Bab 27. Surat Kaleng Aneh

8.1K 744 20
                                    


  "Gimana kopinya? Enak ,'kan?" tanya Evan setelah ia selesai menghabiskan tetesan terakhir dari caramel macchiato yang ia pesan.

"Enak banget." Jawab Jena bohong dengan wajah paling bahagia yang pernah ia punya. Di bawah sana, perutnya sedang merintih kesakitan karena perutnya yang kelebihan asam lambung tak mampu mencerna minuman apapun yang berkafein.

Suasana musik jazz asik mengiang di seisi kafe yang latarnya didominasi warna hijau dan interior bergaya vintage. Beberapa pelayan bergaya busana era '90 hilir mudik mengantar dan mencatat pesanan dengan wajah ramah melayani dengan tabah para pengunjung yang kebanyakan remaja sekolah.

Bau petrikor menyeruak hidung. Mendamaikan. Sama seperti rintik hujan kecil yang membasahi kaca-kaca jendela dekat tempat Jena dan Evan duduk. Dinginnya udara yang dibawa hujan membuat cewek itu perlu menggosok-gosok kedua telapak tangannya. Evan juga sudah beberapa kali menawarkan jaket parasitnya untuk dipakai Jena. Tapi dengan halus, Jena berusaha untuk menolaknya.

"Lo penasaran kelas mana yang kebagian pentas drama buat nanti perayaan ulang tahun sekolah?" Evan buka suara lagi. Mencoba menghangatkan suasana karena Jena yang terus terdiam sembari menatapi hujan.

Jena mengerjap pelan. Mengalihkan tatapannya dari hujan menuju Evan. "Apa?"

"Tau nggak kelas mana yang bakal tampil buat drama HUT sekolah?" Evan mengulang lagi inti dari pertanyaan pertamanya. Menyembunyikan wajahnya yang sedikit kesal.

Jena menggeleng. "Nggak."

"Lo penasaran?"

"Ya... gitulah." Cewek itu mengangguk-anggukkan kepala. Walaupun dirinya sedang tidak bersemangat mengobrol.

"Jadi...." Evan menggigit bibir bawahnya. Seperti berniat membuat Jena penasaran.

Jena sejujurnya malas menghadapi Evan dengan pikirannya yang terus tertuju pada seseoramg di luar sana yang sangat ia rindukan kehadirannya. Sudah beberapa waktu ini dia menjaga jarak pada orang itu, semenjak insiden di rumahnya. Jelasnya, karena ada Kenza.

Ia ingin meminta pendapat pada Evan mengenai hal ini. Apa yang sebenarnya terjadi? Apa yang sebenarnya ada di hati Jonathan? Ini begitu semu jika dijabarkan dalam benaknya. Ia bingung.

"Jena?"

Jena mengerjap kembali, sama seperti sebelumnya. Menggosok-gosok matanya, mencoba fokus. "A-apa?"

Terlihat gurat senyum tipis di bibir Evan sebelum ia menghela napas. "Selamat. Kelas lo, 11 MIPA 4 bakalan pentas drama."

Entah harus senang, biasa saja, atau malah kecewa, ia hanya memperbaiki anak rambut yang menghalangi wajah dan bersorak seadanya. Bertepuk tangan pelan. "Wah, kayaknya keren tuh."

"Sebenernya ini bakal gue umumin pas upacara bendera nanti sih. Tapi ini khusus lah buat lo." Evan tersenyum genit sambil mengedipkan sebelah mata.

"Oh ya?" Jena menaikkan alisnya.

Untuk kali ini dia lagi-lagi kehilangan minat untuk mendengarkan pembicaraan Evan lebih lanjut. Ada yang lebih menarik untuk dilihatnya dibanding obrolan basi yang terus saja digali. Ada yang lebih pantas untuk ia selidik saat ini. Hal yang penting namun membuatnya makin bingung dengan jalan kehidupannya yang kian kusut.

Dua orang yang tampak begitu familiar bagi matanya. Pupil cokelatnya otomatis membesar, dan otaknya berhenti memikirkan hal lain. Terus terfokus memandangi kedua orang ini bagai merekam momen ini di salah satu bagian penyimpan memori di otak. Salah satunya cowok bertubuh jangkung dan rambut yang basah tertawa dan terus merapatkan tubuhnya di dekat cewek yang jauh dari tampilan normalnya, membuat tenggorokannya yang tertahan ingin menyapa makin ingin berteriak lagi. Menanyakan apa maksud dari yang ia lihat saat ini.

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang