Langit begitu cerah malam ini. Bintang dengan indah berpendar di angkasa raya, sesekali berkedip memamerkan cahayanya yang indah. Rerumputan ikut bergoyang tertiup angin, menimpa sebagian wajahnya yang sedang disirami sorotan cahaya rembulan. Suara-suara binatang malam tak henti berorkestra menemani mereka berdua. Yang anteng menyambungkan pola-pola letak bintang menjadi rasi yang aneh.
Salah satunya yang memakai kacamata tertawa renyah setelah Jonathan menyebutkan kalau bintang-bintang yang sedang ia tatap membentuk wajah si kacamata. Tertawa karena memang terdengar konyol.
Kenza—si kacamata—bangkit dari posisi tidurannya. Berhenti tertawa dan mulai memikirkan sesuatu. Terdiam dan sekarang terlihat layaknya orang yang sedang melamun.
"Ada apa?" Tanya Jonathan, kini dia ikut-ikutan duduk. Memeluk betisnya yang telanjang.
"Harusnya kita pesta barbeque sekarang. Ada Bang Ian, lo, dan... Jena." Jawabnya seraya memandang jauh barisan rumah-rumah penduduk. Memandang kosong.
Bukit itu seolah selalu menjadi tempat terakhir yang paling menenangkan setelah kamarnya. Memang indah memang kalau memandang bukit yang selalu jadi favorit Jonathan yang ada di belakang rumahnya. Apalagi malam ini langit benar-benar menyajikan pemandangan yang luar biasa. Bisa leluasa menatap rumah-rumah dengan macam-macam lampu dan jika dilihat dari atas sangatlah mengasyikkan.
"Itu cuma pesta kecil-kecilan, Za." Jonathan menghela napas, beralih menatap Kenza dengan sorot mata menyejukkan. "Lagian Julian emang lagi sibuk."
"Gue bukan nyinggung soal Bang Ian kok." Sergah Kenza. Terlintas lagi raut wajah Jena yang berubah mendung ketika berpapasan dengannya siang tadi. "Soal Jena."
"Jena?" Jonathan bertanya tanpa intonasi karena memang tidak mengerti kenapa Jena bisa tiba-tiba membatalkan rencananya untuk ikut barbeque party, padahal tadi dia sangat semangat sekali.
"Ya. Lo mungkin liat tadi."
"Liat apa?" Jonathan masih belum mengerti.
"Ya, yang tadi."
"Tadi apanya?"
"Jena."
"Jena?"
"Tau ah, makin bego ngomong sama lo." Kenza mendengus meladeninya. Cowok memang tidak pernah peka dalam urusan cewek.
Padahal tadi jelas-jelas Jena menaruh wajah tak sedap saat tahu kalai ia juga akan ikut dalam pesta kecil itu. Seperti ada dinding transparan yang membatasinya untuk bertanya lebih lanjut tentang alasan Jena bersikap seperti itu padanya. Apa jangan-jangan ia masih memikirkan soal dress biru?
"Tapi Za," celetuk Jonathan tiba-tiba saja. Pada waktu yang tidak pas. "gue seneng Jena bisa bersikap kayak biasa. Kayak nggak sungkan waktu gue ajak kesini. Kan biasanya cewek kalo sama mantan itu suka agak gesrek."
"Biasa kayak gimana?" Kenza memiringkan kepalanya menghadap Jonathan.
"Ya biasa gitu. Nggak baper kalo deket-deket sama gue." Jawab Jonathan enteng. Apa adanya.
"Bagus dong kalo dia nggak baper. Artinya dia nggak ngehalangin lo kalo mau deket sama yang lain." Kata Kenza bijak. Seperti sudah biasa menghadapi pertanyaan seputar orang yang bingung tentang perasaan, macam Jonathan. "Jena mantan yang baik."
"Tapi kalo dia nggak baper lagi, berarti gue kehilangan predikat sebagai orang yang dicintai dong."
"Ngomong apaan sih lo?"
"Jena itu bapernya suka sama si Evan."
"Evan mana?"
"Evan Dimas!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Fiksi RemajaJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...