Suara air yang memantul dari wastafel membuatnya terhenyak sesaat. Toilet sedang sepi saat itu, jadi ia bisa bebas berlama-lama melihat aliran air keluar dari keran tanpa takut ada orang yang akan menegurnya. Petugas cleaning service pun sudah pergi setelah menunaikan tugasnya. Tinggallah Jena sendiri yang sedang tertunduk lesu denga kedua tangan bertumpu di pinggiran wastafel.
Dibasuhnya air itu ke mukanya. Lalu cewek bermata cokelat ini melihat pantulan dirinya yang benar-benat terlihat menyedihkan saat ini. Payah. Demikian kata-kata itu terus menghantui pikirannya. Memikirkan kata-kata bodoh yang baru saja membuatnya harus memanggung konsekuensi yang tidak main-main.
Sekarang dia berpikir lagi, lebih matang agar dirinya tak lagi salah persepsi dengan ucapannya sendiri. Coba sekarang pikirkan, apakah Jonathan akan memikirkan kata-katanya? Apakah Jonathan akan benar-benar menciumnya setelah Kenza selalu terpatri dalam benak cowok itu? Bahkan, apakah ia akan bersedia beradu acting dalam drama kelas mereka nanti?
Tidak. Sepertinya tidak. Cowok itu takkan senekad itu kalau dia memikirkan Kenza. Lagipula, untuk apa berharap lebih pada orang itu?
"Sadar Jena... jangan baper melulu." Jena menepuk-nepuk pipinya dan mencoba menyugesti pikirannya dengan caranya sendiri. "Sekarang ayo ke kelas lagi, cegukannya udah berhenti,terus belajar biologi!"
Jena tersenyum mantap dan menatap pantulan dirinya di cermin. Tangannya sigap memutar keran itu, menghentikan laju air yang terus keluar. Memantapkan hati untuk berjalan menuju kelasnya yang berjarak cukup dekat dari toilet putri.
Jena hanya tak tahu kalau ia hanya mencoba menghibur dirinya sendiri. Ada sesuatu yang tak pernah ia sangka sebelumnya.
***
Cewek itu berjalan ceria menuju kelasnya. Bersiap mendiskusikan esai biologi yang telah dibuatnya dengan murid lain. Membayangkan dirinya bisa berdebat debgan tenang karena mengingat 'cowok itu' takkan bisa menikmati waktunya di kelas lagi karena alasan kekomplitan buku.
Dan ya. Terlihat Jonathan sedang memotret sesuatu di koridor depan kelasnya menggunakan fitur kamera di ponselnya. Matanya serius membidik sebuah objek yang ada di pot bunga. Terlihat bodoh, begitu pikir Jena.
Ia tak ingin bicara apapun selain bersenandung ria karena Jonathanjuga pasti tidak berniat menoleh ke arahnya. Jadi ia langsung menyentuh kenop pintu dan segera masuk ke dalam kelas.
Tapi...
"Buat apa lo masuk ke kelas, Jen?" Tanya Jonathan dengan nada datar, matanya tetap fokus pada objek yang sedang difotonya.
Jena terhenti sepersekian detik kemudian, urung memutar kenop pintu yang sedang digenggamnya.
"Lo kan nggak bawa buku catatan, 'kan?" Tanyanya lagi. Kini dia beranjak daeri posisiberjongkoknya dan mulai melangkah ke arah Jena. Terlihat menyeringai.
Cewek itu merayap ke tembok, menjauhi pintu dan mulai berjaga-jaga. Melihatnya, seringai Jonathan kian lebar lagi. Dan Jena terpojok sekarang. Memang benar. Untuk apa ia ke kelas toh ia sekarang ingat kalau bukunya tak ada dan Bu Wanda pasti akan menghukumnya tanpa ia minta sekalipun.
"Kita kompakan banget ya? Kayaknya kita emang jodoh." Jonathan tertawa kecil, dan entah kenapa cowok itu malah terdengar menakutkan di telinga Jena.
"Mau lo apa sih?!" Pekik Jena. Sadar, cowok itu kini mulai merapatkan diri ke arahnya, sehingga jarak tubuh mereka kian menipis.
Embusan napas Jonathan terasa membelai kulit wajahnya. Dalam lubuk hati terdalamnya, Jena memang mengharapkan ini terjadi lagi. Tapi kenapa saat ini seperti ada sesuatu yang membuatnya harus memberontak sesegera mungkin.
"Lo tadi bilang mau nyium gue?"Dia terkekeh, dan memajukan tubuhnya lagi.
