Bab 7. Faktanya Sendiri

15.7K 1.1K 42
                                    

Seorang gadis bergaun hitam baru saja turun di sebuah rumah yang cukup mewah di kawasan perumahan elit. Perumahan itu berjarak sekitar 1 kilometer dari rumahnya. Seketika binar matanya menerawang isi rumah itu. Halamannya dipenuhi tanaman perdu aneka jenis. Terdapat pula air mancur mini terbuat dari marmer putih berukiran stylasi tumbuhan dan binatang seperti gajah dan merak. Pagarnya menjulang tinggi membatasi setiap pandangan mata yang melewat ke sana untuk melihat lebih jauh. Namun tetap saja jika hanya kumpulan tanaman perdu dan air mancur kau bisa melihatnya meski dari luar saja.

Jena mengayunkan kaki jenjangnya ke pintu gerbang. Dan gerbang itu dibuka oleh seorang ibu-ibu berpakaian daster, sepertinya keluarga Suryokusumo baru saja mempekerjakan asisten rumah tangga karena setahu Jena, dirumah ini hanya tinggal 4 orang Suryokusumo tanpa asisten rumah tangga. Kira-kira asisten rumah tangga Jonathan masih berusia kepala enam. Meskipun begitu wajahnya nampak bugar dengan beberapa kerutan di bawah mata dan keningnya.

"Silahkan masuk, Non." Sambutnya ramah sembari membungkuk hormat. "Saya Dedeh, Non."

"Saya Jena, Bi Dedeh. Temennya Jonathan."

Bi Dedeh membukakan pintu gerbang dan membiarkan Jena masuk duluan, "Den Jo udah nunggu."

Dua buah mobil terparkir cantik di halaman rumah mereka. Satu Range Rover Sport hitam, satu lagi Jazz berwarna merah menyala. Mobil itu ditatapnya bergantian, serasa ada yang aneh menurut Jena. Rasanya tak pernah ada Jazz merah sebelumnya. Ia ingat kalau keluarga Suryokusumo hanya memiliki 3 buah kendaraan saja. Dua buah motor sport milik Julian dan Jonathan, lalu Range Rover Sport milik kedua orang tua mereka. Apakah ada seseorang yang menjadi tamu makan malam selain Jena? Tapi mungkin saja iya, bisa saja ada bibi, paman atau siapapun keluarga mereka yang ikut andil disana.

Bi Dedeh langsung membawa Jena masuk ke dalamnya. Rumah yang indah dan tentu saja bisa dikategorikan mewah bagi Jena. Lampu-lampu raksasa berpendar membawahi setiap manusia yang ada di rumah itu. Warnanya beragam dan terkesan berbau klasik.

Di sana sudah ada Tante Tia. Sepertinya sudah lama sekali matanya tak bertatap langsung dengan Tante Tia. Dia sudah duduk di meja makan bersama Om Eddy. Di sebelahnya ada Julian yang sudah tersenyum manis ke arah Jena. Lalu di hadapan Julian ada Jo yang sedang cemberut memangku dagunya. Mereka adalah keluarga yang tampak bahagia.

"Tante Tia, apa kabar?" Seru Jena sambil mencium punggung tangan Tante Tia dan Om Eddy.

Tante Tia terkekeh pelan, " Ah kamu kayak nggak tau Tante. Kabar Tante baik-baik aja." Perempuan paruh baya itu mengusap tengkuk Jena lembut, "Kamu juga kemana aja? Tante kangen tauu..."

"Hehe, aku juga kangen sama Tante." Jawab Jena malu-malu. "Gimana bussines trip-nya Tant? Lancar?"

"Iyalah Jen, Tante dapat tawaran banyak dari klien di sana. Katanya mereka tertarik buat jadi partner perusahaannya Tante."

Jena tersenyum geli, karena ia sama sekali tak tahu menahu soal perusahaan dan bisnis.

"Oh iya, duduk di samping Julian ya, Jen."

Jena mengangguk lagi lalu duduk di samping Julian yang sedang tersenyum manis ke arahnya. Senyuman itu sempat membuat Jena gugup dan salah tingkah. Sementara Jo hanya memanyunkan bibirnya melihat semua itu.

"Tante! Ini ikannya digimanain?"

"Ditaruh di piring itu atau yang baru lagi?"

Terdengar suara seorang perempuan meneriakkan Tante Tia dari arah dapur. Jaraknya tak kurang dari 80 meter. Sehingga Jena bisa mendengar suara itu dengan jelas. Suara itu... rasanya Jena pernah mendengarnya, tapi dimana?

"Tante ini pi--" Pemilik suara itu langsung tersentak saat wajahnya bertatapan langsung dengan Jena. Begitupun Jena bersamaan menoleh ke arah suara yang sempat menarik perhatiannya. Mata keduanya bertemu dan menampakkan wajah kaget yang sangat ingin disembunyikan saat itu juga.

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang