Bab 22. Tatapan Mata

9.9K 779 34
                                    

Jonathan rasanya ingin mengucek matanya berulang kali kalau ia tak merasa malu pada Jena. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Sekali lagi, rasanya mustahil sekali.

Terlihat Jena sedang duduk di samping Ghenia yang asyik menguyah wafer roll. Terdengar bisik-bisik soal Delia dan masalah sepele yang biasa digumamkan para cewek dengan lagak seheboh mungkin. Baru saja ia berusaha berhenti memikirkan cewek ini, tapi nyatanya jika ada sosoknya sekalipun. Maka mustahil bisa mengalihkan pikiran ke sesuatu yang lebih layak dipikirkan. Exam Week misalkan.

Matanya tak bisa berpindah menatap yang lain. Jena. Dan hanya Jena. Tak ada yang beda dari cewek itu, visualnya selalu sama. Modis dengan kepang rambut yang unik dan make up tipis yang tak pernah lepas dari wajahnya. Namun bedanya, wajahnya agak pucat.

BRUKK!!!

Tak sengaja ia menyenggol bangku, membuat benda itu berderit mengeluarkan suara. Semuanya menoleh, termasuk Jena. Seketika sekelas heboh karena 'si pembuat onar' telah datang kembali ke kelas. Kelas mereka yang beberapa hari sempat sepi akan segera ramai kembali.

"Woy, Jontor. How's life?" Valdian sombong dengan berlagak sok bule menyapanya. Melambaikan telapak tangan, hendak berhigh five.

Jonathan yang malu dan canggung karena ketahuan menatap Jena diam-diam membalas high five Valdian dan balas menyapa. "Baik. Baik."

"Gue kira nggak bakal ketemu lo lagi." Rendi memeluk tubuh Jonathan dan menepuk-nepuk punggungnya sekeras mungkin. Kemudian memegang wajah Jonathan dan memonyongkan bibir seperti akan menciumnya. "Gue kangen lo."

Jonathan menjauhkan tubuhnya dan pura-pura muntah karena jijik dengan Rendi yang ingin menciumnya. "Ew, ternyata dugaan gue selama ini bener. Lo homo."

"Homo sapiens. Yep, lo bener." Rendi mengacungkan jempolnya, mengiyakan.

Selalu begitu. Kedua temannya menyambutnya dengan baik kehadirannya kembali. Ia senang sekaligus bangga. Sekelibat mata juga tertangkap sedang memandangnya diam-diam sambil tersenyum kecil. Orang itu tersenyum malu karena ketahuan menatap Jonathan dari jauh.

Jonathan senang karena orang yang diam-diam memandangnya adalah Jena. Padahal ia selalu berusaha menyimpan rasa terdalamnya untuk Kenza. Hanya Kenza.

***

"Jena, Jonathan, berhubung kalian ketinggalan Exam Week, jadi siapkan peralatan ujian kalian. Mohon maaf, Ibu tidak sempat menengok kalian sewaktu sakit. Meskipun nggak belajar, tapi kalian siap kan?" Ujar Bu Isma dengan nada lemah lembut seraya memberikan lembar pertanyaan dan jawaban ke meja Jena.

Jena mengangguk dan menatap tempat duduk Jonathan yang beberapa bangku di depannya. "Eh, iya."

Langka memang. Momen senyuman manis Bu Isma tidak dapat mereka temukan tiap harinya. Tumbenan sekali, Bu Isma yang setiap hari kelakuannya kayak orang hipertensi bisa bak bidadari begini. Kalau dilihat-lihat Bu Isma memang lebih terlihat kalau lemah lembut. Tapi sepertinya seluruh siswa di kelas masih kelihatan ketakutan.

Beberapa menit lalu bel berbunyi, tanda jam pelajaran pertama dimulai. Jam pertama kali ii memang diisi oleh pelajaran Bu Isma. Bu Isma juga adalah guru yang profesional. Beliau selalu datang tepat waktu ke kalas, bahkan beberapa menit lebih awal. Dan itu adalah salah satu penderitaan kecil bagi siswa setipe Jonathan.

Jena sudah terlihat siap meski terdengar batuk-batuk kecil dan tubuhnya sedikit ringkih. Tapi tidak bagi Jonathan. Dia takkan pernah siap dihadapkan dengan soal buatan Bu Isma. Rasanya ia ingin jadi Jena, masih diharuskan berada di rumah sakit. Dan artinya dia belum boleh sekolah. Dia yang sudah diizinkan pulang malah bersikeras tinggal di rumah sakit lebih lama. Alasannya sepele. Malas mengejar ketertinggalan di sekolah.

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang