Bab 16. Real Liar

12.3K 915 37
                                    


"Ini di mana?" Tanya gadis itu ketika Jonathan menghentikan langkahnya di sebuah bukitan penuh rumput hijau dan pohon cemara di atasnya. Bukit yang menjadi markas rahasia Julian dan Jonathan ketika mereka masih bocah. Tak sengaja mereka menemukan bukit iti di belakang rumahnya saat bermain perang-perangan waktu kecil dulu.

Jena tak pernah tahu sebelumnya kalau di belakang rumahnya ada gundukan bukit seindah ini. Indah jika kita melihat dari atasnya, banyak jalan raya dan rumah-rumah di perumahan ini yang bisa dilihat. Bukit ini letaknya agak tersembunyi oleh rimbunan pohon cemara yang berbaris menutupi bukit. Cocok disamakan dengan bukit belakang sekolah seperti di kartun animasi Doraemon, namun ini jauh lebih indah.

"Ini tempat rahasia gue." Jawab Jonathan sambil tersenyum bangga. Tak lupa menambah efek dramatis dengan memukul dadanya.

"Tanah pemerintah ini mah, bukan punya lo." Jena mencibir, lalu mencubit lengan Jonathan. Manik matanya kembali menjelajah setiap jengkal tanah bukit indah ini. Mencoba meresapi nyanyian burung yang bersahutan silih berganti. Gesekan antara dedaunan kering di tanah pun menambah indah suasana.

"Gue suka nenangin diri di sini. Anginnya, pohonnya, bikin hati gue tenang. Lo juga kan?" Gumam Jonathan, tangannya direntangkan sedemikian rupa seperti seekor burung yang bersiap terbang.

"Iya, bagus juga buat selfie." Imbuh Jena tak ingin kalah. Keindahan di bukit ini menggugah hasratnya untuk berselfie ria di tempat ini. Sangat lumayan kalau untuk diupload ke akun Instagram.

"Kita selfie yuk!" Jonathan berseru dengan semangatnya kemudian mempersempit jarak antara mereka berdua. Tangannya merogoh ponsel dari dalam jaket.

Jena mengangguk. "Yuk!"

Cekrek!

Mereka berpose dan berekspresi denga gaya yang bervariasi. Memonyongkan bibir, menggelembungkan pipi, cemberut, dan gaya yang paling pasaran; senyum. Sama seperti yang sering mereka lakukan dulu. Berselfie. Keduanya pun sama-sama maniak selfie.

Jena mendongakkan kepalanya untuk melihat Jonathan. Memandang lekukan wajahnya yang agak kepucatan, hidungnya yang mancung, dan mata almondnya, tak kalah eksotis. Terkadang Jena selalu meluangkan waktunya hanya untuk merapikan rambut nakal Jonathan yang mencuat dari balik topinya. Semua itu sangatlah sukar untuk dilupakan begitu saja.

Selalu melayang difikirannya ketika pertama kali Jonathan mendaratkan bibir merah mudanya di bibir Jena. Ciuman pertamanya. Momen yang berlangsung beberapa detik itu. Kejadian yang akan selalu diingatnya. Kapan lagi hal ini akan terulang kembali selama masa SMA? Pantas saja, orang-orang selalu berkata kalau masa SMA adalah waktu yang paling indah yang akan kita lewati sekali dalam seumur hidup.

"Seneng lo nggak kenapa-kenapa," Jonathan berkata, ia mengeluarkan sebatang rokok dari saku jaketnya. Lalu melanjutkan, "kemarin kata Evan lo tiba-tiba nangis terus lari. Kemarin kenapa, Jen?"

Terbesit kejadian kemarin di benaknya, benar tergambar jelas. Isi chatnya, tawa Kenza, dan semua hal yang berkaitan gadis itu sangat membuat hatinya kembali terluka. Kemarin, tak tahu kenapa ia bisa bertindak kekanakan. Seolah ada sesuatu yang merasuki dirinya. Ia sempat menyanggah kalau kemarin bukanlah dirinya, kemarin bukanlah Jena yang sebenarnya.

Gadis bermata cokelat itu langsung tertegun, membuka matanya yang terpejam seusai berfoto tadi. Dia mengingat betapa tindakannya kemarin benar-benar terlihat bodoh dan konyol. "Gue... nggak apa-apa kok. Kemarin kan lo sama Kak Evan lama banget sih, jadi gue pulang duluan."

Dia berbohong. Lagi-lagi agar tak terlihat buruk di depan orang lain. Kau juga pasti mengetahui sebab dari alasan tangisannya kemarin. Jonathan pun tak sebodoh yang Jena bayangkan, dia manusia; makhluk sosial, tentunya tahu alasan yang lebih logis dari kejadian kemarin.

Jena And JoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang