bingung dengan pernyataan yang ia buat tentang hubungan Kenza dan Jonathan. Senyap sejenak, ia berkemul dalam fikirannya. Membuat ia kehilangan kata-kata agar Kenza bisa mengakui hubungan yang masih semu itu.

"Jena?"

Dia terperanjat sesaat setelah Kenza memanggil namanya. "Eh, i-ya?"

"Boleh gue tutup teleponnya? Gue masih ada banyak urusan."

"Iya, Za. Maaf ganggu waktunya."

Klik! Jena menutup teleponnya sesaat setelah bicara untuk terakhir kalinya. Handphone Androidnya langsung dibanting ke arah kasur ukuran king size yang menempati kamarnya.

Dia kembali meraih sebatang rokok kemudian menyulutnya. Entahlah, ia tak terlalu memilikirkan apa yang Kenza katakan. Percaya atau tidak, itu sama sekali tak berpengaruh pada grafik nilai ulangan Kimianya. Mungkin tepat bila ia melupakan Jonathan dan fokus pada ada di depannya. Lebih baik lagi kalau ia menerima apa yang sudah Tuhan sajikan untuknya.

Kali ini dia berfikir tentang Evan. Evan yang penuh dengan sejuta pesona, Evan yang baik hati dan romantis. Dan tentunya, Evan yang takkan pernah berpaling daru satu hari ke hati lainnya. Evan mungkin tipikal orang yang setia.

Tak seperti Jonathan.

***

Aaaa... kok gini ya? Lanjut atau nggak?

Vomment dong ya :)
Maaf kemarin gak update guys, semoga sukaaa

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang