Bab 41. Kesalahan

7.2K 697 35
                                    

Sorot cahaya matahari tak lagi berada tepat di atas kepalanya. Sudut bayangan yang timbul karenanya tak lagi sempurna 90 derajat. Agak melenceng ke arah barat rupanya. Tentu saja karena ini sudah masuk pukul setengah 12 siang. Di mana udara panas menguar kesana kemari. Dan tempat ini--Jakarta--bukan tempat yang bisa dianggap remeh siapapun kalau soal cuaca dan suhu.

Kali ini pun Jena masih setia bersandar di depan ruangan ketua OSIS setelah Evan mengabarinya beberapa menit lalu. Walaupun udara panas sempat membuatnya kehilangan kesabaran sampai harus membeli sebotol soda dingin dari kantin. Ia tetap bertahan pada janjinya untuk menunggu Evan berdiskusi sebentar dengan ketua OSIS baru soal beberapa dokumen penting sebelum ia benar-benar meninggalkan sekolah ini.

Jena mengintip lagi isi chatnya dengan Evan yang membuatnya sedikit berbunga. Ya. Dia sampai tersenyum-senyum sendiri dibuatnya.

Evan A: Free? Iya boleh. Tp tunggu bntr, mau ke r.osis dl. Ketemu sm Yudha
Evan A: Gandaria kuy. Time zone

Jena tersenyum lagi melihatnya. Mengingat Evan membalas pesannya hanya dalam waktu kurang dari semenit saja.

Pada akhirnya, tanpa Jena sadari, Evan sudah keluar dari ruang OSIS. Berbarengan dengan seorang cowok berkacamata. Cowok berkacamata itu pamit pergi pada Evan dan Evan hanya mengangguk kecil. Cowok itu pun terkekeh melihat Jena yang senyum-senyum sendiri dengan ponselnya.

Tanpa sepengetahuan Jena, Evan melongokkan kepalanya. Mencoba mengintip aktivitas apa yang terjadi di ponsel Jena.

"Lo seneng banget ya, Jen? Sampe segitunya?" Bisik Evan.

Praktis, Jena terkesiap dan menutup mulut karena kaget. Betapa malunya ia saat Evan tahu apa yang sedang ia lakukan.

"Kak Evan?"

Evan menyolek hidung Jena. "Kaget?"

"Banget." Jawab Jena seraya mengelus dada. Mengusap kasar mukanya saking malu.

Menyadari ada keringat menetes dari dahi Jena, Evan bergegas mengelapnya dengan saputangan dari saku tasnya. "Keringetnya lumer nih. Napsu banget liat chatnya."

"Nggak kali. Ini tuh emang karena panas." Bantah Jena, menikmati saputangan Evan yang bermain di dahinya.

Setelah tak ada lagi keringat di kening cewek itu, Evan melipatnya dan memberikannya tepat di telapak tangan Jena. Tentu saja Jena bingung dengan maksud Evan.

"Apa?"

"Kirain lo bakal cegukan pas gue lap dahi lo, kayak pas waktu itu. Tapi nggak ya?"

"Apa?"

Evan menggeleng, ternyata Jena tak menyimak jelas perkataannya. "Bukan apa-apa."

"Oh."

"Ya udah," Evan membenarkan posisi tasnya yang kurang nyaman. "Berangkat yuk."

Jena mengangguk. "Omong-omong, makasih buat saputangannya."

Alis Evan terangkat sebelah, heran. "Eh, saputangannya balikin nanti kalo udah dicuci ya?"

"Ih kok gitu?"

"Nggak-nggak cuma bercanda, Jen." Sela Evan cepat, tangannya meraih lengan Jena untuk digenggamnya.

Jena menoleh melihat lengannya mengait begitu erat dengan milik Evan. Lalu tersenyum. Dalam hati menolak melakukan ini, memikirkan sosok yang sedang terkapar lemas di tempat tidur yang seharusnya ia kunjungi. Tapi... terkadang terpaku pada masa lalu bukanlah hal yang baik, bukan?

Ada saatnya harus menerima orang di sampingnya ini meski ia bukan orang yang Jena inginkan.

***

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang