Semilir angin meraba setiap jengkal kulit Jonathan. Gesekan antara angin dan daun kering di tanah memunculkan bunyi merdu dan menenangkan pikiran. Sorotan cahaya dari berjuta bintang seakan mewarnai kelamnya langit malam dimusim kemarau. Dinginnya angin malam di bukit belakang rumahnya tak membuat dia gentar untuk menunggu seseorang yang selalu ia tunggu.
Sudah sekitar 15 menit dia duduk di atas anyaman tikar yang ia persiapkan dari rumah. Beberapa bungkus camilan cokelat dan wafer aneka rasa turut duduk manis di sampingnya. Menemani penantian Jo yang teramat penuh perjuangan. Menunggu seseorang, tentu saja.
Dan orang itu adalah Kenzara Fanisha.
Gadis itu biasa disapanya Kenza. Berselisih 2 tahun lebih tua dibanding Jonathan. Memulai perkenalan sejak Kenza selalu datang membawa martabak pisang cokelat kesukaan abangnya beberapa minggu sebelumnya. Benar, Kenza amat menaruh hati pada Julian.
Tapi takdir berkata lain, Julian malah tak membiarkan cinta Kenza tergantung-gantung. Dan memberi celah pada Jonathan untuk menggantikan sosok Julian. Jauh sebelum itu, Jonathan hanyalah seorang anak kelas satu SMA yang masih terlalu dini untuk mengenal cinta dengan orang yang kedengarannya lebih dewasa.
Selang beberapa menit, saat Jonathan asyik mengunyah wafer berlapis keju favoritnya. Terdengar suara langkah kaki mendekat ke arahnya.
Nampak seorang perempuan berkaus merah semangka dan memakai jins sebetis dengan sneakers di kakinya. Rambut ikalnya dibiarkan terurai dan terkadang menutupi wajahnya karena tertiup angin. Wajah polos tanpa make up dibingkai kacamata ber-frame kotak membuat pipinya terlihat tembam. Perkenalkan, dia Kenza. Jonathan pun hanya memanggilnya Kenza karena gadis itu selalu enggan dipanggil kakak oleh Jo. Itu hanya supaya mereka makin akrab saja.
Wajah Jo langsung sumringah saat orang yang dinantinya menampakan batang hidung di tempat ini untuk pertama kalinya. "Za, duduk sini!" Seru Jo saat ia menatap langsung manik mata Kenza.
Gadis itu hanya menyunggingkan senyum kecil dan turut duduk di samping Jonathan Lalu memeluk lututnya.
"Gue kira lo nggak bakal dateng." Ujar Jo, ia menaruh sebungkus wafer kejunya ke tikar.
Kenza terkekeh, "Gue dateng lah. Gue kan penasaran juga sama bukit indah di belakang rumah lo.
"Ian sering bilang kalau ini tempat asik buat menenangkan diri. Tempat di mana kita bisa teriak sesuka hati." Lanjutnya sambil menatap jauh deretan rumah di bawah bukit.
"Oh ya?"
Kenza hanya mengangguk dan menggumam tak jelas.
"Lo tahu kenapa gue suruh lo ke sini, Za?" Jo ikut menatap rumah-rumah dengan kilauan lampu di bawah sana.
"Ingin menunjukkan bukit ini?" Teka Kenza.
Jonathan menggeleng lemah, "Nope, I just want to say that I have a strange things in my mind and heart too."
"Apa? Nggak ngerti deh gue." Mata Kenza beralih menatap wajah Jo.
"I think I love you."
Spontan, mata Kenza membelalak. Mulutnya sedikit menganga dan menampakkan muka tak percaya. "Serius lah Jo, Gue Nggak pengin bercanda."
Kenza menggoyangkan tubuh Jo, "Are you f**king kidding me? Please, Jo."
"Gue serius. Gue sayang sama lo, Kenza."
Pandangan Kenza membuyar, ia tak tahu lagi apa yang harus diperbuatnya. "Tapi... gue. Gue sayang sama abang lo."
'Gue sayang sama abang lo.' Suara itu seperti terus menggema di rongga telinga Jo. Terus berdiam diri dan membuat otaknya beku.
Jo membisu. Jantungnya terasa ditembus belati dan dikoyak batinnya sendiri. Apa yang batu saja Kenza katakan?
Kenza menyukai Julian?
"Gue juga sayang sama lo, tapi itu sebatas adik. Gue harap lo bisa ngerti."
Kini matanya menatap datar Kenza, "Gue sangat mengerti. Tapi asal lo tahu, Bang Ian nggak bakal bisa jatuh hati sama lo.
"Gue akan bikin lo jatuh cinta sama gue, Kenza. Suatu hari nanti..." Imbuh Jo sembari bangkit dari duduknya, memilih meninggalkan Kenza dibanding harus menatap rasa kecewa ketika menatap Kenza lagi. Itu menyakitkan.
