Bab 49. Tentang Mereka

6.7K 597 14
                                    

BAB 49. TENTANG MEREKA

    Sesampainya di toilet pria, kedua lelaki itu tak saling bersapa. Sama seperti dulu, keduanya tak pernah bisa akur soal apapun, termasuk soal hubungan Erwin dan Hani yang sebelumnya tak pernah Evan ketahui. Masalahnya bukan hanya Renata—ibu Evan—saja, namun Anne yang masih terus bertanya soal keberadaan papanya yang tak kunjung kembali ke rumah. Ralat, mungkin papanya itu takkan pernah kembali ke rumah.

    Kebetulan toilet sedang kosong, mungkin tidak terlalu kosong. Karena di sana hanya ada satu dua cleaning service berjaga juga beberapa pria yang sedang buang air kecil, tapi itu sama sekali tak menyurutkan niat Evan. Dengan santai namun amarahnya masih belum surut, ia bersandar di wastafel sembali menggulung kertas tisu gulung. Kertas tisu itu dirobek, kemudian ia gulung sampai menjadi bulatan kecil, dan akhirnya ia buang ke tempat sampah. Dan itu adalah kegiatan yang ia lakukan ketika tiba sampai saat ini. Mungkin sudah 5 menit berlalu.

Berbeda halnya pada Evan, Erwin mengambil kotak rokok dan pemantik api dari balik jaket kulitnya. Dia menyulut rokok kemudian mengisapnya perlahan, berusaha menikmati rasa khas dari si rokok. Sesekali ia memandang Evan geram karena telah menyuruhnya untuk berbicara empat mata dengan keadaan yang kurang tepat.

    "Ehm, Om Erwin?" Sapa Evan seraya menatap mata Erwin. "Tahu maksud saya, kan?"

"Ya, Evan. Saya sudah tahu maksud kamu ingin bicara secara pribadi di sini." Tutur Erwin, ia mengisap rokoknya kembali lalu muncul kepulan asap dari mulutnya.

    "Bagus. Karena saya nggak hanya bicara soal mama saya," Kata Evan. "tapi juga Anne."

    Seketika kepulan asap putih itu berhenti keluar, seperti tersendat begitu saja ketika mendengar nama Anne. Wajah Erwin mendadak kaku, mungkin teringat kepada putri semata wayangnnya. Dalam hati Evan bersorak menang. Berharap Erwin bisa introspeksi diri dengan apa yang sudah ia lakukan.

    "Kenapa diam, Om?" Tanya Evan, sinis dan tajam. "Apa karena Anne?"

    Erwin menggeleng pelan, matanya menatap sendu lantai. Dan di lantai itu rasanya tergambar jelas raut wajah Anne, ceria dan selalu riang kala mereka sedang bersama. "Tidak, Evan." Jawabnya pendek.

    "Tapi saya bisa merasakan suasana sedih sekaligus duka dalam sikap juga tingkah laku Om." Evan terdengar seperti baru saja membaca pikirannya, dan sayangnya itu benar. "Saya cuma nebak, Om."

    "Saya baik-baik saja. Saya bahagia dengan keputusan ini, begitu juga sama Renata." Gumamnya, masih terlihat menahan rasa sakit dan pedih.

    "Tapi saya dan Anne nggak, Om. Saya sebenarnya juga pengin kalian berdua bercerai, karena... gimanalah rasanya kalau ada dua orang yang saling suka tapi terhalang status keluarga." Kemudian ia menghela napas, memiringkan kepalanya. "Tapi saya nggak suka cara Om. Membiarkan dua orang yang saya sayangi tersiksa. Itu... kejam."

    Kening pria itu mendadak terkerut samar. "Maksud kata kedua orang yang saling suka, itu apa, Evan?"

    "Saya dan Anne saling suka, Om. Awalnya memang kami sahabatan—seperti yang Om tahu—tapi perasaan ternyata bisa berubah seiring waktu dan keadaan. Cepat? Nggak sih, karena sejak SMP pun, sejak hormon reproduksi saya bekerja, dan sejak saya mulai merasakan ada hal yang aneh saat deket-deket sama Anne, sejak itu juga saya sadar kalo saya suka sama Anne. Tapi saya nggak bisa semudah itu buat mengakuinya.

    "Harusnya Om bisa memprediksi hal ini, dan nggak memutuskan buat menikahi mama saya kalau akhirnya seperti ini. Secara nggak langsung, Om menghancurkan hubungan kita semua. Om, Mama, Anne, dan saya. Yang dulunya kita tetangga dekat, Om dan almarhum Papa juga saling berteman, saya dan Anne yang tadinya lengket banget. Itu semua hancur gara-gara pernikahan itu, pernikahan yang sebenarnya cuma akal-akalannya ibu Om Erwin biar nggak menikah sama mantan pacar Om itu. Dan saya baru tahu kalau mantan pacarnya Om itu, Tante Hani." Jelasnya panjang lebar. Dan itu membuat Erwin kehilangan seluruh pertanyaan yang tadinya sempat terhimpun di kepalanya.

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang