Menghadiri sebuah festival atau acara tahunan di sebuah pantai kedengarannya memang menyenangkan. Contohnya saja seperti bazar ini. Bazar yang biasa diadakan setahun sekali disetiap akhir musim penghujan. Berdiri stan-stan mulai dari makanan, cenderamata dan pakaian.
Sedari tadi Jonathan tak ingin memalingkan wajahnya dari Kenza. Kali ini dia mengenakan sebuah blouse berwarna hijau cerah. Kacamata berframe kotak tampak tak pernah minggat dari hidungnya. Rambut hitamnya dikuncir ekor kuda, menampilkan sisi sederhana dan apa adanya. Semua yang dia pakai tetap menunjukkan sisi feminim dari seorang Kenza.
Kini Kenza melipat tangannya di bawah dada sambil bersenandung pelan. Satu tangannya menggenggam iPod. Dia kemudian berbalik menatap sebal Jonathan. Sedikit risih karena pemuda itu terus melihatinya tanpa henti.
Dicopotnya kedua earphone yang menyumbat kedua lubang telinganya. Memandang serius Jonathan dengan kedua alis yang menyatu.
"Ngapain sih liatin gue mulu? Gak enak tau." Tukas Kenza dengan pipi yang bersemu merah, malu karena Jonathan malah memandangnya tanpa henti.
"Lo itu ibaratnya kayak sekuntum bunga mawar di padang pasir, aneh, juga enak buat diliatin." Jonathan menggombal maut, bahasanya mendadak puitis seperti sastrawan tempo doeloe. Dibalas sebuah tamparan pelan di pipinya, tak lain diberikan oleh Kenza.
"Eek banget, Jo. Biasanya lo 'kan lebih suka nonton Miyabi in action ketimbang gue." Kenza tertawa-tawa melihat mata Jonathan yang terpejam karena pura-pura kesakitan.
"Aduh, sakit, Za. Kalau digombalin kayak gitu, dielus kek, dibela kek, atau nggak dimanja-manja bukannya dipukul."
"Ampun dah, Jo." Dia menghentikan tawanya sesaat setelah matanya menangkap sebuah pemandangan tak biasa. Tangan Jonathan mendadak jadi sasaran rasa penasarannya. Dia memukul tangan Jonathan lagi agar dia bisa mengalihkan pandangannya pada apa yang sedang dilihat Kenza. "Itu Jena, 'kan? Yang waktu itu dinner bareng keluarga lo?" Tangan Kenza menunjuk sepasang manusia yang sedang bercengkrama di sebuah stand fast food.
Jonathan ikut menautkan alisnya, mulutnya membulat. "Jena... sama Evan?"
Kenza memicingkan matanya ke arah kedua orang yang membuatnya penasaran setengah mati. "Evan? Siapa lagi dia?"
"Lo liat? Dia udah bisa move on secepat itu. Lebih dari sekedar yang gue bayangkan." Tuturnya terkesima. Kepalanya manggut-manggut layaknya Sherlock Holmes yang menemukan sebuah petunjuk dalam kasus misterinya. "Keren pake banget, sumpah."
"Dia..." Belum sempat menjawab pertanyaan Kenza. Gadis di sampingnya sudah menggenggam pergelangan tangannya dan menarik tubuh Jonathan ke kerumunan orang itu.
"Kita cari tahu sendiri!" Seru Kenza, berjalan cepat membelah bazar pantai yang penuh dengan luapan manusia.
Lagi-lagi dia tak tahu apa yang harus ia perbuat agar Jena tak bisa melihatnya langsung dengan Kenza. Gadis yang menarik lengannya ini sangat terlihat tak sabar. Andai saja ia bisa membaca fikiran orang lain,mungkin ia sudah tahu apa yang akan dilanjutkan Kenza setelah ini.
***
"Kalungnya bagus ya, Kak?" Tanya Jena pada Evan. Namun pertanyaan itu lebih terdengar seperti perintah agar Evan harus menjawab 'ya'. Kakinya berjinjit dan matanya kembali menelisik setiap kalung yang dipajang di sana.
"Gue pingin satu, tapi pake nama Jeanna. Boleh?" Jari telunjuknya mengarah ke salah satu kalung berbentuk bintang.
"Kok pake nama aku sih?" Jena balik bertanya. Semakin lama dia menghabiskan detik bersama Evan, ia merasa kalau tingkah orang di sampingnya ini malah makin tak wajar. Ingin rasanya menumpuk orang ini dengan sepatu sneakers yang dipakainya sambil berteriak sekencang mungkin, 'Kenapa lo malah bikin hati gue makin tambah bingung?'. Tapi mungkin, hanya gadis dungu yang akan berbuat seperti itu tanpa pemikiran lanjutan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jena And Jo
Подростковая литератураJena merasa hidupnya semakin tidak bisa ia mengerti semenjak putus dari pacarnya, Jonathan. Banyak yang kembali. Banyak yang tergores lagi. Banyak hal yang tidak bisa ia bayangkan sebelumnya. Dan semua yang terjadi menyadarkannya pada sesuatu. Y...