Bab 11. Perasaan Yang Membingungkan

14.1K 964 56
                                    

Sepulang sekolah, mungkin ini adalah saat paling membahagiakan yang selalu menjadi idaman para siswa. Siapa yang tak mau, menghela nafas sejenak setelah hari yang melelahkan memakai seragam putih abu-abu, menggendong tas berisi buku-buku, juga kepala kita yang rasanya akan meledak dan memuntahkan lahar seperti erupsi gunung berapi. Komplit dengan beberapa pekerjaan rumah yang sudah setia menunggu untuk dikerjakan malam nanti. Ditambah selalu ada ulangan dadakan yang siap mengocok kembali isi otak saat pagi harinya. Pada intinya, jadi siswa sungguh melelahkan.

Begitu pula dengan Jena yang mengeluh karena penatnya pelajaran Geografi Lintas Minat barusan. Otaknya serasa terbakar dan mengeluarkan asap pekat putih layaknya kebakaran di hutan Kalimantan beberapa waktu lalu. Pasti, bedaknya juga sudah menyatu dengan keringat dan mukanya tentu agak memerah karena kepanasan. Sungguh berbeda 180 derajat ketika dia datang ke sekolah dan pulangnya.

Jena melangkahkan kakinya menuju parkiran yang nanti membawanya ke gerbang sekolah. Gadis ini sudah biasa menunggu datangnya bis atau angkutan umum di halte, sebelum dan sesudah ia putus dengan Jonathan.

"Jena,"

Sebuah suara baru saja memanggilnya. Membuatnya harus memutar kepala untuk melihat siapa yang baru saja memanggil namanya. Dari suaranya, itu laki-laki dan tentu ia tahu suara itu. Senyuman manis baru saja terukir jelas di wajahnya. Betapa tak mengejutkannya itu? Evan baru saja memanggilnya? Sebenarnya ia sangat merasa malu dan gugup jika harus menatap muka Evan untuk kedua kalinya dihari ini setelah kejadian memalukan tadi. Tapi tentu, ini takkan datang dengan mudah untuk kesekian kalinya.

Jena memutar kepalanya menghadap Evan, "Ya?"

Dan Evan hanya tersenyum simpul mendengar jawaban Jena yang terdiri dari dua karakter saja.

Evan tersenyum? Apa baru saja Evan tersenyum padanya? Apa saat itu Jena tidak bermimpi? Terdengar biasa bukan? Tapi jika kau melihat senyuman Evan beberapa detik lalu, kau akan terpukau. Karena itu adalah senyuman dengan maksud paling misterius yang pernah Jena lihat, lebih tepatnya terasa janggal bagi Jena. Jujur, sebelum itu, dia tak pernah melihat Evan tersenyum untuknya semenawan ini.

'Kak E--van? Senyum sama gue? Ya Allah, gue mimpi apa semalem?'

Bebalnya, Jena malah terpaku dan kehilangan sisa dayanya.

Evan berjalan ke arah Jena, "Jen, pulang sendiri?"

Gadis itu terlihat kebingungan dan gugup, "Eh, iya sendiri. Kak Evan kok udah pulang? Kelas 12 'kan ada pelajaran tambahan?"

"Hari ini pelajaran tambahannya diliburin, soalnya guru-guru lagi pada ada acara." Lalu, "Oh gitu, emangnya masih ada bis yang lewat ke perumahan lo?" Tanyanya sambil memainkan kunci motor di sela-sela jari.

Jena tersenyum tipis lalu menggeleng, "Mungkin, masih ada yang lewat kali." Jawabannya terdengar ragu.

"Kok mungkin sih? Daripada bingung gitu, pulang bareng gue aja yuk!"

Jena membelalakkan mata, tak mempercayai apa yang baru saja Evan tawarkan pada dia. Evan menawarinya tumpangan? Entah harus senang atau menangis haru, semua ini... tak bisa dipercaya. Gadis itu merasakan perutnya tiba-tiba mulas dan rasa panas menjalar perlahan di wajahnya. Jantungnya pun berdebar tak karuan, uratnya seakan putus. Jari jemari gadis itu pun bergetar dan meneteskan keringat dari tangan. Tak ketinggalan, cegukan.

Nguk!

"Nan...ti ngerepot-tin Kak Evan loh. Aku nggak mau."

Evan tertawa kecil melihat Jena yang salah tingkah karena ucapnya barusan dan merasa aneh mendengar cegukan yang muncul begitu saja. "Lo... cegukan?"

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang