Bab 25. Anne Kenapa?

8.6K 703 21
                                    

Semilir angin sesekali menerbangkan anak rambut cewek itu. Sesekali beterbangan menutupi wajahnya yang sudah semakin memerah karena panasnya matahari yang perlahan tergelincir ke arah barat. Ia melirik kembali angka jam di ponselnya. Serasa ada rasa takut dan trauma akan masa lalu pada tempat ini. Jantung Jena kembali berdegup kencang ketika ada di sini. Memorinya dipaksa memutar kembali kejadian yang tak pernah ia inginkan.

2:30 lebih beberapa menit. Itu artinya sudah setengah jam lebih ia berdiri di tempat gelap dan kosong itu. Ia sedikit khawatir kalau Evan akan gerah menungguinya terlalu lama. Salah ia sendiri mengiyakan ajakan itu tanpa pikir-pikir dulu. Dan akibatnya sekarang Evana akan bingung mencari Jena dimana karena ia tak memberitahu Evan terlebih dulu.

Saat ini Jena tengah menunggu seseorang di dekat gudang sekolah. Di bawah tiang besi yang sudah hampir lapuk dimakan air hujan dan udara sekitar. Sebal, menunggu seseorang yang dikiranya hanya ingin memainkan cewek itu saja dengan menunggu. Membuat waktu berharga terbuang percuma.

Sebuah pesan LINE dikirimnya karena nekad, masa bodoh pada Anne yang nantinya akan mencak-mencak dan menuduh Jena tidak sabaran dalam menunggu.

Jena: Jadi gak sih ketemu gue di tempat biasa, Ann?

Jena yakin kalau tempat ini adalah tempat pertemuannya, gudang belakang sekolah. Dimana lagi Anne akan membicarakan hal-hal penting yang ingin Jena dan ia saja yang mengetahuinya. Diliriknya kembali bangunan kosong berlumut itu. Menyeramkan memang. Catnya yang pudar dan terlapisi lumut tebal yang berkembangbiak pesat di sana menambah kesan angker.

"Lama ya? Kirain nggak bakal dateng lho." Anne berkata santai menghampiri Jena. Kedatangannya sama sekali tak ia duga, mengagetkan karena sebelumnya Jena tak mendengar ada suara langkah kaki yang berderap ke arahnya.

"Gue sebenernya nggak mau kesini, Ann." Jena mengusap peluh di dahi, agak menajamkan tatapannya. Benci dengan Anne yang bersikap seolah Jena akan selalu tunduk padanya.

"Gue nggak peduli kok." Anne menyampirkan jaket almamaternya ke bahu Jena, dan memainkan rambut yang menjuntai di punggung Jena. "Gue cuma mau lo nurutin gue sekali ini aja."

"Apa?" Seru Jena ketus.

"Lo mau denger? Penasaran?" Tanya Anne, terdengar meremehkan dan ingin menguras emosi Jena sesegera mungkin. Atau kalau bisa, kejadian sewaktu ia kelas 10 dulu bisa ia lihat lagi.

"Lo bodoh banget ya jadi cewek. Lo murahan tau, Jen. Deket sama Jonathan, sama Evan juga. Mau ditaruh dimana harga diri lo itu." Tambah Anne, memainkan rambut Jena dengan jari tangannya.

"Kak Evan udah nungguin gue!" Jena geram bukan main. Tangannya terkepal kuat, mata terpejam yakin. "Gue udah bosen denger semua peringatan tentang gue harus jauhin Kak Evan! Gue nggak bisa! Kak Evan bilang dia bakalan ada kalo gue butuh dia! Dia bakal ngejagain gue!"

"M-maksud lo?" Anne bertanya kebingungan. Melihat Jena meraung-raung seperti itu sedikit membuatnya syok, takut akan ada orang yang mendengarnya selain mereka.

"Lo. Nggak. Berhak. Ngatur. Gue. Anne." Ujar Jena penuh penekanan. Tak pernah ia mendengar Jena bsia senekad ini padanya. "Gue nggak ada apa-apanya sama dia. Dia kakak yang baik buat gue."

Angin serasa berhenti menyapu kulitnya. Mungkin turut menghayati luapan emosi antara dua remaja ini. Makin mendramatisi keadaan yang sebelumnya selalu berlangsung tegang tanpa ada celah untuk berdamai.

Di depannya Anne kini menatapnya dengan ekspresi yang membingungkan. Antara sedih, marah, senang atau apa. Anne sendiri tak bisa mengeluarkannya dalam bentuk raut wajah. Semua ini membuatnya merasa tak enak.

"Lo... lo...." Anne menunjuk-nunjuk wajah Jena sambil melangkah mundur. Matanya sudah memerah, bersiap akan mengeluarkan tetes-demi tetes bulir emosi yang tidak tahu apa jenis persisnya. Ia tak mampu berkata-kata lagi sampai akhirnya berlari kencang meninggalkan Jena.

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang