Bel pulang sekolah berbunyi, menggema di seluruh penjurusekolah. Jadwal pulang hari ini tak terlalu sore. Hanya sampai jam 12 siang saja. Karena biasanya sehabis acara HUT, kegiatan belajar sekolah kadang dibebastugaskan.
Dan hari ini Jena bisa menghela napas lega, tinggal pergi ke halte bus, naik bus dan pulang seperti biasa.Simpel. Setelah guru matematikanya keluar kelas, ia hanya inginlangsung pulang untuk membaca beberapa drama Shakespearenya. Maka ia mulai berjalan menyusuri koridor menuju halte bis tanpa peduli pada teman sekelasnya yang sedang sibuk sendiri.
Sudah ada rencana kalau sehabis pulang sekolah, seluruh teman sekelasnya akan memberi kejutan pada Jonathan. Ya, mereka akan memaksa besuk karena pada hari ketiga cowok itu sakit. Jonathan melarang teman sekelas untuk menjenguknya.Jena pikir, sebabnya adalah Jonathan malas berbicara ini-itu soal sakitnya.
Dan yang pasti tanpa dilarang pun, Jena sudah berencana takkan datang. Kenapa? Tak usah bertanya penyebabnya setelah kalian membaca bagian-bagian sebelumnya dari cerita ini. Pasti kalian sudah bisa menyimpulkan alasannya.
Apapun yang terjadi, Jena harus mengupayakan segala cara agar ia tak bisa melihat sosok itu. Lagi.
Tapi sebelum ia benar-benar melangkah ke halte yang jaraknya beberapa puluh meter, seseorang menghalangi langkahnya. Menghalangi Jena tepat di depannya. Wajah garangnya terlihat sekalidibuat-buat.Matanya melotot seperti akan keluar dari tengkorak.
"Eh, Ghen?" Jena terkesiap karena orang yang menghalangi jalannya saat ini adalah Ghenia.
"Lo mau ikutbesuk Jonathan, kan?"Tanya Ghenia, mengangkat sekilas dagunya."Sekelas mau ke rumahnya lho, Jen."
"Besuk Jonathan?" Jena mengerutkan keningnya.Pura-pura tidak tahu.
Ghenia mengangguk.
"Kapan besuknya?" Jena bertanya lagi.
"Sekarang. Tapi kumpul di parkiran dulu."
"Jonathan sakit apaan emang?"
'Udah tausakit gara-gara patah hati, Jen. Masa masih pura-pura bego?', batin Jena.
"Nggak tau." Ghenia mengangkat bahu. "Tapi Jen, ikut yuk. Masa nggak ikut ke rumah Jonathan?"
Jena sebenarnya memang mengkhawatirkan kondisi cowok itu yang mendadak absen semenjak pentas drama. Jena hanya menduga, semua ini terjadi sejak hal 'itu'. Agak sungkan jika Jena harus mengklarifikasinya, karena, toh mereka sudah tak ada hubungan apapun lagi.
"Pikir-pikir dulu deh, Ghen." Jawab Jena ragu.
"Kenapa?"
"Ada rencana lain soalnya, hehe."Cewek itu menggaruk tengkuknya. Hatinya serasa panas karena baru saja mengungkapkan sebuah kebohongan."Tapi bisa ada perubahan rencana juga sih."
"Oh gitu." Sesal Ghenia. "Tapi kalo bisa dateng ya, kasian dia soalnya."
Jena mengangguk cepat. "Ah oke, kalo gue mau, ntar nyusul boleh'kan?"
"Bukan boleh lagi dong, Jen. Boleh banget." Ghenia berseru kegirangan, kemudian menepuk pundak Jena pelan. "Ya udah, gue mau ke parkiran. Berangkatnya bareng anak-anak."
"Eh, iya." Jena tersenyum kecil.
Otak bagian lainnya baru saja mengirimkan sinyal untuk menginisiatifkan hal lain. Tentu supaya yang lain tak bisa melihat Jena pergi begitu saja. Ia akan berada di sini. Menunggu tepatnya.
Setelah Ghenia menjauh dan menghilang, Jena mulai mengeluarkan ponselnya. Ia tak ingin mendengarkan beberapa koleksi lagu di playlistnya, tapi Jena punya ide yang lebih hebat setelah pulang sekolah. Dibandingkan harus duduk dan membaca drama Shakespeare, ini jelas lebih menyenangkan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Teen FictionJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...