Hati Jo mendadak lumpuh dan alveolusnya seakan berhenti bekerja. Nafasnya sesak dan perutnya mual. Jo tak ingin lagi mengingat semua itu.
Itu menyakitkan ketika dia memilih orang lain dibanding kau.
***
Terdengar petir membelah langit malam dengan gelegar hampanya. Menimbulkan getaran pada jendela kamar Jonathan yang belum tertutup tirai tebal. Jendelanya pun masih terbuka--tak sempat ia tutup. Sesekali jendelanya terbanting karena kuatnya tiupan angin.
Di ranjang, terkapar Jonathan yang berkemul dengan selimut bergambar klub sepakbola favoritnya, Barcelona. Badannya sedikit menggigil dan bibirnya bergetar hebat. Keningnya ditempeli kain yang dibasahi air hangat karena semalaman ini suhu tubuhnya meningkat sampai 38° Celcius.
Satu jam lalu, Julian sudah datang kembali untuk kedua kalinya ke kamar Jo. Memastikan bahwa adiknya tak mengalami hal yang serius setelah sekujur tubuh Jo yang basah kuyup.
Badannya menggelinjang pelan--seperti sedang merasakan sesuatu. Mulutnya meracau menyuarakan sebuah nama yang belakangan ini dianggapnya keramat. Terdengar mengerang, dilanjut mengusap dada bagian kirinya. Sepertinya Jo bermimpi buruk. Jonathan mengerjap pelan. Perlahan kelopak matanya terbuka dan memandang sekitar. Selimut bergambar klub sepakbola Barcelona, pernak-pernik bernuansa Maroon 5.
Jo masih berada di kamarnya tercinta. Dan oh, ternyata semuanya hanya mimpi. Mimpi yang mengingatkannya pada kejadian di bukit itu setahun lalu. Saat Kenza belum berhijrah ke Amerika untuk berkuliah di sana.
Hanya mimpi, fikirnya begitu saja.
Dia mencoba menarik nafas dalam-dalam, menenangkan dirinya dari hal yang tak ingin dia ingat lagi untuk saat ini. Dia menoleh ke arah lampu tidur dan mencoba meraih ponselnya. Ada beberapa notifikasi dari LINE. Beberapa dari grup Asmirandai dan satu dari Kenza.
Kenza: Lo kemana aja? Kita nggak jadi ketemu?
Jonathan mendongakkan kepalanya untuk melihat jam dinding yang berada tepat di atas ranjangnya. Jam 12 tepat. Jonathan ingat, sedari tadi dia hanya mengurung diri di kamar setelah Julian membawakannya teh panas dan wafer keju kesukaannya. Beberapa jam lalu, badan Jonathan meriang karena kehujanan usai pulang sekolah.
Jonathan mengusap kasar mukanya, "Kenza... Gue lupa! Sial!"
Jari jemarinya memijit layar android touchscreen-nya. Mengetik beberapa kata yang mungkin saja bisa membuat Kenza memaafkannya untuk kali ini.
Jonathan: Maaf tadi gue ketiduran.
Jonathan: Gue sakit, gue juga lupa buat ngasih tahu lo sebelumnya
Jonathan: Besok malem dateng ke rumah gue, will you?
Hanya desahan yang cukup panjang terdengar dari mulut Jonathan. Setelah mengirimkan beberapa pesan untuk Kenza, dia langsung menepikan punggungnya di sandaran ranjang. Tangannya masih saja menggenggam erat Androidnya. Menunggu suara beep dari ponselnya yang menandakan balasan dari Kenza.
Jonathan melempar pandangan ke arah jendela, "Mungkin Kenza udah tidur." Lirihnya pelan.
Sebenarnya, ia Juga pasti tahu kalau mustahil Kenza akan membalas pesan LINE-nya setelah lewat jam 12. Kenza pastinya sudah tertidur pulas di ranjangnya. Kenza bukan seseorang yang gemar pergi ke tempat-tempat malam. Tapi siapa tahu, gaya hidup Kenza berubah selepas di Amerika sana. Mungkin saja, dia jadi suka pergi ke pub atau semacamnya. Sehingga ia tak mungkin sedang tidur dan dapat membalas pesannya.
Jonathan langsung menepis praduga itu. Kenza adalah seseorang yang baik selama Jo masih mengenalnya sebagai siswi cerdas yang masuk kelas akselerasi sehingga bisa menyusul Julian. Kenza tak mungkin seperti itu.
Kenza tak seperti Jena.
Tapi...
Kenza: Of course, I will
***
Hai, update lagi. Jangan lupa divomment yaapps
KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Novela JuvenilJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...