Bab 34. Telepon

6.8K 653 49
                                    

"Ini tisunya, Yan." Ujar Kenza seraya memberikan selembar tisu untuk Julian.

Kedai ramen ini adalah kedai ramen pertama yang pernah mereka kunjungi.Mereka sedang duduk di sebuah meja di dekat jendela. Memilih tempat ternyaman jika niatan ke tempat ini tidak hanya sekedar makan.

"Makasih." Julian menerima tisunya kemudian mengelap bibirnya yang berminyak. "Kamu mau ngomong apa?"

Kenza menghentikan gerakan sumpitnya, kemudian meletakkan sepasang sumpit itu di atas meja. Jika Julian sudah bertanya begitu. Maka saatnya Kenza harus menjeda acara makannya.

"Soal Jonathan waktu itu,Yan." Tuturnya dengan pandangan kosong. "Aku makin bingung sama dia."

"Dia bikin bingung kenapa emang?"Ujar Julian setelah menyeruput ramen ke dalam mulutnya.

"Dia nembak aku."

Julian mendadak saja tersedak oleh ramen yang sedang ia kunyah. Begitu kaget sampai dia terbatuk-batuk. Cewek di sampingnya bergegas memberikan segelas jus alpukat miliknya. Dan Julian berhenti membuat panik setelah napasnya berangsur normal.

"Udah enakan?" Tanya Kenza khawatir.

Julian mengangguk, menaruh jusnya kembali. Setelah keadaannya stabil, Julian mulai bicara lagi. "Dia nembak kamu?"

Kenza mengangguk. "Iya."

"Itu bocah kenapa nekad banget sih?" Julian menggaruk bagian belakang kepalanya.

"Trus dia nggak apa-apa sekarang?" Tanya Kenza.

"Dia pulang besoknya, aku kira dia nginep di rumah Valdian. Tapi badannya pada bonyok, Za." Jelas Julian tanpa memandang Kenza karena dia sudah asyik makan ramennya lagi.

"Kok bisa? Padahal sepulang dari rumahku, dia nggak apa-apa."

"Dia bilang jatuh waktu di toilet di rumah Valdian. Tapi masa ada banyak lukanya?" Tambah Julian lagi, membuat Kenza makin khawatir dengan kondisinya. "Tapi waktu kemarin aku denger dari kamarnya, dia lagi telponan sama Jena dia baik-baik aja."

"Darimana kamu tau kalo itu Jena?"Kenza bertanya, sorot matanya intens. Kini dia malah terlihat seperti jurnalis yang sedang mengorek informasi penting dari lawan bicaranya.

"Orang diloudspeaker, ya aku jadi tahu." Julian mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Kamu kok malah perhatian sama dia sih?"

"Cemburu?"Goda Kenza seraya mengerlingkan bola mata.

"Kamu pasti ngerti."

"Aku cuma khawatir sama dia. Aku takut dia kenapa-kenapa, nanti dia ngelakuin hal aneh lagi dan aku nggak mau jadi penyebabnya, Yan." Kenza menundukkan pandangannya.

Julian mengerti apa maksud Kenza. Berada di posisinya memang teramat berat, rumit dan juga berbahaya. Akan ada masalah besar dari kesalahan sedikit saja. Baik Kenza maupun Julian, tak ingin ada hubungan yang rusak karena itu.

Kini Kenza menatapnyan penuh pertanyaan. Tentang hal yang selama ini ia takutkan. "Menurut kamu dia bakal nyerah?"

Julian mengangguk, turut membalas tatapan Kenza. "Ya, ini soal waktu. Perlahan tapi pasti, dia bakal lupain kamu."

"Gimana kalo prediksi kamu salah?" Kenza bertanya sekalilagi dengan nada pesimisnya.

"Ya... kita harus ngalah." Julian tak bergairah ketika mengeluarkan kalimat itu dari ujung pita suaranya.

"Ngalah? Maksud kamu kita--"

"Iya. Tapi sejujurnya aku nggak mau ngorbanin perasaan kamu demi dia. Tapi aku mau kamu ngelakuinnya karena 'kita'"

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang