BAB 51. UNTUK PAPA DAN TANTE KANIA
"Hai Jena." Sapa Jonathan saat ia berusaha meregangkan tubuhnya yang serasa pegal akibat hampir seharian ini tertidur di kelas.
Cewek dengan buku catatan kecil di lehernya itu menoleh sekejap dari aktivitasnya. Ia kembali menyapu saat tahu yang menyapanya adalah Jonathan, bad boy kelas kakap yang selalu bikin ulah di kelasnya.
"Lo kok diem sih, Jen? Masa cowok sekece gue ini dianggurin?" Tanya Jonathan dengan nada kecewa. Jonathan pun menghampiri Jena dan tiba-tiba memeluknya dari belakang.
"Eh, lepasin!" Pekik Jena seketika dan menghantam wajah Jonathan menggunakan sapu yang ia pegang.
WADEZIG!!!
Terdengar ia meringis kesakitan dan menjauhi Jena. Namun Jonathan tetap saja bersikeras ingin memeluk tubuh Jena dari belakang. "Lo serem banget jadi cewek, hih!"
Jonathan tidak menyangka kalau Jena yang biasanya selalu tampil kalem dan andalemi di depan teman-temannya bisa seanarkis ini. Jena juga dikenal tak banyak bicara namun adalah seorang murid yang lumayan berprestasi di kelasnya.
"Jauhin gue atau gue pukul?" Jena mengancam cowok itu, lengkap dengan sebatang sapu yang siap dilemparkan kapan saja pada Jonathan. "Nyebelin banget sih lo!"
"Lo kali yang nyebelin, Jen." Jonathan duduk bertopang dagu di atas meja yang berada di hadapan Jena. Seketika, jantungnya mendadak berdegup kencang. Tangannya tak kalah bergetar saat cowok itu menatapnya lekat sambil senyum-senyum. "Lo bikin gue bingung, tau."
Dia tersenyum manis, dan bisa dibilang saat ini dia sedang menggoda Jena. Jonathan juga dikenal sebagai siswa cengengesan yang hobinya malak namun jadi bahan pujaan para guru perempuan, kecuali Bu Isma. Kan aneh?
Jena menyipitkan matanya, sapu yang ia pegang mulai diturunkannya. "Maksud lo?"
"Yah, masa lo bikin pilihan yang bikin dilema?" Ujarnya disertai raut dan nada bicara kekecewaan.
"Dilema apanya maksud lo? To the point lah," Mata cewek itu tetap meyipit, menatap Jonathan dengan tidak mengerti.
Jena memaksanya agar tak makin membuatnya bingung. Masalahnya setiap kata yang Jonathan ujarkan itu selalu membuat bingung saja.
"Euh, Bego. Gini ya, kalo gue milih buat ngejauhin lo, lo bakalan kesusahan." Jelas Jonathan. Sayangnya, penjelasan itu masih terasa kelabu di pikiran Jena. Jonathan terlalu bertele-tele. "Nanti lo bakal kangen gue, dan gue juga bakal kangen lo. Tapi kalo kita jauh, kita bisa saling kirim ucapan 'I Love You' lewat perantara angin."
Jena tersenyum kecil saat mendengar penjelasan Jonathan. Ia tak menyadari kalau di pipinya telah timbul segurat merah merona. Rasanya, kata-kata cowok itu terdengar tak wajar dan mengandung makna tertentu yang Jena sendiri sebenarnya mengerti. Namun, rasanya terlalu malu untuk mengakuinya.
Jena mengambil sebuah kursi dari dekat meja guru. Mulai mendaratkan pantatnya di kursi yang ia letakkan di depan Jonathan. "Kalo gue pukul, lo bakal apa?"
Pertanyaan yang terdengar bodoh, namun ia tak merasa menyesal setelah bertanya.
"Gue bakal menghindar dan membiarkan lo mukul hati gue. Secara nggak langsung lo bisa tahu kalo gue itu suka sama lo." Ujar Jonathan seraya menunjuk-nunjuk dada kirinya dengan telunjuk. "Lo juga suka kan sama gue? Jonathan selalu tahu itu," Ia kemudian nyengir.
Jena terdiam sejenak. Pikirannnya melayang kepada buku catatan mungilnya yang sempat hilang beberapa minggu yang lalu. Masalahnya bukan pada isi catatan hutang atau rangkuman pelajaran yang terlihat acak-acakan. Tapi di sana juga sempat terselip sebuah tulisan tangannya yang berbunyi:
KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Fiksi RemajaJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...