Jarak mereka tinggal beberapa senti lagi, dan bibir Jonathan sudah bisa ia bayangkan jika dia menciumnya. Jena memejamkan matanya, antara takut, malu, dan geli. Bercampur.
Mungkin beberapa detik lagi mereka sudah berciuman.
Tapi...
Brukk...
Dengan sisa tenaganya, Jena berhasil mendorong cowok itu. Hingga Jonathan jatuh terjungkal dengan posisi yang sulit untuk digambarkan. Saking terkejutnya Jena.
"Gue... nggak bisa.... Gue nggak bisa...." Jena gelagapan seraya menormalkan kembali napasnya yang memburu.
Jonathan, masih dengan posisi semulanya tidak berubah marah. Dia tertawa kecil dan mencoba bangkit kembali. "Gue tahu kok, lo belum siap karena lo masih marah sama gue. Gara-gara apa sih? Waktu barbeque?"
Gue cuma nggak mau halangin lo sama Kenza!
"Apa lo nggak nyaman sama perlakuan gue yang kurang baik?" Jonathan menaikkan sebelah alisnya.
Lo terlalu baik sampe bikin gue baper, Jo.
"Gue tahu lo nggak bisa jawab itu sekarang. Makanya, kita mulai lagi dari awal." Jonathan berkata dengan mantapnya.
Mata mereka saling beradu, melontarkan tatapan yang membuat mereka penasaran satu sama lain. Yang satu, tak mengerti. Dan yang satu, mencoba mencari setitik harapan untuk kembali. Keduanya hening dalam diam.
"Eh, tadi gue yang ambil buku lo. Maaf." Dia tersenyum lagi. Begitu manis. Sampai Jena tak bisa berkedip."Latihan drama juga mulai Senin depan. Gue... nggak sabar."
Dia tersenyum lagi. Dan Jena tak bisa memungkiri kalau ia juga ingin balas tersenyum. Tersenyum bahagia. Jena tahu apa maksud dari Jonathan mengambil bukunya dari bawah mejanya. Ia... hanya ingin dihukum bersama Jena. Dan itu... membahagiakan.
Rasanya, Jena mulai menemukan kehidupannya lagi.
***
Seorang perempuan baru saja turun dari mobilnya yang sengaja ditepikan di pinggir jalan. Dia sama sekali tak beniat berkunjung dalam tempo yang lama. Hanya ingin menyampaikan kata-kata yang menurutnua memang patut untuk 'orang itu' ketahui.
Syal ungunya ia lingkarkan di leher. Menutupi leher jenjangnya dan mencegah agar rambutnya tak berterbangan lagi, karena rambutnya saat ini memang takingin diikat. Dia tampil berbeda dari yang biasa orang lain lihat. Pada intinya, inilah sisi lain dirinya yang selalu ingin ia tunjukkan pada orang lain.
Dia mulai memasuki halaman rumah yang lumayan luas. Indah dan mengejutkan karena rumah ini dibatasi oleh pagar tinggi yang ternyata menyembunyikan sesuatu yang indah di dalamnya. Sedetik kemudian, dia sudah menemukan'siapa' yang sedang ia cari.
Orang itu asyik membaca bukunya. Buku novel tebal terjemahan yang sama sekali tak pernah ia sukai. Wajahnya tersapu angin yang sesekali menerbangkan rambut ikalnya.
Tanpa ragu, dia mulai menghampiri orang itu. Awalnya orang itu memang sudah menyadari kehadirannya dengan berdiri dengan novel yang dipegangnya. Wajahnya sedikit kaget, karena sebelumnya, kehadirannya memang tak pernah diduga.
Dia tersenyum manis ke arah orang itu dan menjabat tangannya. Seperti biasa, mencoba mengendalikan keadaan.
"Aku datang ke sini mau kasih tahu kamu sesuatu, Jen. Tentang Jonathan!" Ujarnya berseri-seri.
"Ah, persis kayak dugaanku." Ujarnya lagi.
Tanpa dipersilahkan, dia langsung duduk mulai menarik napas. Orang itu pun sama, mengikuti apa yang dilakukan orang di sampingnya.
"Jadi...."dia bercerita penuh semangat. Dan Jena hanya terdiam, mendengarkan. Sesekali darahnya berdesir, membayangkan dan mempertanyakan lagi ucapannya pada otaknya.
Orang itu benar-benar menemukan kebahagiaannya lagi.
***
Update lagi yaa...
Bagaimana? Seru? Penasaran? Atau bahkan bosan?
Terserah sih, yang pasti babak percintaan mereka akan segera memuncak! I can't wait this! Leave your vote and comment , fellas!
Sincerely
Ine

KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
TeenfikceJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...