"Gue mau to the point aja, oke?" Kenza berkata tenang.
Jonathan mengangguk seraya melipat kedua lengannya di dada. Ekspresi cowok itu terlihat normal-normal saja, seperti biasanya. Tak terlihat canggung.
"Gue tadinya mau bilang hal ini sore tadi. Tapi, gagal karena gue terlalu takut dan cemas sama Julian. Dan mau lupain aja semua urusan ini habis nulis surat yang ada di pot bunga rumah gue. Lo udah baca?"
Jonathan mengangguk, kemudian mengimbuh. "Oh, Julian bilang dia nggak bisa datang ke rumah lo karena dia sibuk."
Kenza terdiam sejenak. Dalam hati menepis apa yang baru saja Jonathan ujarkan. Mengingat isi chat dari Julian tidak persis dengan apa yang baru saja dilontarkan Jonathan. Mungkin Julian hanya tidak ingin memperumit keadaan.
"Ah iya, gue tau kok." Kenza berusaha tersenyum.
"Lo mau bilang apa? Maaf gue potong tadi." Jonathan menggaruk tengkuknya.
"Gue cuma mau bilang maaf, soal akhir-akhir ini. Gue nggak ngasih kabar lo sama sekali. Gue... cuma mau menenangkan diri." Ujar Kenza sambil menundukkan padangannya.
"Gue ngerti."
"Gue juga mau minta putus sama lo. Kayaknya kita udah nggak bisa bareng lagi, Jo."Kenza masih menunduk. "Kali ini gue mau kita berdamai, menerima apa yang udah terjadi. Gue terlalu menyalahkan lo, dan... gue baru sadar ternyata selama ini gue juga salah."
Berat sekali mengatakan semua ini bagi Kenza. Selama ini, memang, dia hanya bisa memojokkan Jonathan tanpa berpikir sesuatu yang salah pada dirinya.
"Gue maunya kita bisa hidup lebih dewasa lagi dalam memutuskan sesuatu, untuk ke depannya." Manik mata cewek berlensa itu beralih menatap Jonathan. "Lo ngerti maksud gue, kan?"
"Iya, setidaknya gue tahu kalau maksain kehendak itu emang nggak ada bagus-bagusnya." Jonathan tersenyum kecil. "Gue pun sama, Za. Gue mau hubungan kita berakhir damai. Dan kita jadi teman lagi."
"Bagus deh, kalogitu." Ujar Kenza, menepuk-nepuk bahu Jonathan. "Satu hal lagi, dan lo harus banget ngelakuin ini."
"Apa?"Kedua alis Jonathan menyatu, penasaran.
"Lo... harus bisa dapetin Jena lagi. Harus bisa jadian sama dia. Gue yakin, kalo lo berdua itu emang nggak bakal bisa dipisahin." Kenza menjawabnya dengan penuh semangat."Lo sayang sama dia, 'kan?"
Sayang, Jonathan tak sesemangat itu ketika disarankan harus melakukannya. Ia merasa tak layak lagi untuk semua ini.
"Kata Julian, lo harus kabarin dia kalo udah sampai di sana." Jonathan mengalihkan alur pembicaraan dengan pesan Julian untuk Kenza.
"Hah?" MataKenza mengedip beberapa kali, dan menunjukkan wajah tak percayanya. Jonathan berhasil.
Jonathan memang selalu pandai mengalihkan arah obrolan.
"Cek chat." Jonathan tersenyum penuh kemenangan. "Dia kayaknya emang pengin ngasih kejutan sama lo."
Tapi di saat Kenza akan mengeluarkan ponselnya, Jonathan menepis lengannya. Menatap Kenza jengkel.
"Liat chat nanti, itu Jena kasian nungguin. Kalo lo main ponsel dulu, keburu pingsan deh Jena."Gerutu Jonathan sembari melengos pergi ke tempat mereka berdiri tadi.
Dengan pasrah, Kenza memasukkan lagi benda kotak itu. Menyusul langkah Jonathan dengan tergopoh-gopoh. Padahal dalam hati ia sudah tak sabar melihatnya. Dan... sedingin apapun Julian pada Kenza, ternyata dia masih peduli padanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Dla nastolatkówJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...