Sudah dua jam lalu Jena menghabiskan detikdan menitnya bersama seseorang yang sedang memainkan gitar untuknya. Untuk yang kesekian kali, Jena bersenandung pelan karena mengetahui sedikit lirik dari lagu ini. Walaupun begitu, orang di sampingnya tak keberatan jika harus mendengar suara Jena yang cempreng bernyanyi.
"Tuh kan, suara aku emang jelek, Kak Evan!" Jerit Jena sambil memukul pelan gitar yang ada di pangkuan Evan.
Cowok itu tak menyahut, malah tertawa lalu melanjutkan irama gitarnya yang sama sekali tak beraturan. Beberapa saat lalu sempat ada anak-anak dari bangsal sebelah yang ikut bernyanyi bersama mereka. Tentunya bukan lagu cinta atau lagu bersyairkan makna untuk orang dewasa. Tapi lagu anak-anak.
"Tapi anak-anak suka lho, Jen." Kata Evan beberapa saat kemudian, setelah meletakkan gitar berpelitur itu di samping tubuhnya. "Mereka sampe nyebut-nyebut nama lo."
"Iya, kan nyanyinya lagu anak-anak." Jena menggerutu sebal, berkacak pinggang dan memonyongkan bibirnya sebisa mungkin.
Evan tak mencicit lagi, memilih diam dan memikirkan sesuatu yang selama ini mengganjal di benaknya. Seketika menatap wajah Jena yang tertutupi anak rambut, ditiup angin sore. Dia menoleh dan tersenyum, manis sekali. Ketika senyuman itu terpatri jelas di wajahnya, ia benar-benar bertekad untuk mengatakannya. Sekarang.
"Hai Jena..."
"Kak Evan..."
Mereka sama-sama memanggil satusama lain. Dalam waktu yang sama. Sungguh kebetulan yang sangat tepat.
"Kak Evan dulu." Ujar Jena, sejenak ia menunduk malu karena insiden kecil ini.
"Ladies first," seloroh Evan, seraya menggaruk tengkuknya. Gugup.
"Ah malu, Kak Evan aja deh." Jena mengibaskan lengannya, mempersilahkan Evan untuk memulai terlebuih dulu.
Ah, baiklah. Evan mendesah bimbang sambil menyesuaikan situasi yang ada. Angin sore yang sepoi-sepoi menelisik kalbu, semburat jingga terpancar di sebelah barat, dan juga burung saling berkejaran, terbang melawan sang angin. Keadaan ini... memang cukup romantis.
'Jen, sebenernya gue suka sama lo. Dulu sih sebenernya juga iya, tapi lo tiba-tiba ngejauh. Dan... jadian sama Jonathan. Tapi lupain masa lalu, karena lo udah putus sama dia. Jadi, apa lo suka juga sama gue?'
Kalimat itu sudah ia susun jauh-jauh hari, tak terhitung jumlah harinya. Ia menyentuh dadanya, dan berniat untuk mengatakan separagraf bait-bait pernyataan suka itu dengan satu tarikan napas.
Satu... dua...
"Eh, Kak Evan!" sela Jena. Lima jarinya terpampang persis di depan wajah Evan, menahan separagraf itu di kerongkongan Evan. "Aku dulu deh, soalnya aku geregetan pengin bilang ini."
Hufftt... Evan mendesah pelan. Napasnya juga naik turun. Agak sedikit kesal karena persiapannya sejauh ini sedikit lagi bisa gagal karena omongan Jena. Akhirnya, ia tersenyum. Mengisyaratkan dengan gerakan tangan agar Jena bisa memulai percakapannya.
"Aku. Tadi. Jonathan. Iiihhh... pokoknya." Jena tampak memilin jemarinya,terlihat gugup.
"Apaan?" tanya Evan tak sabar. Juga sedikit kesal karena nama Jonathan baru saja keluar dari mulut Jena. Itu artinya ada 'sesuatu'.
"Kita tadi padahal cuma ngobrolin pelajaran doang. Tapi kok ya... aneh. Gitu." Bukan hanya memilin jarinya, tapi kini Jena makin terlihat gugup sambil menggigiti bibir bawahnya.
"Gitu?"
"Trus dia juga pernah bilang kalo sebenernya dia masih sayang sama aku, waktu itu di bukit belakang rumahnya. Aduh...." Jena menghentikan pembicaraannya yang sudah terlalu intim, ia membekap mulutnya dengan kedua tangannya. "Harusnya Kak Evan nggak denger curhatan sampah aku." Sambungnya penuh sesal.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Teen FictionJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...