Bab 15. Let's Escape Together!

11.7K 895 32
                                    

Mulmed: Emma Stone as Anne

***

"Jena, pulang yuk!" Seru Ghenia dari arah koridor kelas sebelas. Suara cemprengnya menggema, bahkan bisa terdengar dari radius 500 meter. Sudah beberapa kali dia bolak-balik koridor dan kelas agar dia bisa pulang bersama Jena dan Delia.

"Ayo, Jen! Bentar lagi nih!" Imbuh Delia tak mau kalah, sesekali melirik jam tangan pink-nya yang sudah menunjukkan waktu 15.00.

Ceritanya mereka akan menghabiskan Sabtu sore di teater sambil menonton film romcom keluaran terbaru. Sudah lama ketiga gadis itu tak duduk bersama di kursi bioskop sambil memegang bungkusan pop corn aneka rasa dengan mata yang terfokus pada layar. Selalu ada halangan yang membuat acara yang rutin digelar ini dibatalkan, yang pastinya karena tugas-tugas sekolah yang membuat terkekang.

"Iya, nanti dulu. Gue mau piket!" Sahut Jena yang sama berteriaknya, ia sibuk mencari- cari sapu seorang diri karena tadi malah sibuk berdiskusi dengan Wildan--yang sama-sama suka pelajaran Kimia--tentang materi dan kerja kelompok yang dibahas oleh Pak Wisnu tadi.

"Kelamaan lo, Jen! Kita tinggal nih." Kata Delia, alisnya naik turun pertanda kecemasan tengah melanda dirinya. Padahal dia cemas, gara-gara takut film romcom yang dinanti-nanti mereka keburu tayang duluan.

Jena melongokkan kepalanya keluar kelas, mencari-cari air muka kedua temannya yang sangat tidak sabaran ini. "Lo semua duluan aja, nanti gue nyusul."

"Yah gimana sih, Jena. Nanti marah lagi." Gerutu Ghenia dengan muka cemberut dan bibir seperti garis lingkaran pada cangkang keong.

"Nggak kok, lo berdua pergi duluan aja."

"Gue takut lo kenapa-kenapa, Jen. Udah sore lho." Timpal Delia, wajahnya cemas tak karuan.

Jena menggeleng pelan dan tersenyum, senyumannya seolah mengatakan bahwa tak ada yang perlu dikhawatirkan dari seorang gadis yang bernama Jena ini. "Sekali lagi, gue nggak apa-apa."

"Ya udah, kita pergi. Bye, Jena!" Ghenia melambaikan tangannya. Diikuti oleh Delia, masih dengan muka khawatirnya.

"Bye!"

Matahari semakin menunjukkan jingga di sisi baratnya dan Jena masih sibuk oleh tugas piketnya yang harusnya sudah dilakukan beberapa puluh menit lalu. Helaan nafas panjang, makin terdengar dari mulut dan hidung Jena. Dia tak bisa lupa begitu saja pada kewajibannya untuk piket di hari Sabtu, tepatnya setelah pelajaran Kimia yang menyapu bersih tenaganya yang sebagian besar digunakan oleh otak. Lelah memang, tapi ia tak mau lagi berurusan dengan guru BP karena keteledoran akan hal yang satu ini. Di SMA Dharmabangsa, piket merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan oleh tiap orang siswa sebagai salah satu bukti kalau ia mematuhi peraturan juga mencintai lingkungan. Salah satunya mungkin dengan ikut melaksanakan piket tiap seminggu sekali.

Entah hanya halusinasi di waktu senja atau itu memang benar, telinganya menangkap suara langkah kaki dan tawa renyah di ujung koridor sana. Dari tawanya, bisa ditebak kalau itu adalah tawa seorang perempuan. Sejenak, tangannya berhenti menganyukan gagang sapu. Mencoba mengenali pemilik suaranya. Semakin lama, dia mampu mengenalinya.

Anne!

Jena bingung dan bimbang tak karuan. Ia tak mau Anne melakuan sesuatu yang aneh padanya seperti setahun lalu. Saat itu, saat ia memiliki hubungan yang kompleks dengan Evan dan Anne selalu menganggapnya sebagai hama kecil yang hanya bisa menghalangi apapun. Semuanya masih belum berubah.

***

Bagaimana rasanya disekap di dalam sebuah ruangan yang minim pencahayaan dan bau buku lama terdengus oleh hidung? Keadaanmu saat itu terlihat sangat payah, dan nampak seperti sedang sekarat. Wajahmu seperti orang paranoid atau seperti bertemu dengan malaikat berjubah pencabut nyawa dan membawa senjata kesayangannya yang siap menerkammu tanpa ampun. Kedua lenganmu pula, mereka diikat tali tambang berdiameter sekitar 5 senti, kulitmu yang rajin memakai body lotion pun bisa lecet parah jika berlama-lama diikat olehnya.

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang